LANGIT7.ID, Bima - Rimpu merupakan ciri khas cara berpakaian masyarakat Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (
dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas.
Bagi kaum wanita di Bima, rimpu dibedakan sesuai status. Yang masih gadis memakai rimpu mpida, yakni kain sarung menutupi seluruh anggota badan dan hanya mata yang dibiarkan terbuka.
Ini sama saja dengan penggunaan cadar pada muslimah. Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah kepala dan muka kemudian menyisakan ruang terbuka pada bagian mata.
Wanita bersuami memakai rimpu colo, yakni bagian muka semua terbuka. Caranya pun hampir sama. Untuk bawahannya, sarung cukup dililitkan pada bagian perut dan membentuk rok.
Wanita Bima enggan keluar rumah jika tidak mengenakan Rimpu. Ini tidak saja budaya tapi implementasi dari syariat islam.
Di saat yang sama, kaum lelaki memakai
katente (menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai dikenal sebagai
tembe nggoli (sarung songket).
Kafa mpida (benang kapas) dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang disebut muna.
Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi
nggusu waru (bunga bersudut delapan),
weri (bersudut empat mirip kue wajik),
wunta cengke (bunga cengkeh),
kakando (rebung), bunga
satako (bunga setangkai), sarung
nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon).
Mengutip
Jurnal Studi Al-Qur’an, "Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani" karya Rihlah Nur Aulia dari Universitas Negeri Jakarta, Rimpu pertama kali dikenal seiring penyebaran Islam di Bima pada 5 juli 1640 M atau 15 Rabiúl Awal 1050 H.
Rimpu Mbojo merupakan busana adat tradisional yang mengenangkan perkembangan adat harian. Itu mendasari munculnya perkembangan keagamaan setelah berkembangnya masa kesultanan sebagai identitas wanita muslim Mbojo pada zaman dulu.
Rimpu menghasilkan polaritas keagamaan masyarakat Mbojo dalam rangka mengembangkan suku budaya. Masuknya Rimpu di Bima sangatlah kental setelah muncul peradaban dan penyebaran Islam di disuatu wilayah Bima, Kabupaten Bermatoka Maja Labo Dahu.
Wanita Dana Mbojo memakai rimpu setelah datangnya pedagang islam ke Bima dengan mengidentikkan pakaian Arab. Konon, rimpu menjadikan salah satu prasejarah Bima setelah munculnya ajaran Islam oleh Datuk Dibanda dan Datuk Ri Tiro.
"Selain di Bima, kedua datuk ini dikenal sebagai tokoh utama yang menyebarkan agama Islam di Pulau Sulawesi," tulis Aulia dalam jurnalnya, dikutip Kamis (20/1/2022).
Rimpu menjadi salah satu struktur sejarah sosial pada saat itu. Ini menjadikan sebuah toleransi para wanita maupun lelaki Mbojo untuk meningkatkan kebudayaan dan ajaran Islam.
Menurut Aulia, rimpu memiliki banyak manfaat dan kegunaan. Di antaranya dipakai saat acara resmi dan bisa juga dipakai saat orang meninggal dunia dan lain-lain.
Bagi orang Mbojo, rimpu merupakan salah satu pakaian yang sangat memiliki nilai moral, sosial, kesopanan, dan keagamaan cukup kuat. Sehingga rimpu dulu dikenal sebagai penguat keagamaan.
Rimpu debagai Identitas Agama dan BudayaDistribusi politik identitas keislaman mulai dirancang sedemikian rupa oleh para mubaligh, yaitu memadukan Islam dan budaya lokal. Seiring dengan berjalannya waktu, identitas itu menjadi penanda tersendiri guna membangun budaya baru dikalangan masyarakat Mbojo.
Penanda ini sedikit demi sedikit mulai disosialisasikan di kalangan istana dengan proses penetrasi yang rumit sehingga membutuhkan strategi dan upaya. Pada akhirnya, dakwah mereka merambah ke lapisan masyarakat bawah.
"Rimpu digunakan oleh mereka yang sudah baligh atau menikah, dalam agama atau tren sekarang disamaartikan dengan kerudung," kata Aulia.
Rimpu memiliki multifungsi dalam menyikapi jamannya pada saat itu.
Pertama, rimpu merupakan identitas keagamaan yang dilatarbelakangi perkembangan dakwah cukup pesat di Bima. Maka itu, wanita mulai mempelajari dan memaknainya sebagai suatu nilai-nilai luhur.
Kedua, rimpu dikombinasikan dengan budaya lokal masyarakat pada saat itu yaitu kebiasaan menggunakan sarung tenun dalam aktivitas sosial. Integrasi ini membuat penanda budaya Bima yang mulai berkembang.
Ketiga, Proteksi diri kaum hawa ketika melakukan interaksi sosial. Klimaks kondisi ini terjadi ketika zaman kolonial Belanda dan Jepang. Keempat, rimpu merupakan alat pelindung terhadap kondisi lingkungan yang buruk, di sisi lain juga pembajakan makna dan budaya.
(jqf)