LANGIT7.ID, Jakarta - Di tanah Jawa, huruf pegon digunakan kalangan umat musim yang menempuh pendidikan agama di pesantren. Pegon sudah muncul bersama Islam di Jawa.
Kala itu, orang Jawa masih menggunakan aksara Kawi dan aksara Jawa untuk penulisan teks berbahasa Jawa klasik, dan aksara Sunda kuno untuk menuliskan bahasa Sunda klasik.
Mengutip laman
merajutindonesia, saat Islam masuk ke Tanah Jawa, penggunaan abjad arab sangat diintensifkan, karena dibutuhkan memaknai Al-Qur'an, tafsir, dan hadits. Para ulama lalu mengadaptasi abjad Arab ke dalam bahasa Jawa agar orang Jawa lebih mudah memahami ajaran Islam.
Di wilayah Melayu, abjad yang masih bersaudara dengan Pegon adalah abjad Jawi, digunakan untuk menulis bahasa Melayu. Dalam perkembangannya, seluruh lembaga pendidikan Islam di Jawa maupun Sumatra menggunakan kitab dengan abjad Arab, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa-bahasa yang dipakai di daerah setempat, utamanya bahasa Melayu, Jawa, sampai Thailand Selatan.
Namun sayang, abjad Arab asli ini tidak mendukung fonem-fonem bahasa Jawa seperti e atau o, ca, pa, dha, tha, dan nga. pada akhirnya, abjad ini juga mengadopsi abjad Persia yang memiliki fenom-fenom tersebut selain dha dan tha.
Pada akhirnya, huruf-huruf baru diciptakan, yang diyakini turunan dari abjad Persia seperti ca dan gaf. Huruf lain yang diciptakan berdasarkan huruf asli Arab, seperti pa dari fa' yang diberi tiga titik, atau ca dari jim diberi tiga titik. Pada masa lalu, Pegon ditulis dengan harakat untuk membedakan e dan o, namun saat ini abjad Pegon sudah tidak lagi menggunakan harakat.
Sunda PegonDi tanah Sunda, sebelum 1896, teks-teks berbahasa Sunda Pegon ditulis dan tersebar dalam bentuk naskah tulis tangan yang bersifat tradisional. Peneliti naskah-naskah Islam Nusantara, A Ginanjar Syaban, mengatakan, kondisi tersebut berlangsung sejak era islamisasi Tatar Sunda pada abad ke-16 M.
Berbagai karya intelektual telah lahir dan berkembang di wilayah Tatar Sunda dalam berbagai disiplin bidang keilmuan. Selama kurang lebih empat abad, karya-karya itu berkembang dalam bentuk tradisional, yakni naskah tulis (manuskrip).
Menjelang akhir abad ke-19, barulah tradisi baru dalam sejarah bahasa Sunda Pegon dimulai, yakni ketika lahir dan berkembangnya beberapa naskah cetak.
Mikihiro Moryama dalam artikelnya berjudul
Ketika Sastra Dicetak: Perbandingan Tradisi Tulisan Tangan dan Cetakan dalam Bahasa Sunda pada Paruh Kedua Abad ke-19 mengatakan, keberaksaraan cetak telah mengubah unsur-unsur tradisi penulisan dan praktis-praktisnya.
Keberaksaraan cetak juga menjadi wahana bagi bentuk-bentuk baru dari unsur-unsur kebudayaan, mencangkokkan tradisi dengan modernitas.
Sebenarnya, tradisi keberaksaraan cetak bahasa Sunda aksara Arab (Pegon) ini memang berkembang lebih belakangan daripada tradisi cetak bahasa Sunda.
Sayyid Usman bin Yahya merupakan tokoh yang tercatat sebagai pionir gerakan percetakan kitab-kitab Sunda Pegon ini. Dia adalah ulama sentral Betawi asal Hadramaut (Yaman) yang menjabat sebagai mufti Batavia dan penasehat urusan Arab untuk pemerintah kolonial (sejak 1889). Ia juga menulis puluhan karya yang kebanyakan berbahasa Melayu-Jawi.
Upaya Sayyid Usman bin Yahya tidak semata-mata bersifat pragmatis dan ekonomis, tapi karena sosoknya memiliki hubungan intelektual dengan para ulama Sunda yang banyak menjadi muridnya.
Sebagian murid Sayyid Usman bin Yahya asal Sunda seperti RH. Azhari (Bandung) dan KH Hasan Basri Abdullah Cicurug (Sukabumi), berupaya menerjemahkan beberapa karya sang guru dari bahasa Melayu ke bahasa Sunda, lalu dicetak di percetakan milik Sayyid Usman.
Terdapat 104 buah kitab yang dicetak di percetakan Sayyid Usman per-1903. Dari jumlah itu, terdapat 7 buah kitab berbahasa Sunda Pegon. 7 kitab itu dicetak dalam rentang waktu 1896-1903 dan merupakan terjemahan dari karya Sayyid Usman yang ditulis dalam bahasa Melayu-Jawi.
Di antara 7 kita itu adalah kitab 'Campaka Mulia' yang dicetak pada 1897. Selain Campaka Mulia, beberapa kitab yang diterjemahkan ke Sunda Pegon seperti Kitab Manzhumah al-'Athariyyah karya Grand Syaikh Al-Azhar ke-XVI.
(jqf)