LANGIT7.ID, Jakarta - Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melihat kinerja penanggulangan kemiskinan pada tahun 2022 akan menghadapi berbagai tantangan yang berat. Sumber ketidakpastian ekonomi terbesar masih datang dari pandemi, terutama seiring kehadiran varian Omicron.
“Kinerja penanggulangan kemiskinan 2022 akan banyak bergantung pada pengendalian pandemi varian Omicron, kualitas pemulihan ekonomi pasca pandemi serta kebijakan afirmatif kepada kelompok miskin, terutama stabilitas harga kebutuhan pokok dan program bantuan sosial,” kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (21/01/2022).
Berbagai kecenderungan terkini, menurut Yusuf, menunjukkan bahwa kondisi faktor-faktor tersebut tidak kondusif bagi penanggulangan kemiskinan.
“Jika varian Omicron gagal dikendalikan dan meluas cepat ke penjuru negeri, intervensi non farmasi dipastikan akan kembali diadopsi untuk menurunkan beban sistem kesehatan dan menekan angka kematian. Hal tersebut memiliki konsekuensi kerusakan ekonomi yang besar dan berkepanjangan,” ujar dia.
Yusuf menambahkan, andai pandemi terkendali, pemulihan ekonomi tidak otomatis segera mengangkat kehidupan masyarakat miskin. Pemulihan ekonomi pasca pandemi memperlihatkan kecenderungan lebih berpihak pada kelompok atas (pola K-shape) sehingga dampak pertumbuhan pada kemiskinan sangat rendah.
"Kita membutuhkan pemulihan di mana sektor penyerap tenaga kerja besar tumbuh lebih cepat, sehingga manfaat pertumbuhan akan lebih dirasakan kelompok bawah,” papar Yusuf.
Penanggulangan kemiskinan yang semakin progresif di masa pandemi juga membutuhkan perlindungan sosial yang lebih efektif. IDEAS tidak melihat terobosan besar pemerintah di bidsng ini, bahkan sebaliknya.
Karena itu, penguatan perlindungan sosial yang lebih luas selama pandemi belum berakhir sangat dibutuhkan.
“Ketika pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, alokasi anggaran perlindungan sosial (perlinsos) justru semakin menurun. Bila pada 2020 realisasi anggaran PEN Perlinsos mencapai Rp 216,6 triliun, maka pada APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp 184,5 triliun, dan terkini pada RAPBN 2022 hanya direncanakan Rp 153,7 triliun,” ungkap Yusuf.
Lebih jauh, ia melihat stabilitas harga-harga kebutuhan pokok mendapat tantangan kuat di 2022. Sederet kenaikan tarif dan harga telah mulai dirasakan masyarakat, dari kenaikan harga gas elpiji non subsidi, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga BBM seiring rencana penghapusan premium, hingga kenaikan tarif cukai hasil tembakau.
Semua hal tersebut berpotensi besar meningkatkan angka kemiskinan.
Sebagai contoh, ketergantungan keluarga miskin pada rokok sangatlah besar, dan bahkan semakin meningkat di masa pandemi.
"Rokok adalah produk adiktif, tanpa upaya melepaskan keluarga miskin dari ketergantungan pada rokok, kenaikan tarif cukai berpotensi meningkatkan permasalahan kemiskinan,” tutup Yusuf.
(jqf)