LANGIT7.ID, Banyuwangi - Bila Soekarno memiliki semboyan “Jas Merah” yang berarti jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai “Jas Hijau” yang berarti jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama. Motivasi inilah yang mendorong nahdliyin muda di Banyuwangi, Jawa Timur membentuk Komunitas Pegon.
Komunitas Pegon memiliki perhatian pada kajian sejarah pesantren dan NU di Banyuwangi. Komunitas ini melakukan riset, pendokumentasian hingga melakukan publikasi di berbagai media, terutama di platform digital seperti media sosial dan berita daring mengenai jejak intelektual para ulama terdahulu.
Pegon sendiri adalah huruf Arab yang dimodifikasi sedemikian rupa untuk menuliskan bahasa Jawa,Madura, dan Sunda. Kata pegon berasal dari bahasa Jawa, pegon, yang artinya
“ora lumrah anggone ngucapake” (tidak lazim saat diucapkan).
Hal ini disebabkan karena banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan tulisan Arab dan menjadi aneh ketika diucapkan. Aksara ini begitu populer dan menjadi alat komunikasi teks para ulama dalam menyebarkan ajaran Islam pada abad ke-18 sampai 19.
Beberapa ulama Jawa yang mempopulerkan aksara pegon antara lain, KH Ahmad Rifa’i Kalisasak (1786–1878), KH Sholeh Darat Semarang (1820–1903), KH. Hasyim Asy'ari Jombang (1875–1947), Haji Hasan Mustafa, Garut (1852–1930), KH Bisri Mustofa Rembang (1915–1977).
Dalam kerja-kerja risetnya, Komunitas Pegon banyak mengumpulkan dan merawat naskah-naskah kuno serta foto-foto bersejarah. Komunitas yang resmi didirikan pada 6 Agustus 2017 ini berhasil menghimpun sedikitnya 50 manuskrip kuno yang didapat dari beberapa pondok pesantren dan kiai.
"Kami banyak menemukannya di pesantren-pesantren tua. Jadi kebanyakan berupa naskah keislaman," ujar pendiri Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro dikutip banyuwangikab.go.id.
Bagi Ayung dan kawan-kawan, pesantren-pesantren tua dan rumah Kiai menyimpan banyak harta karun khazanah keislaman masa lampau. Misalnya, pada awal-awal berdiri, Komunitas Pegon berhasil menemukan jejak intelektual Syaikh Nahrawi Al Banyumasi.
Syaikh Nahrawi merupakan guru besar di Masjidil Haram yang semasa dengan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan Syaikh Mahfudz Termas, yang kala itu masih belum banyak terlacak dalam buku-buku sejarah di Indonesia.
Dari tumpukan koleksi kitab peninggalan KH Abdullah Faqih, Cemoro, Songgon, Ayung menemukan sebuah kitab langka delapan halaman yang merupakan catatan Syaikh Nahrawi terhadap Risalah Isti'arat karya Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, mufti Mekkah dari madzhab Syafi’iyah yang menjadi guru para ulama besar di Indonesia.
Lewat kitab itu, Ayung berpendapat ulama-ulama Banyuwangi pada awal abad ke-20 telah berjejaring dengan ulama dunia. “Bahkan hingga ke Haramain. Selain Kiai Faqih, ada juga Kiai Saleh Lateng, Kiai Syamsuri Singonegaran dan juga Kiai Manan Berasan," jelasnya dikutip NU Online.
Naskah-naskah kuno yang menjadi bahan kajian komunitas diremajakan dengan teknik menulis populer masa kini untuk dipublikasikan. Dengan demikian, generasi muda masih dapat menelusuri kembali bagaimana ciri khas Islam nusantara yang ternyata sangat toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan.
"Kami bikinkan infografis dan diunggah ke medsos. Agar kalangan milenial bisa lebih akrab dengan naskah kuno," kata Ayung. Saat ini, Komunitas Pegon telah beranggotakan lebih dari 50 anak-anak muda.
(jqf)