LANGIT7.ID - , Jakarta - Ketersediaan
makanan halal di sekolah Prancis menjadi masalah yang sering luput dari perhatian media. Beberapa walikota di negara ini memutuskan tidak tidak menawarkan menu alternatif di kafetaria sekolah berdasarkan versi
sekularisme mereka.
Seperti di Tassin-la-Demi-Lune, sebuah komune di pinggiran Lyon, program makan siang sekolah hanya menawarkan satu menu saja. Sehingga saat satu-satunya makanan yang ditawarkan mengandung daging babi,
siswa Muslim dan Yahudi kesulitan mendapatkan makanan halal.
Baca juga: Mahasiswa Non Muslim di AS Ajak Mahasiswa Muslim Makan Siang Rayakan LebaranMengatasi masalah tersebut, sejumlah walikota mengusulkan menu vegetarian, dengan alasan masalah lingkungan.
Walikota pun memberikan pilihan kepada orang tua dengan tiga kemungkinan menu: daging, ikan, atau
vegetarian. Balai Kota Grenoble meminta orang tua untuk memilih menu yang mereka inginkan, dan 94% memilih menu ikan atau daging sapi/ayam.
Penting untuk dicatat bahwa anak-anak di sekolah tersebut diizinkan untuk memilih makanan mereka, tidak seperti walikota lain yang percaya bahwa sekularisme berarti memberikan pilihan anak-anak Muslim dan
Yahudi makan babi atau kelaparan.
Reaksi Keras Orang Tua Siswa MuslimOrang tua dari siswa sekolah yang hanya menyediakan satu pilihan menu, meluncurkan
petisi online menuntut menu alternatif. Hal ini sebagai bentuk perlawanan dari kurang empatinya walikota setempat.
Dalam petisi tersebut mereka mengatakan, pada Desember lalu Dewan Negara telah memutuskan bahwa usulan menu alternatif sebenarnya tidak merusak sekularisme atau netralitas agama.
Selain itu, ia berpendapat bahwa "satu menu bertentangan dengan rasa sejarah pada saat limbah makanan dikritik."
Baca juga: Mahasiswa Muslim California Tak Surut Berdakwah Meski Kuliah di Kampus Sekuler“Menu unik, yang dipertahankan oleh Dewan Kota di Tassin-la-Demi-Lune, menghalangi akses ke katering untuk 20% siswa, baik karena alasan agama,
kesehatan, atau keyakinan (vegetarianisme),” kata petisi orang tua seperti dikutip The Express Tribune, Senin (24/10/2022).
Mereka menegaskan bahwa peran walikota adalah melayani masyarakat, seluruh penduduk, atas nama kesejahteraan umum.
Petisi tersebut mendapat dukungan dari beberapa
figur publik, termasuk jurnalis dan
aktivis feminis Rokhaya Diallo.
Di Prancis,
umat Islam selalu menjadi sasaran serangan dan pengucilan di tengah perdebatan intensif tentang visibilitas komunitas.
Kode berpakaian untuk sekolahDi tengah kelompok garis keras, Eric Ciotti, walikota Nice, kota terbesar kelima di Prancis, dan seorang kandidat presiden tahun lalu ingin mengubah undang-undang tahun 2004 tentang simbol-simbol agama di sekolah-sekolah untuk melarang jenis pakaian tertentu, termasuk
abaya, yang panjang, bebas.
Menurutnya, mengenakan rok panjang pada gadis-gadis muda Muslim merupakan penyalahgunaan sekularisme.
Pemerintah Prancis tampaknya sedang mempertimbangkan untuk membentuk "polisi pakaian" yang akan menentukan apakah pakaian itu pantas secara agama.
Beberapa media Prancis menuduh Abaya melanggar sekularisme selama berminggu-minggu.
Baca juga: Turki Desak Yunani Tak Batasi Siswa Muslim Praktikkan Keyakinan di SekolahGerai yang sama ini juga menganjurkan agar anak perempuan tidak mengenakan rok pendek. Versi singkatnya adalah, tidak seperti Iran, di mana cadar diwajibkan, beberapa di Prancis berusaha untuk memaksakan mengenakan pakaian "republik" pada sesama warga negara mereka.
(est)