LANGIT7.ID, Jakarta - Ketua
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI,
La Nyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan dalam mengatur kehidupan rakyat. Maka, kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama.
Hal itu tercermin dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, kata dia, kebijakan atau undang-undang yang diproduksi penyelenggara negara tidak boleh melanggar Pancasila sebagai norma hukum tertinggi negara Indonesia.
Dia menegaskan, kebijakan dan undang-undang tidak boleh menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan banyak rakyat. Kebijakan tidak boleh membuat rakyat sengsara. Kebijakan yang dibuat harus berpihak ke semua lapisan masyarakat.
Baca Juga: PPP Ungkap Peta Politik Umat Islam saat Pemilu 2024
"Artinya jika ada kebijakan atau undang-undang yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyak rakyat. Apalagi, membuat rakyat sengsara, jelas kebijakan itu telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama, yang artinya telah melanggar Pancasila sebagai norma hukum tertinggi negara ini,” kata La Nyalla melalui keterangan tertulis, Senin (14/11/2022).
Menurut La Nyalla, hal tersebut menjadi salah satu tugas pokok partai berbasis Islam. Dia berharap partai berbasis Islam menyampaikan kepada semua elemen bangsa bahwa bangsa ini merdeka atas jasa besar umat Islam. Terutama tokoh-tokoh Islam dan para ulama.
Dia mengatakan, tugas mulia partai berbasis Islam bukan hanya sukses perhelatan pemilihan umum. Ada tugas yang lebih dari itu, yani bertugas memperkuat Pancasila yakni sila pertama sebagai spirit bernegara.
“Jadi, sebenarnya tugas mulia di puncak partai politik berbasis Islam bukan sekadar ritual Pilpres lima tahunan. Lebih dari itu, partai berbasis Islam memiliki tugas memperkuat Pancasila yakni sila pertama sebagai spirit bernegara,” kata La Nyalla.
Baca Juga: PAN Sebut Peta Politik Umat Islam Penting di Pemilu 2024
Oleh karena itu, secara idealnya seharusnya partai-partai Islam bisa mengusung kader terbaik mereka, yang tentu sejalan dengan platform perjuangan partai. Akan tetapi, kata dia, adanya pasal 222 dalam UU Pemilu yang mengatur tentang Presidential Threshold membuat partai politik tidak bisa secara ideal mengusung kader terbaik mereka sendiri.
Walaupun ambang batas pencalonan tersebut sudah beberapa kali diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk DPD RI. Namun, MK tetap memutuskan bahwa Presidential Treshold (PT) 20 persen merupakan
Open Legal Policy. Artinya, kewenangan membuat undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah.
“Seharusnya pekerjaan partai politik ini melalui fraksi yang ada di DPR, adalah melakukan
legislative review bersama pemerintah. Tetapi, rupanya jalan itu juga tidak ditempuh oleh partai politik yang ada,” kata dia.
Baca Juga: Tantangan Partai Islam di 2024: Tidak Punya Tokoh Nasional
Namun, kata La Nyalla, hal yang dilakukan partai politik justru sibuk bertemu untuk menjajaki pembentukan koalisi antara mereka. Meskipun platform perjuangan partai-partai tersebut berbeda. Padahal, dalam ilmu dan teori politik. Koalisi seharusnya terjadi setelah pemilu dan setelah pilpres.
“Tetapi, lagi-lagi karenanya adanya Pasal 222 di dalam undang-undang pemilu itulah yang membuat hal-hal yang saya sebutkan tadi terjadi,” ujar La Nyalla .
(jqf)