LANGIT7.ID, Jakarta - Syekh Ibrahim Musa Parabek merupakan seorang
ulama dan pembaharu dari sederetan ulama-ulama di
Minangkabau. Tak hanya ahli di bidang ilmu fikih, namun dia tercatat sebagai pejuang perintis kemerdekaan Indonesia.
Menurut catatan pribadi Syekh Ibrahim Musa Parabek yang disimpan oleh sang cucu, Shafiah Ibrahim, menjelaskan, Syekh Ibrahim Musa dilahirkan pada Ahad, 12 Syawal 1301 H/15 Agustus 1884 M di Parabek, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Orang tua Ibrahim Musa bernama Syekh Muhammad Musa bin Abdul Malik Qusthawy, seorang ulama yang terkenal pada zamannya. Sang ibu bernama Maryam, yang dikenal dengan nama panggilan Urneh.
Sejak kecil, Ibrahim sudah belajar Al-Qur’an di bawah bimbingan sang ayah. Pada usia 13 tahun, dia sudah khatam Al-Qur’an. Pendidikan dasar secara tradisional diperoleh di berbagai daerah di Minangkabau.
Baca Juga: Ulama Nusantara Tak Hanya Menulis Tentang Agama tapi juga Sains dan Teknologi
Saat remaja, dia dilepas oleh sang ayah untuk mengaji ke Surau Tuanku Mato Aia, Pakandangan, Pariaman. Dia mempelajari ilmu nahwu dan Sharaf. Lalu, lanjut ke Batu Taba di Surau Tuanku Mato Angin dan belajar fikih.
Kemudian, ke Ladang Laweh mengaji dengan Tuanku Abdul Samad di Surau Biaro Ampek Angkek. Dia juga menimba ilmu kepada Syekh Jalaluddin Alkasai di Sungai Landai Banuhampu. Dia juga belajar kepada Tuanku Abdul Hamid di Suliki Payakumbuh.
Tak hanya di Ranah Minang, Ibrahim Musa juga mendalami ilmu agama di Mekkah. Seperti tertulis dalam buku Perjuangan 29 Ulama Besar Ranah Minang, dia berangkat ke Mekkah Bersama sang kakak, Abdul Malik, pada 1902 saat berusian 19 tahun.
Baca Juga: Sunan Giri, Paus Van Java Rujukan Umat Islam se-Nusantara
Di Mekkah, dia sempat menjadi murid Syekh Ahmad Khatib al-MinangKabawi, Imam Masjidil Haram dari Mazhab Syafi'i. Dia juga dibimbing oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Ali bin Husein, Syekh Mukhtar al-Jawi, dan Syekh Yusuf al-Hayat.
Berkiprah di Tanah AirSyekh Ibrahim Musa kembali ke Tanah Air pada 1910. Dia mengajar dan mengadakan pengajian secara halaqah di Parabek. Banyak anak muda dari berbagai pelosok Parabek datang menuntut ilmu di halaqah tersebut.
Pada 1914, dia pergi lagi ke Mekkah menuntut ilmu. Dia pergi bersama sang istri, Syarifah Ghani, dan anaknya Thaher Ibrahim. Dua tahun di Mekkah, dia kembali ke Bukittinggi pada 1916.
Pada 1918, dia menyatukan murid-muridnya dalam satu organisasi yang diberi nama Mudzakaratul Ikhwan dan terakhir diberi nama Jamiatul Ikhwan. Pada 1920-an, dia mendirikan Sumatera Thawalib. Belakangan, organisasi Jamiatul Ikhwan pun digabungkan ke Pesantren Sumatera Thawalib Parabek yang masih eksis hingga kini.
Baca Juga: Sumatera Thawalib Parabek, Pesantren Tertua di Sumatera Didik Banyak Tokoh Bangsa
Berjasa dalam Dakwah Islam di Minangkabau Edwar dalam buku Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang menulis, Syekh Ibrahim Musa adalah seorang ulama dan pembaharu yang sangat berjasa dalam dakwah Islam di Minangkabau.
Dalam usaha pembaharuan dan dakwah, dia mempunyai prinsip yang mendasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan agama yang ditanamkan kepada murid-muridnya. Dia tidak hanya memfokuskan kepada satu mazhab atau satu aliran saja.
“Prinsip dalam mengembangkan pengetahuan agama yang beliau tanamkan kepada murid-muridnya ialah tidak boleh menutup mata pada satu mazhab saja, tapi boleh mengambil yang lain sebagai studi perbandingan, prinsip yang merupakan slogan itu dilukiskan dalam ijazah Sumatera Thawalib, matangkan satu-satu lalu ambil yang lain untuk jadi perbandingan dan jangan menutup diri pada satu mazhab saja.” tulis Edwar dalam bukunya.
Sebagai guru, Syekh Ibrahim Musa dalam menghadapi murid-muridnya terkenal selalu mengembangkan kreativitas mudzakarah/diskusi. Baik di dalam kelas maupun dalam forum khusus. Dia sendiri yang menjadi moderator.
Baca Juga: 3 Ulama Indonesia Pernah Jadi Imam Besar Masjidil Haram
Dari diskusi itu, dia bisa melihat potensi murid-muridnya. Murid yang pandai di bidang qawa’id, dia tidak menutup kemungkinan untuk menyerahkan sang murid ke Syekh Sulaiman al-Rasuli. Murid yang punya kecondongan di bidang tafsir diserahkan kepada Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Hal ini yang menggambarkan keterbukaan dan pengembangan ajaran Islam yang dilakukan Syekh Ibrahim Musa. Dia membuka kesempatan kepada murid-muridnya untuk belajar kepada ulama-ulama di Minangkabau berdasarkan keahlian masing-masing.
Suka Olahraga dan PramukaProf Salmadanis dalam makalahnya tentang Syekh Ibrahim Musa menerangkan, Syekh Ibrahim Musa berdakwah dengan pola integrasi dengan segala kegiatan masyarakat. Dia tidak menutup mata pada Pendidikan jasmani, menggalakkan sepakbola, badminton, dan lain sebagainya. Dia membuat organisasi khusus olahraga dan sering juara pada tingkat Sumatera Barat waktu itu.
Baca Juga: KH Ahmad Sanusi, Ulama Pejuang Kemerdekaan Keturunan Sunan Giri
Selain itu, dia juga aktif dalam gerakan kepanduan/pramuka Islam yang diberi nama al-Hilal (bulan sabit) yang bersimbol kacu merah biru berlambang keris terhunus. Pandu ini dikerahkan pada usaha-usaha pertanian yang hasilnya untuk peningkatan berkoperasi dan perekonomian masyarakat.
Aktif di Berbagai Organisasi dan PergerakanSyekh Ibrahim Musa aktif dalam berbagai organisasi. Selain aktif dalam persatuan Sumatera Thawalib, dia juga aktif dalam organisasi PGAI, hingga organisasi pembaharuan dan ittihad al-ulama. Bahkan, dia aktif ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dia adalah salah satu pendiri Laskar Rakyat di Bukittinggi (1943), membentuk barisan Sabilillah (1946), serta menjadi Imam Jihad pada 1946. Aktivitas ini membuatnya terus mendapat tekanan dan pengawasan dari kolonial Belanda. Dia juga pernah menjadi dosen ilmu-ilmu agama di perguruan tinggi PGAI di Padang pada 1940.
Baca Juga: Mengenang KHR As’ad Syamsul Arifin, Ulama Pejuang yang Gemar Menulis Syair
Sementara, di bidang pemerintahan, dia adalah anggota majelis Syura Wal Fatwa Sumatera Tengah (1947) dan anggota koresponden Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak Kementerian Kesehatan RI.
Pada 1956, dia terpilih menjadi anggota Konstituante. Pada tahun itu pula dia tercatat sebagai dosen perguruan tinggi Darul Hikmah Bukittinggi dan Dewan Kurator Universitas Andalas Padang.
Pada Kamis, 20 Juli 1963 pukul 21.10 WIB, Syekh Ibrahim Musa meninggal dunia di kediamannya di Parabek. Dia dikebumikan pada Jumat, 21 Juli 1963 setelah shalat Jumat.
(jqf)