LANGIT7.ID, Jakarta - Tujuan
pendidikan yang serba ideal, seringkali terbentur oleh realitas di lapangan. Nilai-nilai yang substansial, kalah oleh target mengejar prestasi duniawi. Namun tak jarang juga, pendidikan yang diharapkan ideal, seringkali kurang membumi. Lalu bagaimana semestinya
sekolah mendidik siswa?
“Pendidikan tidak boleh menjadi menara gading di tengah-tengah kehidupan, karena pendidikan memegang kaidah ‘di atas realita yang alami kita didik generasi yang Islami’,” kata Pakar Pendidikan Islam, Adriano Rusfi dalam webinar Kolaborasi Rumah dan Sekolah Dalam Pendidikan Anak yang digelar Sekolah Alam. Indonesia (SAI), Sabtu (10/12/2022).
Kaidah ‘di atas realita yang alami kita didik generasi yang Islami’ bisa diwujudkan dengan kolaborasi pendidikan antara pendidikan di rumah dan sekolah. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan agar kolaborasi rumah dan sekolah bisa terjalin dengan baik.
1. Mendidik Anak untuk Masa DepanKeberhasilan kolaborasi ditentukan oleh sekolah yang mendidik anak untuk masa depan dan mengukur keberhasilannya kelak di kemudian hari. Bukan sekolah yang mendidik untuk masa kini atau mengutamakan prestasi kekinian, tapi sekolah yang mengutamakan prestasi masa depan.
Baca Juga: Anak Sudah Baligh tapi Pola Pikir Tak Kunjung Dewasa, Ini Penyebabnya
“Terlalu banyak orang-orang yang digenjot untuk kesuksesan masa kini, akan menjadi manusia gagal pada masa depan. Ini perlu disadari orang tua. Penyanyi cilik amat jarang jadi penyanyi sukses saat dewasa. Jangan sampai anak jadi korban layu sebelum berkembang,” ujar Adriano.
2. Sekolah yang Berorientasi pada Forming, Bukan Performing
Sekolah harus berorientasi pada pembentukan (
forming) anak didik, bukan sekadar unjuk tampil atau unjuk prestasi (
performing). Terlalu banyak anak-anak yang
performing di waktu muda, tapi saat dewasa tidak bisa menghadirkan prestasi terbaik.
Adriano memaparlan, pada dasarnya, pengembangan manusia saat berusia 0-15 tahun adalah pembangunan karakter. 15-40 tahun merupakan fase pengembangan kapasitas. 40 tahun ke atas barulah manusia memasuki fase berburu puncak-puncak kehebatan.
“Mungkin orang akan berkata, masa keemasan anak itu pada masa anak, muda. Dalam ajaran Islam, masa keemasan itu sepertiga yang terakhir dari usia. Artinya 40 tahun ke atas. Nabi-nabi rata-rata dilantik pada umur 40 tahun,” kata Adriano.
Baca Juga: Adian Husaini: Sekolah Harus Menyenangkan, Bukan Malah Bikin Stres
Dalam psikologi pun dikatakan puncak pencapaian hidup manusia ada di umur 40 tahun. Pada usia tersebut ada kapasitas yang menurun, ada kapasitas yang meningkat. Maka itu, tidak boleh unjuk prestasi (
performing) terlalu cepat, sehingga pembentukan diri (
forming) terganggu.
“Contoh karyawan. Kalau belum apa-apa sudah mengejar karir atau gaji, kesempatan untuk mengembangkan kapasitas menjadi berkurang, karena waktu mengembangkan kapasitas tidak ada. Saat berumur 40 tahun kapasitasnya tidak banyak berkembang. Fokus pada pengembangan karakter, fokus pada kedewasaan. Ini butuh kerja sama,” ungkap Adriano.
3. Sekolah Dahulukan Pembentukan Karakter Sebelum KompetensiSekolah yang diharapkan bisa berkolaborasi dengan orang tua adalah sekolah yang membentuk karakter, lalu membentuk kompetensi. Kompetensi itu tegak di atas karakter. Sekolah yang mengedepan kompetensi besar kemungkinan melahirkan anak-anak yang jadi peniru.
“Sangat lihai dalam menampilkan kompetensi, tapi tidak karakternya tidak terbangun. Banyak di antara kita, karakter belum kokoh tegak, tapi kompetensi dikejar terus. Ikut les ini itu, juara ini itu. akibatnya, kompetensinya bagus, tapi tidak diwarnai oleh karakter kepribadian dia,” ujar Adriano.
Baca Juga: Adian Husaini: Sekolah Bukan Pabrik, Murid Bukan Produk
Adriano mencontohkan musisi besar masa lalu yang tetap eksis sampai sekarang. Komptensi mereka diwarnai karakter. Tanpa disebutkan namanya pun, hanya dengan mendengar komposisi musiknya bisa langsung menebak sang musisi bersangkutan. Itu karena kompetensinya terwarnai oleh karakter.
“Mari kita fokus pada sekolah-sekolah yang berfokus pada karakter. Di atas karakter itu dibangun kompetensi,” ujar Adriano.
4. Sekolah Harus Menyiapkan Murid untuk Menjalani Hidup, Bukan Sekadar BekerjaSekolah harus menyiapkan murid untuk menjalani hidup, bukan sekadar bekerja. Sekolah harus berkolaborasi mendidik anak untuk siap menjalani hidup dengan penuh sikap-sikap kedewasaan, bukan sekadar dapat ijazah.
“Sekolah macam ini tidak boleh menjadi sekolah yang terkungkung dari kenyataan. Harus menjadi sekolah yang berada di tengah kenyataan atau di tengah kehidupan. Walaupun kehidupan ada yang kotor, tapi sekolah yang menjadi tempat sterilisasi dari itu,” ungkap Adriano.
Hal ini karena kelak anak-anak akan dilepaskan di tengah panggung kehidupan. Maka itu, penting sekolah menjalani imunisasi kehidupan, bukan sterilisasi kehidupan. Inilah makna prinsip ‘di atas realitas yang alami, kita akan mendidik generasi yang islami’.
Baca Juga: Kritik Cak Nun ke Sistem Pendidikan Modern: Singkirkan Perdagangan dari Pendidikan
Ada beberapa prinsip yang harus disadari dalam kehidupan. Di antaranya, kehidupan di dunia sudah pasti Islami. Alam semesta diciptakan untuk menyembah Allah Ta’ala. Memang dari waktu ke waktu kehidupan terasa semakin jahiliyah, tetapi karakter kehidupan islami itu tidak bisa lepas dari kehidupan Islami.
“Maka itu, sekolah tidak memisahkan anak dari kehidupan, atau anak disterilisasi dari hidup, tapi anak harus diimunisasi dari kotoran kehidupan,” ujar Adriano.
5. Sekolah Harus Mematangkan dan mendewasakanDalam ajaran Islam, selambat-lambatnya 15 tahun manusia harus menjadi dewasa. Sebenarnya, anak sudah bisa dikatakan dewasa (akil baligh) saat berusia 12 tahun, namun Allah memberikan toleransi sampai 3 tahun jika belum mampu.
“Jadi, kalau toh tidak bisa 12 tahun menjadi dewasa, maka 15 tahun harus menjadi dewasa. Ulama sudah bersepakat itu. selambat-lambatnya kedewasaan itu pada usia 15 tahun,” ujar Adriano.
(jqf)