LANGIT7.ID, Jakarta - Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor,
Prof. Dr. KH. Hamid Fahmy Zarkasyi, mengatakan, kandungan
Pancasila sangat kental dengan pandangan dan konsep Islam.
Secara istilah, Pancasila dicetuskan oleh Ir Soekarno, tapi secara substansi dirumuskan oleh panitia sembilan yang mayoritas umat Islam.
“Pancasila itu juga berevolusi. Dia sebuah ide yang berkembang. Nama itu ditemukan oleh Soekarno, tapi konten dari Pancasila bukan hanya Soekarno yang menemukan,” kata Prof Hamid dalam Pidato Akhir Tahun: Worldview Islam dan Weltanschauung Bangsa yang digelar INSISTS pada Ahad (25/12/2022) malam.
Tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Karno dan Moh. Yamin memiliki sila yang diusulkan untuk menjadi dasar negara. Namun, lima sila Pancasila yang dikenal hari ini hasil dari musyawarah dan disepakati para pendiri bangsa.
Baca Juga: Memahami Makna Worldview dalam Sudut Pandang Islam
“Bung Karno juga mencetuskan Pancasila. Apa yang diklaim oleh Soekarno, aku menggali dalam ingatanku, menggali dalam ciptaku, menggali dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia,” jelas Prof Hamid.
Menggali artinya Bung Karno mencari apa-apa yang menjadi khazanah pemikiran bangsa Indonesia. Bumi Indonesia, kata Prof Hamid, berisi pandangan Islam meski dalam perjalanan sejarah, bumi Indonesia ada bekas animisme, Hindu-Budha, dan penjajah.
“Tetapi, mayoritas bangsa Indonesia sudah Islam,” kata Prof Hamid.
Masyarakat di Nusantara menjadi sebuah bangsa yang beragama Islam dengan proses damai tanpa ada peperangan. Islam masuk pada abad ke-13 atau ke-14 dengan membawa konten syariah. Pada era ini, umat Islam mulai menjalankan perintah agama yang terkandung dalam rukun Islam.
“Abad ke-15 sampai ke-19, para ulama banyak belajar ke Masjidil Haram. Di situ mereka belajar tasawuf, ilmu kalam, ilmu filsafat. Berarti ketika Islam datang ke negara-negara ketika sudah beragama lain, Islam sudah punya terminology yang universal,” ujar putra pendiri Pondok Modern Gontor itu.
Baca Juga: Perbedaan Cara Islam dan Barat Memandang Realitas dan Kebenaran
Konsep Islam itulah yang dibawa para ulama saat berhadapan dengan masyarakat Nusantara seperti Hindu dan Budha. Dari situ muncul kata-kata yang tidak pernah terbayangkan oleh Bangsa Melayu, yakni konsep Tuhan dengan menggunakan istilah wujud.
Kata wujud itu merupakan sebuah cara seseorang menggambarkan bahwa Tuhan itu ada, tapi dia tidak bisa disaksikan secara empiris. Konsep ini tidak ada di dalam agama lain pada waktu itu. Tuhan ada tapi tidak bisa dipersepsi dengan indra.
“Kata wujud itu menjelma menjadi sebuah konsep baru, yang orang kemudian mulai memahami. Abad ke-15 sampai abad ke-18, bangsa ini sedang dirasuki oleh worldview Islam, dengan berbagai macam konsep,” ujar Prof Hamid.
Direktur Utama
Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) itu mencontohkan konsep yang sudah berkembang sebelum Islam datang ke Nusantara. Orang Jawa dulu cuma mengenal hari ada dua yaitu siang dan malam. Islam datang mengubah konsep itu. Awal dan mulai bekerja adalah subuh, istirahat dari kerja adalah dzuhur, berhenti dari bekerja adalah ashar, pulang dari bekerja adalah maghrib, dan istirahat adalah isya.
“Jadi, salat lima waktu itu adalah ritme kehidupan. Itu salah satu cara Islam mengislamkan kehidupan bangsa Melayu di Nusantara,” ungkap Prof Hamid.
Baca Juga: Yudi Latif: Pancasila Jelmaan Piagam Madinah, Muat Inti Moral Publik
Islam datang dengan membawa ilmu, iman, dan amal (kalam, filsafat, dan tasawuf) merevolusi pandangan hidup bangsa Melayu. Orang Melayu yang dulu percaya animisanimisme berubah menjadi rasional dengan menyembah Tuhan yang Maha Esa.
“Konsep ini yang diterapkan pada bangsa Melayu, sehingga bangsa Melayu menjadi berubah cara pandangnya,” kata Guru Besar Filsafat Islam itu.
Bukti nyata dari revolusi cara pandang itu adalah penggunaan istilah-istilah baru dalam bahasa Melayu. Sebuah istilah yang dulu dalam bahasa Melayu tidak konseptual menjadi bahasa Arab yang konseptual. Seperti kata wujud, adil, adab, majelis, rakyat, musyawarah, dan lain sebagainya.
Ada ribuan kosakata bahasa Arab diserap ke dalam bahasa Melayu. Setiap kata mewakili satu konsep yang berasal dari worldview Islam. Ini proses islamisasi bangsa Melayu. Sekian banyak konsep inilah yang masuk ke dalam khazanah bahasa Melayu.
“Jadi, ketika bumi Indonesia digali, muncullah Pancasila yang dilahirkan Panitia Sembilan yang mayoritas beragama Islam. Soekarno adalah penemu nama Pancasila, tapi panitia Sembilan yang diisi mayoritas umat Islam adalah perumus Pancasila,” ujar Prof Hamid.
Itu pula yang mengilhami sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pokok dalam Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama adalah sila yang mewarnai seluruh sila-sila yang lain.
Baca Juga: Ma'ruf Amin: Pancasila Tetap Jadi Pandu Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
“Sehingga itu menjadi
conceptual framework, sehingga ketika bicara persatuan dia harus mengaitkan dengan ketuhanan, ketika berbicara dengan adil dan beradab harus dikaitkan dengan konsep ketuhanan. Kata musyawarah pun harus dikaitkan dengan ketuhanan,” ujar Prof Hamid.
Jika dilihat secara kritis, Pancasila dalam perspektif
worldview Islam (ilmu, iman dan amal) mempunyai dua aspek saja yakni iman dan amal. Ketuhanan Yang Maha Esa bagian dari keimanan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Kemanusiaa , persatuan, musyawarah, keadilan sosial itu adalah amal-amal shaleh yang harus dikerjakan oleh orang beriman.
“Makanya, ilmunya di mana? Ini masalahnya. Iman terus beramal. Tidak ada masalah sebenarnya. Orang beriman asal konsisten dengan keimanannya dia akan beramal dengan baik. jadi, orang beriman itu pasti beramal,” kata Prof Hamid.
(jqf)