LANGIT7.ID, Jakarta - Pakar Parenting Muslim, Ustadz Muhammad Fauzil Adhim, mengatakan, sekolah tidak sekadar berperan sebagai tempat untuk mentransfer pengetahuan. Lebih dari itu, sekolah harus menjadi institusi yang berperan mendidik anak-anak bangsa.
“Kalau cuma untuk pintar, tidak perlu sekolah. Kirim ke kursus saja. Kalau cuma keterampilan atau kemampuan kognitif saja, tidak perlu sekolah, karena itu, guru harus kembali mengetahui fungsi sekolah,” kata Fauzil dalam sebuah webinar di kanal AQL Islamic Center, dikutip Rabu (4/1/2023).
Menurut Fauzil, ada dua hal pokok yang menjadi tujuan sekolah yakni pendidikan karakter dan kompetensi.
Baca Juga: Guru Besar ITS: Tak Sebatas Sekolah Formal, Keluarga Harus Jadi Satuan Pendidikan
Pertama, pendidikan karakter. Pemahaman tentang makna karakter masih banyak kerancuan. Banyak orang menganggap kebiasaan adalah karakter.
Makna kebiasaan dan perilaku berulang pun masih sering disalahpahami. Perilaku berulang banyak ditemui di lingkungan sekolah. Seperti aturan shalat dhuha bagi para siswa. Perilaku berulang itu akan menjadi masalah jika tidak diikuti dengan internalisasi pada suatu kegiatan.
Misal anjuran Shalat Dhuha. Jika anak tidak ditanamkan sejak awal tentang ilmu dan iman, maka Shalat Dhuha hanya akan menjadi perilaku berulang saja. Suatu saat anak meninggalkan jika tidak ada lagi kewajiban. Maka sudah pasti Shalat Dhuha tidak akan menjadi kebiasaan, apalagi karakter.
“Anak tidak meyakininya sebagai sesuatu yang baik, anak bukan berlatih seperti itu, melainkan anak hanya diberi perlakuan saja. Maka ketika libur, libur juga,” ujar Fauzil.
Baca Juga: Co-Parenting, Kolaborasi Pendidikan Antara Rumah dan Sekolah
Maka itu, sekolah hanya menjadi tempat pembangunan karakter. Karakter adalah seperangkat sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebajikan, dan kematangan moral seseorang.
Secara etimologi, istilah karakter berasal dari bahasa latin character yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian, dan akhlak.
Kedua, sekolah menjadi tempat pendidikan kompetensi. Kompetensi meliputi tiga ranah yakni
life competence, academic competence, dan
career competence.
1. Life Competence
Life competence terbagi menjadi dua yakni
personal competence dan
social competence.
Personal competence berkaitan dengan pribadi anak yaitu mengenali emosi, cara menghadapi kekurangan dan kelebihan. Termasuk cara mengelola kekurangan dan kelebihan tersebut.
Baca Juga: Ainun Najib: Indonesia Harus Lebih Serius Didik Anak Bertalenta
Jika
personal competence bagus, maka akan mudah memiliki
social competence. “Bagaimana dia berhubungan dengan orang lain, sehingga kebaikan dan kemaslahatan yang tinggi,” kata Fauzil.
2. Academic CompetenceAcademic competence bukan cuma kemampuan saja.
Academic competence terbagi menjadi dua yakni sikap belajar dan keterampilan belajar. Poin ini yang banyak menjadi masalah besar di lembaga pendidikan.
Mudah ditemui guru-guru hanya melatih siswa mengerjakan soal menjelang ujian. Tidak ditanamkan sejak awal. Ini menyebabkan pelajaran sangat mudah dilupakan saat ujian berakhir. Maka itu penting melatih sikap belajar dan keterampilan belajar di sekolah.
3. Career Competence
Career competence juga menjadi salah satu yang paling pokok. Bukan hanya
hard skill. Hiruk-pikuk orang tua banyak yang membicarakan bakat, bukan berusaha mendidik anak menjadi muslim yang utuh dan kokoh.
Baca Juga: Adian Husaini: Sekolah Bukan Pabrik, Murid Bukan Produk
"Atau bagaimana mengembangkan
career competence-nya, tapi orang tua gagap mengenai pendidikan dalam Islam, sehingga fardhu pada anak ditelantarkan dengan alasan bakat,” ucap Fauzil.
(jqf)