LANGIT7.ID, Jakarta - Pendiri Pusat Kajian Islam Quantum Akhyar Institute,
Ustadz Adi Hidayat (UAH), mengingatkan, kekayaan dan peningkatan status seseorang dalam kehidupan di dunia hakikatnya adalah ujian dari Allah Ta’ala.
Peningkatan sosial tersebut bisa berupa kekuatan harta dan peningkatan kedudukan atau jabatan. Semua itu hanya ujian dari Allah, agar manusia bisa mengkreasikan ujian tersebut untuk meningkatkan ibadah dan syukur kepada Allah.
“Karena kunci hidup itu secara umum hanya ada dua, secara umum kalau bukan syukur itu sabar,” kata UAH dalam kajian Kitab
Adabul Alim Wal Muta'allim yang diikuti Langit7 secara daring, dikutip Selasa (17/1/2023).
Baca Juga: Orang Bertakwa Jauh dari Kefakiran, Rezeki Dijamin Allah SWT
Ujian hanya berkisar pada dua hal tersebut, syukur atau sabar. Maka, setiap orang harus pandai-pandai melihat titipan Allah. Ujian berupa harta atau jabatan harus mendorong untuk meningkatkan rasa syukur. Ujian berupa kemiskinan atau strata sosial rendah mendorong seseorang untuk bersabar.
“Rasulullah SAW sudah membuat kurikulum kehidupan seorang muslim dalam menghadapi berbagai hal dalam kehidupan. Mulai dari peningkatan harta, menyikapi promosi jabatan, saat diuji penyakit, kehilangan sebagian harta benda, kehilangan peluang pekerjaan, dan saat terjadi masalah dalam rumah tangga,” ungkap UAH.
Ujian terhadap manusia secara umum akan terus mengalami akumulasi dari masa ke masa. Ujian-ujian itu diakumulasi dari zaman nabi-nabi terdahulu sebelum era Nabi Muhammad SAW. Terlebih pada saat ini yang disinyalir sebagai kehidupan menjelang kiamat.
"Kebanyakan ulama mengingatkan di masa-masa itu yang penting kita menjaga diri, dari perbuatan maksiat dulu di zaman-zaman yang pernah dilalui, bahkan sebelum era Nabi Muhammad,” ucap UAH.
Baca Juga: 2 Sifat Rezeki pada Setiap Manusia: Mutlak dan Ikhtiar
UAH mencontohkan pada era Nabi Luth AS. Pada masa itu berkembang maksiat homoseksual, laki-laki menyukai sesama laki-laki. Hanya sebatas itu. Tapi kini mengalami akumulasi dari masa ke masa. Sudah banyak perempuan suka sesama perempuan atau lesbi. Bahkan berkembang menjadi LGBT.
“Umat-umat itu memang sudah tidak berharap kehidupan akhirat, karena merasakan keabadiannya dari dunia dengan sifat-sifat dan sikap yang melampaui batas,” ujar UAH.
Dulu Fir’aun hanya membunuh anak perempuan. Itu pun harus menunggu kelahiran sang bayi untuk memastikan jenis kelaminnya. Kini, banyak orang membunuh anak saat masih dalam kandungan.
“Kalau sudah di masa-masa itu tiba, artinya akan banyak akumulasi maksiat yang muncul, sehingga nahi mungkar bisa naik status, yang punya potensi besar untuk mendatangkan pahala jaga diri dalam kebaikan,” ungkap UAH.
Baca Juga: Tafsir: Tidak Lalai dalam Ibadah Meskipun Sibuk Mencari Rezeki
Kisah-kisah semacam itu diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai pelajaran bagi umat manusia. Sejarah kemaksiatan manusia terdahulu harus dihindari karena merusak tatanan kehidupan sosial dan merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Semakin mendekat hari kiamat, kemaksiatan pun semakin tinggi. Kondisi itu menuntut setiap muslim untuk nahi mungkar. Ada masa nahi mungkar memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan amar ma’ruf.
“Kadang manusia tidak banyak menyadari bahwa mencari pahala itu bukan hanya amar ma'ruf (seperti) salat, baca Al Quran, puasa. Tapi, menghindar dari maksiat pun ada pahalanya, itu nahi mungkar,” ujar UAH.
(jqf)