LANGIT7.ID, Jakarta - Pendidikan Islam telah hadir di Bumi Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka. Pondok Pesantren telah menjamur di desa-desa di seluruh Nusantara. Namun di abad ke-19, pendidikan Islam semakin terakselerasi menjadi lebih modern dan semakin baik. Hal itu terjadi berkat hadirnya lembaga pendidikan Islam yang berkualitas di berbagai wilayah di Indonesia.
Berikut sejumlah tokoh di balik hadirnya lembaga pendidikan Islam berkualitas yang kemudian jadi peletak pondasi pendidikan Islam di Indonesia..
1. Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947)

KH Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqaidah 1287 H/14 Februari 1871 M di Pesantren Gedang, Tambakrejo, Kabupaten Jombang. Beliau adalah anak ketiga dari 11 bersaudara, putra dari pasangan KIai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Setidaknya ada tiga kontribusi besar KH Hasyim Asy’ari di bidang pendidikan yang terus dirasakan umat Islam sampai saat ini. Pertama, beliau mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang pada 1899 dan masih beroperasi sampai sekarang.
Baca Juga: Keteladanan dan Kontribusi KH Hasyim Asy'ari untuk Negeri
Kedua, KH Hasyim Asy’ari menggagas pendidikan tentang adab lewat kitab
Adabul Alim wal Muta’allim. Kitab ini jadi kitab wajib yang banyak dipelajari di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Kitab tersebut membahas tentang keutamaan ilmu, keutamaan belajar, dan mengajarkannya. Lalu, pembahasan tentang etika seseorang dalam tahap pencarian ilmu. Dia juga membahas tentang etika seseorang saat sudah menjadi alim atau dinyatakan lulus dari lembaga pendidikan.
Ketiga, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926. NU saat ini memiliki anggota sampai 95 juta yang menjadikannya sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU juga mengkoordinir ribuan pesantren tradisional di seluruh Indonesia.
2. Syaikh Abdullah Ahmad (1878-1933)Syaikh Abdullah Ahmad merupakan putri Haji Ahmad, seorang ulama Minangkabau yang senantiasa mengajarkan agama di surau-surau dan juga merupakan saudagar kain bugis.
Pendidikan Syaikh Abdullah Ahmad dimulai dengan mempelajari ilmu agama Islam kepada orang tuanya serta beberapa pesantren. Pada usia 17 tahun yakni pada 1895, dia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, sambil melanjutkan pendidikan agama pada Syaikh Ahmad Khatib.
Baca Juga: Adabiyah School, Pelopor Metode Pendidikan Madrasah di Indonesia
Sifat keteladanan Syaikh Abdullah Ahmad. Dia belajar dalam kesederhanaan dan keterbatasan, ketekunan yang luar biasa dalam menuntut ilmu, dan sangat peduli terhadap pendidikan umat.
Kontribusi beliau pun sangat nyata. Di antaranya, dia merupakan maestro kelahiran sistem pendidikan madrasah dengan mendirikan Adabiah School pada 1907. Dia juga menerbitkan Majalah Dakwah Al Munir pada 1911 dan mendirikan Perkumpulan guru-guru agama Islam (PGAI) pada 1919.
3. Mohammad Natsir (1908-1993)

Mohammad Natsir merupakan putra dari pasangan Mohammad Idris Sultan Saripado, juru tulis pada masa penjajahan Belanda. Ibunya bernama Khadijah merupakan seorang muslimah yang taat pada agama.
Pada 1916, M Natsir belajar di Adabiyah School yang didirikan Syaikh Ahmad dan berprestasi, sehingga mendapatkan beasiswa. Setelah itu, dia mulajamah kepada syaikh selama empat tahun
Kontribusi M. Natsir di antaranya mendirikan Program Pendidikan Islam (Pendis) pada 1932 sampai 1942. Dia juga memiliki konsep dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan tiga pilar dakwah yakni masjid, pondok pesantren, dan kampus.
Baca Juga: Tak Kuliah, M Natsir Tempuh Sendiri Pendidikan Ideal hingga Dirikan Universitas
4. A. Hassan (1887-1959)

A Hassan lahir di Singapura pada 31 Desember 1887. Dia berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar adalah seorang penulis, jurnalis, dan ulama terkenal di Singapura. Maricar pernah menjadi direktur di Majalah Nur Al Islam.
A Hassan juga dikenal sebagai guru M. Natsir yang mendirikan Pesantren Persis Bangil. A. Hassan berkontribusi dalam memberikan nuansa baru dalam sebuah pesantren yang menghidupkan diskusi dan debat dalam menyelesaikan permasalahan di tengah masyarakat.
A Hassan menghidupkan tradisi baru dalam pendidikan pesantren yakni pengajaran Islam melalui diskusi dan debat di pesantren beluau.
5. Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Ki Hajar Dewantara merupakan cucu dari Sri Paku Alam III dan ayahnya bernama GPH Soerjaningrat. Dia juga pernah menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (LES), sekolah rendah untuk anak-anak Eropa.
Masuk ke School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (Stovia) atau yang sering disebut Sekolah Dokter Jawa. Kemudian, Europeesche Lagere School (LES) atau Sekolah Belanda III, Kweekschool (sekolah guru) di Yogyakarta.
Dia juga mengenyam pendidikan di School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA), sekolah kedokteran di Jakarta. Pendidikan STOVIA tidak bisa diselesaikan karena sakit.
Baca Juga: Alasan Ki Hajar Dewantara Usulkan Pesantren Jadi Sistem Pendidikan Nasional
Keteladanan dari sosok Ki Hajar Dewantara adalah sangat dekat dengan rakyat meskipun berasal dari keturunan raja, sangat mencintai Tanah Air, dan menanamkan pendidikan budi pekerti.
Beliau juga memiliki beberapa kontribusi untuk umat dan bangsa. Pertama, meletakkan dasar pendidikan nasional, yang tidak hanya berfokus pada intelektual, namun juga keadaban dan kebudayaan berbasis keyakinan religius.
Kedua, nilai agama menjadi hal penting dalam proses keadaban. Ketiga, mendirikan perguruan taman siswa sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan menghilangkan karakter pendidikan penjajah.
(jqf)