LANGIT7.ID, Jakarta - Pakar
parenting, Ustaz Bendri Jaisyurrahman, meminta para orang tua tidak membiasakan berteriak kepada anak, karena berdampak pada fisik dan psikis.
Secara fisik, teriakan bisa merusak fungsi otak anak. Satu teriakan bisa merusak 10 ribu sel otak. Ada dua bagian otak yang paling terdampak. Pertama, otak korteks. Salah satu fungsi bagian otak ini adalah pengendali pikiran anak. Jika ini rusak, maka sama saja orangtua merusak sistem berfikir anak.
“Ketika berteriak, kita sebenarnya sedang merusak sistem berfikir anak. Sejatinya, seorang anak ingin rasa nyaman tapi dirampas oleh teriakan, terutama bagian korteks,” kata Ustaz Bendri dalam webinar
parenting yang diikuti Langit7.id, Kamis (2/2/2023).
Baca Juga: Tips Cegah Penculikan Anak: Beri Pembekalan Hadapi Orang AsingKedua, teriakan akan menyasar bagian batang otak. Otak reptile yang membuat seseorang bisa bersikap refleks. Ironisnya, teriakan bisa merusak bagian otak itu, yang membuat anak kekurangan sikap refleks saat mendapat bahaya.
“Kalau diteriakin, batang otak atau otak reptil itu akan menebal. Kenapa banyak anak emosian, karena anak mendapat teriakan,” ucap Ustaz Bendri.
Teriakan juga berpengaruh pada psikis anak. Dampak paling nampak adalah terciptanya jarak antara anak dan orangtua. Anak akan merasa tidak nyaman berada di dekat orang tuanya, bahkan membuat tidak betah di rumah.
Baca Juga: Saran Sosiolog Cegah Penculikan Anak, Orang Tua Harus Waspada“Sikap kasar dan keras membuat jarak secara psikis. Anak jarang pulang, itu karena budaya teriak yang mengontrol anak dari kecil. Hal itu membuat anak membuat tidak nyaman di rumah. Anak-anak jadinya tidak ingin terbuka dengan orang tua kemudian tidak ingin bercerita, akhirnya menutup diri,” tutur Ustaz Bendri.
Maka itu, orang tua tidak boleh menganggap remeh teriakan. Meski orang tua berniat ingin punya kendali kepada anak, ttetapi hal itu justru merusak hubungan antara keduanya. Memang ada rasa takut, tetapi itu hanya bersifat sementara saja.
Saat beranjak remaja dan menemukan teman, anak bisa memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan. Ada dua bentuk perlawanan yang biasa dilakukan. Pertama, perlawanan feminim. Anak akan melakukan secara diam-diam apa yang tidak disukai orangtuanya.
Baca Juga: Melatih Pola Pikir Anak agar Bertahan di Era Transformasi Digital“Misalnya, orang tua tidak suka anaknya dekat dengan suku tertentu, justru mendekati suku itu. Hal itu merupakan bentuk perlawanan feminin,” ujar Ustaz Bendri.
Kedua, perlawanan secara maskulin atau agresifitas. Anak bisa saja mengumpulkan kekuatan atau keberanian untuk membentak balik. Hal Ini tentu tak diinginkan setiap orang tua. Anak akan tumbuh menjadi orang yang berani melawan orangtuanya sendiri.
“Makanya, kekuatan utama mengontrol anak adalah mengambil hatinya. Barang siapa yang mampu mengikat hati anak, dia jadi pemenang dalam pengasuhan. Makanya, jangan mengendalikan rasa takutnya, tapi kendalikan hatinya. Hal Ini membutuhkan proses panjang,” pungkas Ustaz Bendri.
(jqf)