LANGIT7.ID, Jakarta- - Dalam Islam,
syariat Allah merupakan landasan utama yang harus diikuti oleh seluruh umat Muslim. Namun, seringkali terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menjelaskan dan menginterpretasikan ajaran-ajaran syariat tersebut. Lalu, kenapa harus ada perbedaan pendapat?
Anggota Majelis Hukama’ Al-Muslimin (Muslim Council of Elders), Syaikh Abdullah bin Bayyah, menjelaskan, para ulama menyebutkan ketiadaan nas atau dalil yang sifatnya qath'i (paten), dalam artian nas itu tsubut (valid) secara riwayat dan pendalilan, menjadi penyebab munculnya perbedaan pendapat dalam pemahaman dan sudut pandang.
Hal tersebut mengakibatkan perbedaan pengambilan landasan pendalilan. Itu pula yang memunculkan berbagai hal bersifat ijtihad yang zhanniyyah atau pretensi. Demikian kurang lebih dijelaskan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid dan asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat. Sehingga hendaknya saling menghormati terhadap perbedaan pendapat furu’ yang ada.
“Syariat Allah memang satu, dan syariat Allah ini luas. Sehingga, keluasan ini -seperti saya katakan- jika itu terkontrol dan terpangkal dari ahlinya, maka itu ialah keanekaragaman. Sisi pengontrolnya adalah kita mengambil kaidah-kaidah dan mqashid-maqashid yang sudah dipakemkan ulama,” kata Syaikh Abdullah dalam kajiannya, dikutip Sabtu (15/4/2023).
Menurut Syaikh Abdullah, perbedaan pendapat dalam ranah fikih merupakan satu hal yang harus disyukuri. Itu merupakan nikmat dari Allah Ta’ala, karena setiap suku bangsa memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga bisa mengamalkan pendapat fikih yang sesuai dengan kehidupannya.
“Perbedaan pendapat dalam ranah fikih itu memberikan kelapangan bagi manusia. Perbedaan pendapat secara ijtihad. Setiap sesuatu yang tidak ada nas secara qath’I, -qath’i ini mempresentasikan nas-nas yang mutawatir-. Keluar dari lingkup ini, maka perbedaan pendapat itu terpuji,” ucap Syaikh Abdullah.
Sementara, Ulama dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur, KH Hadi Mulyadi, menjelaskan, perbedaan pendapat dalam kebaikan dan syariat merupakan sesuatu yang sangat wajar terjadi. Itu merupakan keragaman berfikir para ulama dalam memahami suatu masalah dengan sumber ilmu yang dimilikinya, kondisi lingkungan, dan zaman masing-masing.
“Dalam sejarah Islam, sejak zaman sahabat Nabi SAW, tabi’in dan tabi’ tabi’in sudah terjadi berbagai perbedaan pendapat (ikhtilaf) khususnya dalam masalah cabang-cabang agama (furu’iyah),” kata KH Hadi saat menyampaikan khutbah di Masjid Istiqlal, dikutip hari ini.
KH Hadi menilai ada hikmah perbedaan pendapat dalam kebaikan antara lain:
1. Agar umat Islam bisa berlomba-lomba dalam kebaikan, siapa yang paling baik amalnya.
Artinya:
"Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan..." (QS. Al-Baqarah/2: 148).
2. Agar kita bisa saling membantu dalam kebaikan dan taqwa (ta’awun/kolaborasi)
Artinya:
"Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan saling tolongmenolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya." (Q.S Al-Maidah/5: 2)
3. Agar kita bisa saling menghormati dalam kehidupan (tasamuh atau toleransi)
Artinya: "...
Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati" (QS. Al-Baqarah/2 :139).
4. Agar kita bisa mendapatkan kemudahan dan kesuksesan dalam kebaikan
Artinya:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah/ 2:185)
Dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam praktek syariat Islam alangkah baiknya mengikuti nasihat ulama mujtahid Syaikh Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid, yaitu
"Kita bekerjasama dalam hal yang disepakati dan bertoleransi dalam hal yang diperselisihkan."“Perbedaan pendapat dalam niat kebaikan akan melahirkan persatuan dan itu akan mendatangkan Rahmat dari Allah
subhanahu wata'ala. Perbedaan pendapat dalam niat keburukan akan melahirkan perpecahan dan itu akan mendatangkan laknat dari Allah,” tutur KH Hadi.
(ori)