LANGIT7.ID-, Jakarta- - Baru-baru ini marak seminar bertajuk "Rekontekstualisasi Fikih" yang membahas dua isu besar yaitu menafsirkan ulang
fikih dan politik identitas. Politik identitas, terutama yang berbasis agama, dianggap buruk dan harus ditolak.
Fenomena ini berkaitan langsung dengan fikih sehingga perlu ditafsirkan ulang. Dalam seminar tersebut, disebutkan perlunya menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia berdasarkan agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua.
Peneliti di Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS), Ahmad Kholili Hasib, menjelaskan, ada kesalahan fundamental dalam isu rekontekstualisasi fikih dan isu tentang politik berpandukan agama ini. Kesalahan seriusnya dapat dilacak dari cara pandang tentang fikih dan tentang politik. Tulisan ini membahas isu serius tersebut.
"Agar tidak salah faham dengan istilah-istilah baru itu seperti: rekontekstualisasi dan politik identitas. Isu ini penting dibahas karena langsung menyinggung ajaran fikih yang telah diajarkan dalam kitab-kitab kuning (al-turats) di pesantren yang sudah berabad-abad lamanya menjadi panduan umat," kata Kholili melalui akun media sosial pribadinya, Rabu (10/5/2023).
Baca juga:
Makam Aulia Sono Guru KH Hasyim Asy'ari Jadi Ikon Wisata Religi BaruPerkara mendasar pertama yang perlu dipahami dalam isu ini adalah maslahah dalam hukum fikih. Hukum fikih dilaksanakan dan diperintahkan untuk diamalkan kepada umat supaya terwujud maslahah bagi kehidupan manusia. Bukan merusak manusia atau merendahkan derajat manusia.
Nabi Muhammad SAW sendiri diutus oleh Allah SWT dengan misi besar; menyempurnakan akhlak manusia. Maka, datangnya Nabi Muhammad sebagai utusan Allah Swt merupakan rahmat bagi alam. Hal ini bisa dilihat dalam Surah Al-Anbiya’ ayat 107.
Imam Abu Qosim al-Qusyairi menjelaskan makna rahmat lil alamin dalam tafsirnya “Lathaif al-Isyarah jilid 2, “Adapun orang Islam maka mereka selamat dengan mu (Muhammad), sedangkan orang yang kafir kami menunda adzabnya selama mereka di dekatmu. Engkau adalah rahmat dari-Ku atas seluruh makhluk”.
Artinya, rahmat tidak lain eksistensi Nabi Muhammad SAW. Allah Ta'ala tidak jadi mengadzab orang kafir karena ada Nabi Muhammad SAW di dalamnya. Rahmat berarti tertundanya siksa terhadap orang kafir. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa keselamatan itu dengan memeluk agama Islam.
Ibnu Katsir saat menjelaskan Surah Al-Anbiya' ayat 107 menjaskan secara lebih spesifik bahwa rahmat itu dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka dia dicatat memperolah kasih sayang di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia selamat dari bencana seperti yang menimpa umat-umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke bumi.”
Baca juga:
Langkah Kemenag Setelah Indonesia Dapat Tambahan 8.000 Kuota HajiSecara singkat penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa rahmatan lil alamin itu berkenaan dengan eksistensi Nabi Muhammad SAW dan ajarannya. Berkat Nabi Muhammad orang-orang kafir ditunda adzabnya.
Tidak seperti orang kafir zaman sebelum Nabi Muhammad SAW yang langsung diadzab di dunia oleh Allah Swt. Orang kafir tetap mendapatkan adzab, tetapi ditunda nanti di akhirat. Rahmatan lil alamin juga berkaitan dengan sifat agama Islam, yaitu umat yang mengikuti Nabi Muhammad maka akan bahagia dan selamat di akhirat.
"Sedangkan yang ingkar kepada ajarannya, akan sengsara di akhirat. Jadi, tidak ada sama sekali penjelasan bahwa rahmatan lil alamin itu adalah toleransi. Makna rahmatan lil alamin sangat teologis," ujar Kholili.
Oleh sebab itu, islamisasi dan penyiaran ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia merupakan penyebaran rahmat ke alam semesta. Di mana Islam dipeluk oleh masyarakat, maka di situ ada rahmat. Dalam sejarah, dunia pernah mengalami kerusakan hebat selama lima abad.
Bentuk-bentuk kerusakan itu seperti dijelaskan oleh Dr. Syekh Ramadhan al-Buthi dalam Fiqih Sirah, yaitu menyembah berhala (batu, pohon, matahari dan bintang), menikahi putri kandungnya, membunuh saudaranya demi harta, kebiasaan berzina, dst.
Pasca Nabi Isa dan menjelang lahirnya Nabi Muhammad SAW kerusakan itu meruntuhkan akal dan jiwa manusia. Sayid Abul Hasan an-Nadawi menyebut, kelahiran Nabi Saw dan kemunculan Nabi Saw di kota Makkah merupakan kasih sayang Allah yang diberikan kepada umat manusia. Sebab, misi Nabi Saw memperbaiki kerusakan manusia yang hampir seperti hewan itu.
"Pemahaman seperti tersebut di atas ini berkaitan langsung dengan maslahah hukum syariah. Maslahah sebagai tolak ukur kebijaksanaan selaras dengan lima tujuan syariah," tutur Kholil
Seperti dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, “Maslahah pada intinya adalah ungkapan tentang penarikan manfaat dan penolakan bahaya. Yang kami maksud dalam statemen ini bukan penarikan manfaat dan penolakan bahaya yang menjadi tujuan dan kebaikan manusia dalam menghasilkan tujuan mereka.
Tetapi yang kami maksud dengan “maslahah” adalah perlindungan terhadap hukum syara’. Tujuan hukum bagi bagi manusia itu ada lima; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala tindakan yang menjamin terlindunginya lima prinsip tujuan hukum di atas disebut “maslahah”. Sedangkan semua tindakan yang mengabaikan lima prinsip tujuan tersebut itu disebut kerusakan (mafsadah) dan menolak “mafsadah” itu juga “maslahah” (Imam al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, I, hal. 284-286).
Jadi, “maslahah” yang menjadi tujuan hukum fikih itu mengandung lima tujuan prinsip. Agama bahkan menjad tujuan pertama. Menunjukkan prioritas dan keutamaan dalam penjagaan. Sebab, ajaran Nabi Muhammad ini yang mengandung rahmat maka di dalamnya terdapat “maslahah”. Dalam statemen Imam al-Ghazali di atas, justru tindakan yang merusak lima tujuan tersebut disebut “mafsadah”. Tindakan dan pemikiran yang mereduksi dan mendekonstruksi agama merupakan “mafsadah”.
Baca juga:
Kisah Serma Riadi Tentara Guru Ngaji dan Lara Hati Anak-anak Pulau BuruSalah satu contoh paling aktual pemikiran yang diikuti dengan tindakan yang merusak agama adalah ideologi sekularisme. Karena sekularisme melucuti kehidupan manusia dari nilai-nilai dan ajaran agama.
Harvey Cox, tokoh pelopor sekularisasi di Barat, menegaskan maksud sekularisme. Yaitu, melucuti masyarakat dari batas-batas agama dan pandangan alam metafisika (metaphysical worldview). Dunia sekularisme adalah dunia yang tanpa hukum agama sama sekali. Jelas saja sekularisme merupakan “mafsadah” paling serius di zaman modern ini. Maka, menolak sekularisme merupakan “maslahah”.
Salah satu metode sekularisasi dalam melucuti agama dalam kehidupan adalah membongkar hukum agama. Dalam konteks agama Islam, meskipun fikih (yang dianuti sampai zaman ini mengikuti empat madzhab) banyak mengandung ijtihad dalam masalah furuiyyah (cabang-cabang agama), tetapi ajaran yang diamalkan mengutamakan ijma’ dan berdasarkan otoritas keilmuan seorang ulama mujtahid.
Ijma (konsensus ulama terhadap satu hukum) secara epistemologi bersifat mengikat, kuat dan tetap. Ulama yang berijtihad bukan sembarangan ilmuan. Secara keilmuan, akal, hati, dan akhlak menjadi pertimbangan-pertimbangan yang pasti. Berbeda dengan model keilmuan Barat sekular, yang lebih menimbang dari sisi rasio. Tidak menimbang akhlak, perbuatan dan hati serta ideologi.
Dalam pandangan Islam, derajat manusia itu tidak sama. Ada Nabi dan ada wali. Tingkatannya tentu tidak boleh kita samakan. Muslim itu ada menjadi wali, ada alim, ada yang jahil. Oleh sebab itu, perlakuan kita terhadap mereka tidak sama. Nabi Saw karena manusia paling mulya, secara hukum pun ada khususiyyah. Selain Nabi Saw, hukum berlaku sama; wali, alim, jahil, lelaki, perempuan.
Oleh sebab itu, perkatan seorang ulama dengan perkataan orang jahil itu tidak sama. Kita yakin dengan penjelasan seorang ulama alim daripada ocehan seorang jahil. Sebagaimana kita lebih yakin berobat kepada dokter daripada saran dari seorang pedagang.
Islam yang membeda-bedakan ini apakah disebut diskriminatif? Tentu saja tidak. Seorang Presiden kita beri kursi tempat duduk paling depan, dan seorang pelajar kita dudukkan di kursi belakang. Ini bukan diskriminasi. Justru penempatan dengan pembedaan ini sangat rasional. Tidak semua yang membeda-bedakan itu pasti diskriminatif.
Begitu pula dalam Islam yang termaktup dalam kitab-kitab hukum turats. Dalam kitab-kitab kuning fikih mengajarkan ada pembeda-bedakan. Baik kategorisasi itu berupa istilah atau tindakan. Seorang Muslim berbeda dengan seorang kafir. Hukum fikih membedakan status antar keduanya. Dalam siyasah syar’iyah ada dzimmi, ada harbi.
"Muslim dan kafir harus dibedakan. Karena derajatnya memang tidak sama. Jika kita percaya dengan konsep rahmat seperti dijelaskan di atas, maka akal kita justru menyimpulkan pembedaan muslim-kafir dalam hukum itu merupakan “maslahah” bukan diskriminasi. Kesimpulan ini sangat rasional jika kita percaya Nabi Muhammad Saw itu rahmat dan ingkar kepada Nabi Muhammad itu laknat," ungkap Kholili.
Orientasi keagamaan dalam hukum Islam memang teologis, bukan ateis. Utamakan keselamatan agama Islam, serta nafikan perusakan agama. Sementara orientasi ideologis sekularisme itu sebaliknya.
Seperti terjadi di masyarakat Barat.
Orientasi masyarakat sekular itu antroposentris (manusia sebagai pusat), bukan teosentris (Tuhan sebagai pusat). Dalam masyarakat Barat, sejak abad modern terjadi perubahan besar-besaran orientasi. Dari teosentris ke antroposentris. Maka, tidak heran dalilnya selalu kemanusiaan. Bukan ketuhanan atau keagamaan. Lebih mementingkan keselamatan harta manusia daripada keselamatan agama.
Hukum fikih jika ditafsirkan ulang dengan cara menghilangkan kateogorisasi muslim-kafir, dzimmi, harbi, dst maka itu namanya pembongkaran ajaran fikih yang termaktub dalam kitab-kitab kuning.
Pembongkaran itu mengarah kepada disorientasi akal, dari teosentris ke antroposentris. Sangat berbahaya.
Fikih bukan lagi berpandukan lima prinsip seperti di atas (yang mengutamakan menjaga agama), tapi berpandukan HAM versi deklarasi PBB tahun 1948 yang kontroversial itu. Karena HAM yang dideklarasikan PBB itu mengandung ideologi humanisme dan sekularisme. Pembongkaran atas nama HAM itu namanya dekontruksi fikih.
"Dekonstruksi fikih itu 'mafsadah', tidak ada sama sekali 'maslahahnya'. Ajaran agama menolak segala bentuk tindakan yang menimbulkan bahaya dan kerusakan. Bahaya dan keruskan itu merujuk kepada lima prinsip maqasid," ungkap Kholil
Oleh sebab itu, segala bentuk perantara yang menjadi sebab terwujudnya perbuatan merusak orang beriman itu harus dicegah. Menutup segala tindakan yang dapat mengantarkan kepada kerusakan atau sesuatu yang diharamkan.
"Zina termasuk perbutan yang dilarang, oleh sebab itu segala perantara yang mendorong kepada zina harus ditutup. Atas dasar ini, maka pornografi, khalwat lelaki perempuan bukan muhrim harus dicegah (dilarang)," tutur Kholil.
(ori)