LANGIT7.ID-, Jakarta- - Musim kemarau menyebabkan kekeringan di berbagai daerah Indonesia. Di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi Kabupaten Puncak, Papua Tengah kekeringan mengakibatkan krisis pangan yang menyebabkan enam warga meninggal dunia.
Indonesia sebenarnya dijuluki a miracle country on the world karena sektor tanaman pangan melimpah secara faktual. Tapi terjadi paradoks, karena kenyataannya garis kemiskinan tercatat 23-48 ton/tahun atau 115-184 kg/kapita/tahun.
Food loose tercatat 45% pada 2019 dengan rerata 56%, terutama sektor tanaman pangan sebesar 12 juta-21 juta ton per tahun.
Guru Besar Ekonomi Islam FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Muhammad Said, menjelaskan, krisis ketahanan pangan merupakan kondisi tak ideal. Hal itu saat elemen masyarakat menerima akses pangan secara kuantitas dan kualitas berbasis pada keragaman sumber daya nasional tak terpenuhi secara sempurna. Itu disebabkan saluran distribusi pangan terhambat.
"Banyak faktor penyebab krisis ketahanan pangan, di antaranya dampak perubahan iklim dan bencana alam. Ekonomi Islam sebagai sistem berdasar pada prinsip syariah mengajarkan etika gaya hidup seperti pola konsumsi sederhana, tanpa kehilangan makna dan esensi," kata Said di laman UIN Syarif Hidayatullah, dikutip Jumat (4/8/2023).
Baca juga:
Papua Krisis Pangan, Pemerintah dan Umat Islam Diminta Lebih Proaktif.
Ekonomi Islam mengajarkan bangunan relasi manusia dengan alam secara harmonis melalui kelestarian alam. Ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dan kebijakan terkait krisis ketahanan pangan.
Pertama, gatra sumber kekayaan alam modal ekonomi yang given dari Allah. Tugas manusia adalah mengelola sumber kekayaan alam dengan baik dan benar. Itu untuk pemenuhan kebutuhan sesuai kaidah moral, yang melahirkan kemaslahatan bagi manusia.
"Manajemen berkelanjutan dan tata kelola yang baik sebagai prinsip universal, menjadi bagian penting dari perhatian ekonomi Islam. Al-Qur'an menerangkan, tata kelola kehidupan hari ini berkesinambungan dengan hasil yang dinikmati pada masa depan," ujar Said.
Kedua, eksplorasi sumber kekayaan alam diorientasikan untuk pemenuhan kebutuhan manusia, bukan keinginan yang tak terbatas.
Ketiga, pengelolaan gatra SKA berorientasi pada penguatan ekonomi rakyat sebagai pilar ekonomi nasional. Ekonomi kerakyatan esensinya ekonomi berbagi sebagaimana ekonomi Islam. Ekonomi kerakyatan berbasis kekeluargaan, sesuai UUD 1945 Pasal 33 ayat 1-3.
"Sebagaimana halnya Pancasila, ekonomi Islam menekankan ketauhidan (ketuhanan), kemanusiaan, keadilan, musyawarah dengan penuh keadaban, dan persatuan," ujar Said.
Keempat, perilaku konsumsi ditekankan pada gaya konsumsi moderatif agar tercipta keseimbangan antara kebutuhan individual dan kebutuhan sosial. Itu termaktub dalam banyak ayat Al-Qur'an, di antaranya QS al-Qashash ayat 77.
Kelima, konsiderasi eksistensi orang lain perlu mendapat perhatian sehingga perilaku konsumsi waste food dan loose food, dapat diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi kelompok miskin. Memunculkan kesadaran bahwa sesuatu yang bermanfaat dapat dimanfaatkan untuk memberikan manfaat bagi mereka yang memerlukan.
"Dengan begitu, kehadiran kita dapat menebar manfaat bagi orang lain. Ketiadaan empati sosial kelompok kaya terhadap kelompok miskin mencerminkan kegersangan “rasa”, yang berdampak pada terganggunya pilar demokrasi kehidupan sosial dalam masyarakat," kata Said.
Krisis ketahanan pangan nasional tak dapat dipisahkan dari perkembangan geostrategi global. Negara sebagai suprastruktur dalam sistem manajemen nasional mengarahkan kehendak politik pada tujuan memaksimalkan potensi gatra kekayaan alam, untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
"Pemerintah memberi ruang bagi masyarakat memperoleh hak-hak akses sumber ekonomi untuk menjamin kehidupan yang layak dan sejahtera, sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945," tutur Said.
Negara juga membuka ruang masyarakat sipil melalui gerakan pendidikan politik berkeadaban agar tercipta keseimbangan, check and balance antara tata laksana pemerintah (TLP) dengan tata kehidupan masyarakat (TKM) dan tata politik nasional (TPN).
Interaksi dinamis antara negara (suprastruktur), tata politik nasional (infrastruktur), dan tata kehidupan masyarakat (substruktur) memiliki relasi saling terkait dalam meningkatkan kewaspadaan dan partisipasi mengatasi krisis ketahanan pangan.
"Perubahan perilaku boros jadi hemat perlu kemauan keras, yang ditopang sistem yang mengikat disertai keteladanan pemimpin. Tak kalah penting, merekonstruksi budaya tradisional seperti rumah Jompa atau istilah lain di setiap daerah sebagai simbol ketahanan pangan di setiap daerah," jelas Said.
(ori)