LANGIT7.ID-, Jakarta- - Imam Besar Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar sekaligus Rektor UIM Algazali, Prof Muammar Bakry, menegaskan, salah satu ajaran inti Islam adalah merawat dan menjaga lingkungan. Dia menyebut hukum menjaga lingkungan adalah fardhu ain.
Pada dekade akhir-akhir ini, dunia disibukkan dengan isu perubahan iklim dan krisis lingkungan. 196 negara anggota PBB pada perjanjian Paris sepakat memperlambat laju pemanasan global di bawah 1,5 - 2 derajat celcius, namun hal itu tak mampu diwujudkan.
Dampak yang serius pada lingkungan yakni cuaca yang susah diprediksi, meningkatnya suhu dan gelombang panas yang membawa bencana alam, hilangnya berbagai spesies tumbuhan dan hewan, terjadi kekeringan dan gagal panen. Namun di wilayah lain terjadi banjir karena meningkatnya air permukaan laut di daerah-daerah pesisir dan lain-lain.
Fenomena itu tentu berdampak pada kondisi sosial masyarakat kita mulai dari perekonomian hingga pada kesehatan manusia. Ini berarti kerusakan alam dapat mengantar pada rusaknya tatanan sosial masyarakat, bahkan mengancam kehidupan makhluk dalam lingkungan.
Baca juga:
Workshop Pra Ijtima, Kiai Cholil Sebut Ekonomi Syariah Jadi Solusi Perekonomian Nasional"Lingkungan yang terdiri dari benda hidup (biotik) seperti manusia, tumbuhan, hewan. Dan benda tak hidup (a biotik) seperti air, udara (angin), tanah dan lain-lain," kata Muammar saat menyampaikan khutbah di Masjid Istiqlal, dikutip Kamis (7/9/2023).
Di antara makhluk yang paling berkepentingan dengan lingkungan adalah manusia. Maka itu, manusia diberikan amanah sebagai khalifah dengan fasilitas akal pikiran untuk mengelola, memelihara, dan menjaga alam.
Seluruh unsur lingkungan saling berhubungan untuk membentuk suatu kesatuan sistem kehidupan yang disebut ekosistem. Di dalamnya ada produsen (tanaman), ada konsumen (manusia dan hewan), ada pengurai bahan organik (mikroba) dan ada komponen tak hidup (air, udara, mineral).
Terganggunya salah satu unsur lingkungan akan berpengaruh terhadap sistem kehidupan alam semesta yang sudah diciptakan teratur dan seimbang. Hal tersebut sudah dijelaskan dalam Surah Al-Mulk ayat 3-4.
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَّهُوَ حَسِيْرٌ (4)
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? (3) Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah (4)”. (QS Al-Mulk: 3-4)
Untuk menjaga mizan itu, manusia diperintahkan berihsan. Berihsan dengan standar minimal adalah tidak merusak ekosistem alam. Berihsan secara maksimal yakni melakukan hal-hal yang sifatnya transformatif untuk kemaslahatan lingkungan sesuai prinsip-prinsip keseimbangan hukum alam atau sunnatullah.
Tidak membuang sampah di sembarang tempat adalah hal yang minimal dalam berihsan, tapi mengelola sampah menjadi hal yang produktif adalah berihsan secara maksimal. Tidak merusak tanaman adalah hal yang minimal, tapi menanam pohon dan merawatnya bukti ihsan maksimal.
"Kalau tidak bisa membersihkan jangan mengotori, kalau tidak bisa menanam dan menyiram jangan menebang dan merusak, demikian seterusnya," ujar Muammar.
Muammar menjelaskan, alam ini adalah jembatan untuk kesalamatan akhirat sebagaimana terdapat pada Qur'an Surat Al-Qashahsh ayat 77. Maka itu, manusia dituntut mengelola alam dengan sebaik-baiknya. Bumi dan segala isinya disiapkan untuk manusia sebagai pengelolanya, sebagaimana dalam Qur'an Surat Hud ayat 61.
Dalam memakmurkan dan memanfaatkan alam ini, perlunya sifat zuhud dalam menjaga bumi. Sikap berlebih-lebihan dalam mengeksploitasi alam adalah prilaku israf dan tabzir yang disenangi oleh setan. Jangankan dalam bermuamalah, dalam beribadah pun sifat itu dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.
كان النبي صلى الله عليه وسلم يغسل أو كان يغسل با لصاع إلى خمسة أمداد ويتوضأ بالمد
“Rasulullah ketika mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai lima mud berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak) satu mud.” (HR Bukhari-Muslim)
Dalam riwayat ini tergambar Nabi Muhammad SAW tidak boros dalam menggunakan air. Ketika Nabi berwudhu diperkirakan hanya menggunakan setengah liter. Ketika mandi hanya menggunakan sekitar lima liter.
Sikap spiritual dalam mengelola alam untuk kemaslahatan manusia sebagai tujuan hadirnya syariah agar tidak menimbulkan kerusakan. Maka itu, dalam mengelola alam diperlukan Ekologi Spiritual yakni berinteraksi dengan lingkungan, dengan “menghadirkan” Tuhan dalam setiap aspek kegiatan. Merasakan bimbingan Tuhan dalam mengelola alam sebagai hamba dan khalifah.
Menerjemahkan potensi sifat-sifat Allah dalam berinteraksi dengan lingkungan. Misalnya, meneladani sifat rahman dan kasih sayang Allah, sehingga menjadi agen rahmatan lil alamin dalam mewujudkan keindahan, kenyamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Al-Qur'an Surat Ar-Ruum ayat 41-42 Allah SAWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia. Ayat 42 Qur'an Surah ArRum menyebutkan prilaku musyrik menjadi penyebab dan penggerak tangan berulah dalam melakukan tindakan pengrusakan alam.
Jadi, musyrik dalam ayat tersebut bisa bermakna syrik dalam akidah, bisa juga bermakna syirik dalam perbuatan. Syrik dalam perbuatan adalah orang yang memiliki orientasi material yang berlebih-lebihan dengan mengabaikan nilai-nilai moralitas dalam bermuamalah dan mengelola alam ini.
"Prilaku hidup yang merasa tidak dimuraqabah oleh Allah subhanahu wata'ala, prilaku yang mengabaikan sifat keagungan Tuhan, jauh dari frekuensi ilahi yang membuat dirinya hilang kendali. Agar tidak rusak kita harus berprilaku 'Mushlih'," ujar Muammar.
Dalam konteks syariah, menjaga lingkungan dapat dimasukkan sebagai bagian dari tujuan hadirnya syariah Islam di tengah manusia. Tujuan utama kehadiran syariah Islam itu biasa diistilahkan dengan Maqashid Syariah, yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan, dan menjaga harta benda.
Kemaslahatan dunia dan akhirat bersumber pada Maqashid Syariah tersebut, diurut secara sistematis menurut skala prioritasnya. Dimulai dari agama karena tanpa agama, tidak ada optimisme dan pengharapan balasan atas amalan yang dilakukan.
"Dengan norma-norma agama cara hidup manusia akan berbeda dengan kehidupan binatang. Menjaga kehidupan, karena tanpa kehidupan tidak ada penganut agama," ujar Muammar.
Maka itu, merusak lingkungan (bumi) berarti merusak kehidupan makhluk terutama manusia. Dengan demikian hukum menjaga lingkungan adalah fardhu ain (kewajiban person) kepada setiap umat manusia.
"Kaidah yang sangat populer La dharara wala dhirarar (tidak memberi mudharat kepada yang lain dan tidak dimudharatkan oleh yang lain) menjadi acuan hukum atas keharaman merusak lingkungan, dan memerintahkan sebaliknya yaitu kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan," tutur Muammar.

(ori)