LANGIT7.ID-, Jakarta- - Dalam Islam, konsep popularitas mirip dengan konsep harta dan kekuasana. Satu sisi popularitas merupakan karunia dari Allah SWT, namun di sisi lain bisa juga menjadi fitnah. Kesukaan pada popularitas secara langsung menggerus keikhlasan.
Namun demikian, tidak sedikit tokoh besar dalam Islam memiliki tingkat popularitas yang tak pernah mati. Siapa yang tak kenal Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan sahabat-sahabat lain. Begitu juga para ulama seperti Imam empat mazhab.
Founder Formula Hati, Ustadz Muhsinin Fauzim, mengutarakan, popularitas dalam Islam harus disikapi dengan bijaksana. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Allah Tabaraka wa Ta’ala jika mencintai seseorang, Dia memanggil Jibril ‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan maka cintailah dia.’ Sehingga Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril memanggil seluruh penghuni langit seraya berseru, ‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan maka cintailah dia.’ Maka penghuni langit pun mencintainya, sehingga orang tersebut diterima oleh penduduk bumi.” (HR Al-Bukhari).
Baca juga:
Perangi Judi Online, Pemerintah Hapus 392.652 Konten dari Ruang DigitalPopularitas mirip dengan karunia Allah yang lain yang bersifat duniawi seperti harta dan kekuasaan. Popularitas bisa menjadi fitnah yang melalaikan manusia dari keikhlasan. Adanya dorongan yang lebih baik dari populer di dunia ke populer di antara penduduk langit.
“Islam mengarahkan popularitas itu ke penduduk langit, yakni populer di antara makhluk-makhluk Allah yang berada di sisi-Nya. Hal ini merupakan salah satu cara agar tidak terjebak ke dalam riya,” ujar Ustadz Fauzi dalam kajian daring Formula Hati, Sabtu (14/10/2023).
Maka itu, ada tiga hal yang harus dilakukan dalam menghadapi popularitas. Pertama, harus selalu menjaga keikhlasan hati. Hal ini merupakan tugas yang sangat besar. Jika seseorang tidak bisa sampai menata hati ketika beramal yakni riya, maka bukan hanya saja tidak mendapat pahala, tapi bisa jadi dimurkai oleh Allah karena sifat ini.
Kedua, harus bisa menjaga diri dari fitnah popularitas. Kalau Allah memberi popularitas bahkan sampai aksetabilitas, maka seorang muslim tidak boleh sampai tertarik di sana, karena tergerus dan menjadi motif perbuatan.
Ketiga, pada batas tertentu, popularitas bisa menjadi alat evaluasi atau sebuah amal. Popularitas bisa dijadikan alat ukur terhadap kinerja dan bukan sebagai motif. Misalnya, ketika mengevaluasi dalam perjalanan dakwah, seseorang bisa menggunakan popularitas untuk mengukur apakah dakwah sudah diterima lebih banyak oleh masyarakat atau tidak.
“Berdakwah itu harus ikhlas namun berdakwah itu harus diterima. Kalau dakwah itu tidak diterima, maka manfaatnya bisa jadi berkurang,” ujar Ustadz Fauzi.
Maka itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan jika seseorang diberi karunia popularitas. Pertama, perlu membanyak istighfar agar terhindar dari riya, ujub dan sombong. Kedua, harus bisa memantau hati agar tidak bergeser ke tindakan riya.
“Kalau ternyata bergeser, ia harus menghindari. Ketiga, Menggunakan popularitas sebagai alat untuk melipatgandakan kebaikan,” ujar Ustadz Fauzi.
Keempat, seseorang yang mendapatkan karunia popularitas harus memperbanyak syukur kepada Allah agar tidak terjerumus menjadi penyakit hati. Selain itu, harus terus memperbaiki diri dan mengevaluasi diri.
(ori)