LANGIT7.ID-, Jakarta- - Dalam Islam, suka berdebat merupakan salah satu akhlak buruk. Ada dua hal istilah yang digunakan dalam Islam. Pertama, jidal (debat) yakni saling menyanggah di antara dua pihak dan seterusnya tanpa menggunakan bukti yang kokoh dan etika yang baik. Jidal lebih mengarah kepada hal-hal negatif, sehingga tidak diperkenankan dalam Islam.
Kedua, khiwar (dialog) adalah beradu argumen dengan bukti dan etika yang baik. Dialog atau diskusi merupakan sesuatu yang positif, dan diperkenankan dalam Islam. Setidaknya ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang melarang suka berdebat atau jidal. Tiga ayat itu terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 197, Ali imran ayat 66, dan Az-Zukhruf ayat 58.
Ibnu Mas’ud mengatakan, jidal ditafsirkan ketika seseorang mendebat orang lain sampai orang itu marah. Bedebat yang batil dilakukan tanpa ilmu dan tanpa dasar. Rasulullah bahkan menganjurkan untuk meninggalkan debat sekalipun benar.
Founder Formula Hati, Ustadz Muhsinin Fauzi, menjelaskan, perdebatan justru tidak membuat orang baik, namun membuat orang lain menjadi antipati. Orang yang suka berdebat ingin benar sendiri dan justru membuat orang lain menjauh.
Baca juga:
Pemanfaatan Dana Wakaf Diharapkan untuk Bangun Fasilitas KesehatanSecara umum, Al-Qur’an, sunnah dan para Ulama mencela akhlak suka berdebat. Ujung dari perdebatan bukan membuat orang lain menerima kebenaran, namun justru menjatuhkannya. Perdebatan tidak mendatangkan kebaikan, tapi justru mendatangkan keburukan.
“Perdebatan itu tidak membuat orang menjadi taat kepada agama namun justru membuatnya meninggalkan syariat,” kata Ustadz Fauzi dalam kajian daring Formula Hati, Rabu (18/10/2023).
Menurut Ustadz Fauzi, ada lima dampak buruk dari suka berdepat. Pertama, suka berdepat merupakan bagian dari perkataan yang melebihi batas dan hal ini tercela. Kedua, perdebatan yang berlebihan akan mendorong orang-orang saling mengkafirkan dan menyesatkan.
“Ketiga, debat berdampak saling menolak. Keempat, debat memicu permusuhan. Kelima, debat mendorong orang untuk berdusta karena tidak mau kalah,” ujar Ustadz Fauzi.
Ada dua macam perdebatan menurut Syekh Hutsaimin. Perdebatan yang tanpa dasar, yakni debatnya orang-orang yang tidak berilmu dan hanya ingin menang saja. Ini merupakan kateofir debat yang tercela. Kedua, perdebatan yang ingin mencari kebenaran dengan akhlak yang baik. Maka ini diperbolehkan.
“Terkadang orang itu sering kali tidak mau kalah dalam berbicara sehingga terjadilah perdebatan. Ia berpikir bahwa ketika bisa berdebat, maka ia akan menang dan puas. Padahal, sesungguhnya ia kalah karena tidak ada gunanya,” ungkap Ustadz Fauzi.
Kemenangan di atas perdebatan yang menyakiti merupakan kekalahan dari sudut diplomasi. Ada ungkapan, lebih baik kalah di omongan tapi menang di agenda, ketimbang menang di omongan tapi kalah di agenda.
“Itulah perlunya kita menghindari akhlak ini dan semoga Allah selalu menjaga kita,” ujar Ustadz Fauzi.
Kendati begitu, ada juga jenis-jenis debat yang diperbolehkan. Misalnya, dialog antara Nabi Nuh dan kaumnya yang menentang Allah yang termaktub dalam Surah Hud ayat 25-33. Ada juga dialog antara Nabi Ibrahim dengan ayahnya dan kaumnya yang tertulis dalam Surah Al-An’am ayat 74-83. Ada pula dialog antara Umar bin Khattab, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Rasulullah tentang perdamaian Hudaibiyah.
“Dialog-dialog ini dapat diizinkan dan terpuji karena menggunakan data, tidak ada suara tinggi, dan tidak menolak kebenaran,” ujar Ustadz Fauzi.
(ori)