LANGIT7.ID-, Jakarta- - Sejak anak masih dini, maka orang tua harus fokus menanamkan rasa cinta kepada Allah SWT. Bukan menanamkan rasa takut kepada-Nya. Cinta yang akan menanamkan rasa khauf (takut) anak kepada Allah SWT.
Anak akan takut untuk berkhianat pada amanah kehidupan yang Allah berikan kepada dirinya, rasa takut menyederai perintah-Nya, dan rasa takut untuk kepeleset berbuat maksiat. Itu semuai rasa takut yang lahir dari rasa cinta.
“Dan biasanya takut yang lahir dari rasa cinta dia lebih menjaga sikap, dia lebih menjaga akhlak, dia lebih menjaga adab karena lahirnya dari cinta,” kata Pendiri Sekolah Rumah Tangga, Febrianti Almeera, dalam kuliah daring Edufic, Ahad malam (29/10).
Namun, apabila anak yang ditakut-takuti sedari kecil untuk takut dengan zat Allah, biasanya orang tua menggunakan Allah untuk mewakili kemarahan dirinya. Misalnya, ‘Jangan rebutan, nanti Allah marah’. Orang tua menggambarkan Allah sebagai zat pemarah, zat yang penghukum yang ada anak akan takut.
Anak yang tumbuh dengan imaji bahwa Allah adalah zat yang menakutkan, sehingga lahir rasa takut dalam dirinya. Maka, itu sulit untuk menumbuhkan rasa cinta pada Allah. Sedangkan, motor dari penghambaan harus komplit ada cinta ada takut.
“Nah, ini salah kaprahnya biasanya anak harus takut sama Allah jadi ditakut-takutin dan memang menakuti anak itu lebih efektif membuat dia mengikuti keinginan orang tua. Itulah makna dari cinta dapat melahirkan rasa takut, tapi takut tidak dapat melahirkan rasa cinta dan itu kata kunci kita terkait menumbuhkan kecintaan anak pada Allah sedari kecil,” tutur Febrianti.
Dalam Al-Qur’an Surah Ibrahim ayat 24-26 menguraikan agar orang tua harus sabar dalam mengasuh dan mendidik anak. Mendidik dan mengasuh anak 15 tahun itu berlaku untuk setiap anak, bukan hanya anak pertama lahir.
Dalam ayat tersebut, secara sederhana Allah memperumpamakan seorang manusia dengan pohon. Pohon yang digambarkan adalah salah satunya pohon yang baik. Maksudnya, pohon yang baik adalah akarnya teguh, cabangnya menjulang ke langit, dan memberikan buah pada setiap musim.
Apabila manusia itu diibaratkan pohon, maka pohon yang baik ini adalah manusia yang baik, manusia yang bagus kualitasnya. Manusia yang bagus kualitasnya akarnya teguh. Akar ini serupa dengan keimanan. Keimanan kokoh, cabang menjulang ke langit, dan memberikan buah kepada setiap musim.
“Buah itu karya, kontribusi, dan dedikasi pada setiap musim. Artinya dia tidak kenal waktu, setiap ada kesempatan selalu memberikan manfaat dan itulah manusia yang paripurna, memiliki manfaat untuk orang lain,” ujar Febrianti.
Pohon yang dimaksudnya dalam Quran surat Ibrahim ini ayat 24-26 ini adalah pohon yang berbuah setiap musim. Manusia yang baik itu yang berbuah setiap musim. Manusia yang berbuah setiap musim adalah pohon-pohon yang rata-rata tumbuhnya lama, butuh jangka waktu panjang, dan maintenance-nya cukup effort.
Hanya petani yang telaten yang mau sabar dan akan bisa membantu menumbuhkan pohon dengan jangka waktu yang lama sampai berbuah. Apabila sudah tumbuh buah pertama biasanya dia tidak bisa dihentikan berikutnya berbuah dan berbuah.
Artinya, jika orang tua mau menumbuhkan manusia kecil di rumah, berarti bersiap dalam jangka waktu yang panjang dengan effort yang besar.
Cinta dan Fitrah Manusia
Berbicara tentang cinta memupuk kecintaan pada Allah berarti membicarakan tentang Fitrah keimanan. Itu karena yang bisa menumbuhkan rasa cinta sama Allah, sebab ada fitrah. Secara spesifik itulah fitrah keimanan.
Setiap anak lahir dalam keadaan beriman dan bersaksi bahwa Allah adalah Tuhannya. Tidak ada anak yang tidak cinta kepada Allah. Semua anak pada dasarnya cinta sama Allah dan cinta pada kebenaran.
Ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda terkait dengan pendidikan Fitrah keimanan. Ayah adalah pendidik akidah dan keimanan, ibu pendidikan akhlak. Dalam Quran terkait akidah itu diwakili dialog Lukmanul Hakim dengan anaknya.
“Akidah adalah hitam putih, benar salah, halal haram. Tidak ada tengah-tengah, tidak ada hitam, putih, abu-abu. Ayah memiliki profil yang tegas dan cenderung lebih kaku daripada ibu,” tutur Febrianti.
Sedangkan, ibu khasnya adalah cerewet. Kecerawatan ibu hadir secara natural. Harapannya, kecerawatan ini diberikan oleh Allah kepada ibu untuk mendidik akhlak. Akhlak itu butuh pengulangan.
“Misalnya kita sebagai ibu yang mengingatkan anak untuk makan pakai tangan kanan, atau saat menguap harus ditutup. Kecerewetan tersebut diaplikasikan untuk mendidik akhlak anak,” tutur Febrianti.
Membahas anak usia 0-2 tahun. Rawatlah rasa cinta dan imaji positif ana, bahwa Allah adalah Rabb (Pencipta, Pemberi Rezeki, Pengatur alam semesta). Anak melihat perwakilan Allah dari orang tua. Jadi, sebelum anak kenal Allah, anak kenal kita dulu sebagai orang tuannya. Bayi melihat ibunya terlebihdulu lalu ayahnya.
“Nah, apabila ibu dan ayahnya baik maka penciptanya pasti baik. sehingga ketika ibu dan ayah tidak berperan baik atau banyak galaknya sebenarnya yang paling dikhawatirkan adalah imaji anak kepada Allah sebagai penciptanya. Jadi pasanglah mimik wajah yang nyaman dan ada suara yang nyaman kepada anak,” ujar Febrianti.
Berikutnya, tentang anak yang rentang usia 3-7 tahun. Pada usia ini masih mengajarkan sama yaitu mengenalkan kecintaan pada Allah dan ditambah mulai mengenalkan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, Islam adalah agama atau jalan hidup keselamatan dengan cara penyampaian yang bisa diterima oleh anak bukan cara orang dewasa.
“Beri kabar gembira kepada anak sebanyak-banyanya, kasih kabar gembira pahala atau nanti Allah akan memberi kebaikan. Berikan cerita kisah-kisah yang imajinya positif terhadap Allah dan Rasulullah dan hindarkan dulu kisah-kisah terkait neraka, azab, Dajjal atau kiamat. Walaupun benar namun dahulukan cinta dulu pada Allah,” ujar Febrianti.
(ori)