LANGIT7.ID-, Jakarta- - Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, "Allah tidak pernah menimpakan suatu penyakit kecuali Dia membuat obatnya."
Berlandaskan hadits tersebut, herbalisme menjadi pengobatan populer diterapkan di dunia Islam. 350 tahun setelah Rasulullah SAW wafat, lebih dari 700 ramuan herbal dan penggunaannya tercantum dalam buku The Canon of Medicine karya Ibnu Sina.
Saat ini, masih ada ratusan ramuan yang biasa digunakan, berkat jalur-jalur yang telah diwariskan melalui penerjemahan karya-karya klasik, pewarisan tradisi, dan catatan-catatan dalam Hadis dan Al-Qur’an.
Namun, penerjemahan karya-karya klasik sering kali dianggap remeh. Di era informasi ini, banyak orang bahkan tidak berhenti untuk mempertimbangkan bahwa sebagian besar literatur klasik yang kita baca hari ini awalnya dalam bahasa Latin, Yunani atau Prancis; sebagian besar harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar kita dapat menikmati dan belajar darinya.
Selain itu, dunia penerjemahan herbal dan medis sangat menantang dan kompleks. Penerjemahan literatur herbal sering kali membutuhkan seseorang yang memiliki pengetahuan eklektik dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Para cendekiawan seperti Averroes dan Ibnu Sina adalah seorang filsuf, apoteker dan dokter serta ahli herbal. Hal ini berarti bahwa banyak penerjemah yang memiliki gelar sarjana di beberapa bidang hanya untuk dapat memahami dengan baik subjek yang mereka terjemahkan.
Tantangan Penerjemahan
Masalah kedua dalam penerjemahan adalah: bahasa berubah dan berkembang seiring berjalannya waktu. Kata-kata yang berbeda dapat berkembang dan memiliki arti yang berbeda dari waktu ke waktu. Untuk memperumit masalah, banyak tanaman herbal yang memiliki nama yang berbeda-beda dan dalam kebanyakan buku herbal modern, Anda akan menemukan hingga lima belas nama alternatif tanaman herbal yang terdaftar (Shook).
Selain itu, bahkan aksara suatu bahasa pun berubah. Di Turki, misalnya, aksara resmi negara tersebut berubah dari bahasa Arab ke bahasa Latin, meskipun kata-katanya tetap sama.
Masalah ketiga dalam menerjemahkan literatur herbal adalah bahwa banyak buku yang ditulis tangan sehingga penerjemah tidak hanya harus menguraikan bahasa yang digunakan, tetapi juga gaya tulisan tangan penulisnya. Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, adalah banyak buku yang telah hilang selama bertahun-tahun.
Dunia Muslim telah mengalami setidaknya tiga kali kehancuran besar dalam bidang literatur dalam seribu tahun terakhir. Pada tahun 1217 M, 1393 M dan sekali lagi pada tahun 1920 M, buku-buku dibakar dan banyak karya-karya asli yang hilang. Dunia Barat juga mengalami masalah yang sama (Blair).
Setelah Romawi menaklukkan Yunani, misalnya, yang tersisa dari literatur ilmiah Yunani hanyalah Ensiklopedia Pliny dan risalah Boethius tentang logika dan matematika (Tchanz).
Namun, berkat karya-karya penerjemah yang berdedikasi, penggunaan banyak herbal tetap terjaga sampai sekarang.
Banyak tanaman herbal yang tidak hanya dicatat dalam Hadis dan Al-Qur'an, tetapi juga oleh para ahli herbal dari dunia Barat dan Timur. Sangat menarik dan mendidik untuk membandingkan dan membedakan cara-cara penggunaan berbagai herbal menurut literatur yang diterjemahkan.
(ori)