LANGIT7.ID-, Jakarta- - Pakar Tafsir Al-Qur’an, Prof. Quraish Shihab, mengungkapkan, tafsir Al-Qur'an merupakan upaya manusia untuk menjelaskan maksud dari firman Allah yang sesuai dengan kemampuan manusia. Maka itu, corka tafsir bisa berbeda antara satu mufassir dengan mufassir lain.
Kemampuan manusia bertingkat-tingkat dan kecenderungan individu berbeda-beda. Hal ini menghasilkan corak tafsir yang beragam, bahkan bisa menciptakan penafsiran yang bertolak belakang satu sama lain. Kendati begitu, seorang muslim tidak langsung mempermasalahkan perbedaan tersebut.
"Corak tafsir (Al-Qur'an) itu berbeda-beda, bahkan bisa jadi ada penafsiran antara satu dengan yang lain sedemikian berbeda sehingga dinilai bertolak belakang. Jangan cepat-cepat mempersalahkan," ucapnya dalam acara Ngaji Bareng di Universitas Islam Yogyakarta, Rabu (6/12/2023).
Prof Quraish memberikan contoh sederhana, yakni seputar konsep nikah dalam Al-Qur'an. Dia menekankan, pandangan berbeda tentang arti nikah bisa menghasilkan penafsiran yang berlawanan. Misalnya, apakah nikah itu lebih kepada akad atau hubungan seks.
Baca juga:
Pujian Prof Quraish Shihab pada Gus Baha: Orang Alim Besar tapi Sembunyi"Apa artinya nikah? Walaa tankihu ma nakaha minan nisa. Nikah itu akad atau hubungan seks? Kalau saya berkata nikah itu akad, maka seorang ayah yang berhubungan seks dengan seorang wanita, lalu wanita itu hendak dikawini oleh anaknya, boleh tidak? Boleh. Karena dia tidak menikah. Tapi kalau kita berkata nikah adalah hubungan seks, berlawanan. Jadi kita harus menoleransi ini," jelasnya.
Dia menegaskan pentingnya ulama dalam menjawab problema-problema yang relevan dengan masyarakat setempat. Ia pun mengkritisi beberapa tafsir lama yang dianggap memberikan solusi terhadap problema tertentu, bukan problema yang dihadapi oleh masyarakat saat ini.
"Saya di tafsir Al-Misbah, menulis tentang matsalul kalimatin thayyibah perumpamaan kalimat thayyibah, lailahaillah, adalah seperti pohon yang baik. Akarnya menghujam ke dalam, kokoh, cabangnya naik menjulang ke atas, dan menghasilkan buah yang banyak. Banyak ulama, termasuk saya yang mengutip ini, itu pohon kurma," jabar dia.
Namun, hal itu bisa juga ditafsirkan sebagai pohon kelapa dan itu sangat Indonesiawi sehingga membuat corak tafsir yang cocok dengan kultur di Indonesia.
"Bagaimana kalau kita tafsirkan itu dengan pohon kelapa? Bisa saja Itu sangat indonesiawi itu. Itulah corak tafsir," ujar dia.
Ia menekankan bahwa tafsir Al-Qur'an harus mampu memberikan solusi yang relevan dengan kondisi dan perkembangan zaman, tanpa mengorbankan substansi dan keautentikan teks Al-Qur'an.
"Itu corak tafsir. Kita ingin problema-problema kita, kita carikan solusinya di dalam Al-Qu'ran. Salah satu kritik terhadap kitab tafsir yang lama adalah memberikan solusi terhadap problema mereka, bukan problema kita," jelasnya.
Prof Quraish juga mengomentari tafsir Al-Azhar karya Ulama Indonesia Buya Hamka. Dia menilai, tafsir Al-Azhar merupakan tafsir dengan nuansa khas Indonesia. Menurutnya, nuansa Indonesia pada tafsir itu tercermin dalam penggunaan bahasa, sajak-sajak, dan contoh-contoh yang familiar di Indonesia.
"Dari tafsir berbahasa Indonesia ini, ada yang jelas sekali nuansa Indonesia. Tafsir Buya Hamka itu jelas sekali nuansa Indonesianya. Sajak-sajak dalam bahasa Indonesia, bahasa Indonesianya indah, contoh-contohnya itu yang kita kenal di Indonesia," tuturnya.
(ori)