LANGIT7.ID-, Jakarta- - Utteng Al-Kajangi Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
Sekitar dua bulanan lagi bangsa Indonesia akan kembali melangsungkan perhelatan akbar demokrasi. Bangsa yang besar nan hebat ini akan melangsungkan pemilu untuk memilih calon-calon pemimpin mereka, baik legislatif maupun eksekutif.
Pemilu kali ini akan memiliki magnitude (ukuran) yang sangat besar dan pastinya akan sangat melehkan. Hal itu karena pemilu kali ini secara serentak dilangsungkan dalam pemilihan Presiden-Wapres dan anggota DPR dan DPD RI. Tentu harapan dan doa kita semoga tidak mengakibatkan hal yang tidak diinginkan. Sebagaimana kita semua ingat begitu besar jumlah korban nyawa pada pilpres yang lalu.
Selain pentingnya mengantisipasi hal-hal negatif seperti di atas, tentu tidak kalah pentingnya juga adalah urgensi mengantisipasi terjadinya ketidak becusan dalam pelaksanaan pemilu. Ketidak becusan itu salah satunya adalah ketika para wasit (pelaksana pemilu) memihak, bahkan ikut bermain.
Baca juga:
Anies Janji Revisi UU KPK, Ganjar Mau Kirim Koruptor ke NusakambanganTapi tidak kalah pentingnya juga adalah wawasan, mindset dan karakter para pemain (calon pemilih) yang perlu dibenahi. Adalah sangat penting untuk para pemain (pemilih) itu bermain dengan penuh kesadaran, kemurnian hati (tidak dipaksa atau diiming-imingi), dan profesional. Sadar bahwa memilih adalah hak Konstitusional yang sangat penting. Lalu memutuskan pilihan dengan pertimbangan nurani dan akal sehat.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah pentingnya “profesionalitas” para pemain dalam bermain. Pemain yang profesional itu artinya pemain yang mampu bermain dengan modal keilmuan dan skill permainan. Saya optimis dengan terbukanya media, termasuk media sosial, para pemain itu semakin memilki perangkap profesionalitas.
Dalam hal pilihan ini pengetahuan dan pemahaman para pemilih tentang “calon” yang akan dipilih menjadi sangat menentukan. Sehingga keputusan pilihan bukan sekedar karena dorongan emosional dan pragmatis semata. Tapi didasari oleh pengetahuan bahwa calon yang akan dipilih itu memang sesuai dengan idealisme dan nilai yang dijunjungnya.
Dengan pengetahuan tentang calon para pemilik akan rasional dalam menentukan pilihan. Berdasarkan pengetahuan tentang calon itu para pemilih akan melakukan “honest judgment” atau penilaian jujur tentang para calon. Mana yang terbaik dan paling sesuai dengan idealisme, nilai dan tentunya kebutuhan bangsa dan negara.
Kata “rasionalitas” itu memang berasal dari kata “rasio” (ratio) yang bermakna “ukuran”. Jadi memilih secara rasional itu artinya menentukan pilihan dengan melakukan kalkulasi secara cermat dan jujur terhadap calon-calon yang ada.
Dalam mengukur atau menilai para calon ada beberapa dasar yang dapat dipakai. Dimulai dari aspek pribadi, keluarga, dan juga tentunya rekam jejak dalam kehidupan publiknya. Semua itu akan direlevansikan dengan keadaan idealisme dan nilai serta keperluan negara, bangsa, bahkan dunai global.
Selain itu, gagasan atau ide-ide para calon yang tertuang dalam visi misi yang ditawarkan juga menjadi dasar penting dalam menilai para calon. Para pemilik akan menilai mana gagasan yang lebih ideal, berkarakter kemajuan, inovatif, imbang (balance), komprehensif, dan realistis.
Gagasan atau ide yang tertuang dalam visi misi atau rencana kerja para calon itu akan lebih banyak terekspos pada saat acara debat calon atau di acara-acara kampanye. Di acara debat dan kampanye ini akan terekspos jika visi misi itu memang terlahir dari gagasan dan ide “genuine” para calon. Bukan sekedar karangan dan titipan para ahli yang mendampinginya.
Pada tataran pribadi ada beberapa hal penting untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan. Dalam
pandangan agama ada empat karakter dasar kepemimpinan; shiddiq (jujur dan memegang kebenaran), amanah (terpercaya), fathonah (cerdas), dan tablig (komunikatif).
Jika diekspresikan dalam bahasa yang lebih sederhana maka calon pemimpin itu harusnya berkepribadian agamis, berwawasan dan pintar, dan memiliki karakter atau akhlak yang mulia. Termasuk di dalamnya adalah kematangan emosional dan kemampuan mengendalikan diri.
Aspek keluarga juga cukup menentukan. Hal persis yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hal memilih jodoh. Bahwa salah satu alasan dalam memilih jodoh karena karena nasab atau keturunan.
Tentu dalam hal pilihan politik akan lebih relevan dengan keluarga masa kini. Merujuk kepada kehidupan keluarga; isteri/suami dan anak-anaknya? Bahkan bagaimana keluarga dekatnya, termasuk saudara-saudaranya?
Menjadikan keluarga sebagai pertimbangan dalam memilih penting. Karena selain memang secara agama dianjurkan, juga karena sejarah membuktikan banyak politisi yang terjatuh disebabkan oleh keluarga, anak atau isterinya yang tidak berintegritas. Silahkan membaca sejarah pembesar-pembesar dunia, termasuk di negara kita sendiri.
Pertimbangan atau kalkulasi selanjutnya adalah pada rekam jejak calon yang akan dipilih dalam kehidupan publiknya. Tentu lebih khusus lagi bagaimana rekam jejak para calon ketika diberikan amanah/jabatan publik?
Pertimbangan ini sangat penting untuk mengukur hari-hari ke depan calon itu. Karena sesungguhnya cara terbaik untuk mengetahui tentang siapa calon pemimpin di masa mendatang adalah dengan melihat masa lalunya. Yaitu dengan melihat rekam jejaknya dalam melaksanakan amanah yang pernah diletakkan di atas pundaknya.
Semoga kita semua dapat belajar lebih rasional dalam menentukan pilihan. Kita harus mampu menggunakan “rasio” atau kemampuan kita dalam menimbang-nimbang para calon yang ada. Bukan karena sekedar ikatan emosial, kedekatan pribadi, apalagi karena memang sekedar dorongan pragmatis atau kepentingan tertentu. Semoga!
Jamaica Hills, 11 Desember 2023
(Catatan putra Kajang di Kota New York)
(ori)