LANGIT7.ID-, Jakarta- - Guru Besar Filsafat dan Etika, Franz Magnis Suseno, menyoroti dinamika demokrasi dan politik di Indonesia menjelang Pemilu dan Pilpres 2024. Menurut dia, penting bagi semua pihak untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan etika dalam setiap tindakan politik.
Hal itu dia sampaikan dalam diskusi bertajuk ‘Fatsoen Politik & Budaya: Menuju Politik Indonesia Yang Bermartabat Melalui Pembangunan Budaya’ yang digelar The Lead Institute Universitas Paramadina pada Selasa, 19 Desember 2023.
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menjelaskan, demokrasi yang nikmat di Indonesia merupakan hasil reformasi yang diperjuangkan dengan berdarah-darah. Namun, Suseno menekankan bahwa yang membuat demokrasi terus bisa berjalan damai dan mantap adalah sejauh mana etika berdemokrasi diterapkan.
“Sejauh mana proses perpolitikan berjalan secara etis,” ujarnya.
Baca juga:
Persis Surati Bawaslu soal Polemik Candaan Agama dalam KampanyeIndonesia, lanjut Suseno, punya kekuatan etik dan kebudayaan yang saling menerima dalam perbedaan. “Itulah mengapa kita dari Sabang sampai Merauke, ratusan komunitas, etnis, budaya agama yang berbeda merasa kita ini satu bangsa kita, saling menerima dan saling menghormati,” tuturnya.
Suseno juga menyoroti ancaman terhadap demokrasi, yakni apabila etika tak lagi dijunjung tinggi dan pemerintahan dijalankan dengan sistem yang korup, di mana uang dianggap bisa membeli kekuasaan.
“Saya merasa kita harus menjaga dan menuntut bahwa sekarang etika itu harus dihormati,” tegas Suseno.
Dia juga menyoroti kasus pelanggaran etika dalam perpolitikan, seperti yang terjadi pada Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres pada Pilpres 2024.
“Misalnya, ketika salah satu calon presiden marah karena ditantang dengan persoalan etis dengan mengatakan ‘Ndasmu etik’. Kalau itu menjadi sikap di antara kita, kita berada dalam bahaya,” tutur Suseno.
“Ada kesan dengan yang terjadi pada MK yang bagi saya menyedihkan. MK di tahun-tahun pertama mengambil keputusan lebih bagus, tapi kemudian diketuai oleh orang yang jadi keluarga penguasa lalu mengambil keputusan yang menguntungkan penguasa sehingga majelis kehormatan mengatakan ada pelanggaran etika yang berat,” imbuhnya.
Menurut Suseno kondisi yang demikian sudah pada taraf “gawat sekali, ada pelanggaran etika yang gawat sekali”.
Suseno menyatakan bahwa tuntutan etika itu mutlak dalam berdemokrasi, dan karenanya kritik terhadap pelanggaran etika harus terus disuarakan. “Etika harus diomongkan karena persatuan bangsa akan tergantung dengan itu juga,” tuturnya.
Dalam agenda yang sama, Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J Rachbini menyatakan bahwa pembiaran pelanggaran etika politik akan membuat iklim demokrasi di Indonesia jatuh ke jurang kehancuran.
“Saat ini, politik seolah-olah ditabrak saja. Misalnya, MKMK sudah memutuskan bahwa apa yang dilakukan Anwar Usman itu salah. Itu kan ditabrak oleh pelaku politik saat ini. Apa yang akan terjadi ke depan, saya kira kehancurannya cukup berat,” kata Didik.
Selain itu, Didik juga menyoroti adanya ketimpangan keadilan dalam proses penegakan hukum, yang dinilainya tebang pilih.
Dia memberi contoh bagaimana penegakkan hukum aturan lalu lintas, “Kalau yang melanggar adalah pelaku biasa, tinggal ditangkap. Tetapi kalau yang melanggar yang berkuasa, penjaganya tidak ada,” imbuh Didik.
Budayawan Dr. Ngatawi Al-Zastrouw menjelaskan, etika politik merupakan hal penting dalam sistem politik yang mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa.
Etika, katanya, dapat menjadi standar kualitas demokrasi suatu negara, suatu negara yang etika politiknya rendah maka kualitas demokrasinya rendah, sekalipun secara prosedur formalnya baik.
“Pada 1993 Gus Dur sudah me-warning ketika menyebut demokrasi seolah-olah, seolah-olah demokratis, seolah-olah hukum tegak, ini karena kehilangan dimensi etis. Kalau omongan Gus Dur itu kita pasang sekarang, masih relevan, ” kata Ngatawi.
Dia menguraikan, etika atau fatosen adalah terkait dengan sikap, tindakan dan perilaku seseorang untuk menghormati dan memuliakan orang lain.
Menurut Ngatawi, etika tidak tertumpu pada hukum formal-tekstual, tetapi berhubungan erat dengan kearifan, akhlak, karakter, dan kepekaan seseorang untuk menjaga harkat dan martabat orang lain.
“Dengan demikian fatsoen melampaui hukum formal-tekstual. Fatsoen bersifat manifes, faktual dan praksis, bukan tekstual, normatif dan oral. Lebih bersifat keteladanan, bukan retoris,” tuturnya.
Karena etika terkait dengan moral-etik kemanusiaan maka dia menjadi sesuatu yang vital dalam kebudayaan.
“Fatsoen dapat menjadi standar untuk meliat tinggi rendahnya kebudayaan suatu masyarakat. Masyarakat yang memiliki fatsun tinggi maka semakin berbudaya, demikian sebaliknya,” kata Ngatawi.
(ori)