Shamsi Ali al-Kajangi
Hari Selasa kemarin, 27 Pebruari 2024, bersama beberapa organisasi lintas benua (Afrika, Asia, Eropa, Amerika) Nusantara Foundation kembali menjadi co sponsor acara UN Interfaith Harmony.
Acara ini merupakan acara rutin tahunan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York sebagai pengingat urgensi relasi damai dan harmonis antar kelompok manusia.
Selain sebagai ko-sponsor, saya juga selalu diminta menjadi salah seorang nara sumber. Tentu sebagai wakil komunitas Muslim. Di acara ini hampir semua komunitas agama dan adat (tradisi) terwakili. Ada Muslim, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha dan juga agama-agama tradisional Afrika dan Amerika Latin.
Baca juga:
Rapim TNI-Polri 2024, Presiden Dorong Kesiapan TNI-Polri Hadapi Tantangan GlobalDalam presentasi singkat (setiap pembicara hanya punya jatah 4 menit) saya menyampaikan beberapa poin penting, yang saya anggap tidak saja relevan dengan tema dialog “building bridges across the divide” (membangun jembatan melewati pembatas). Tapi juga relevan dengan keadaan dunia kita yang penuh kekerasan dan kebiadaban. Sejujurnya yang hadir secara nyata dalam benak saya ketika berbicara tanpa persiapan itu adalah penderitaan saudara-saudara kita di Palestina.
Hal pertama yang saya sampaikan adalah bahwa manusia pada dasarnya terlahir dengan tendensi kebaikan. Walau saya tidak menyebutnya tapi saya teringat konsep “fitrah” sebagai identitas dasar manusia. Kata fitrah ini saya sebutkan dengan kata “cinta” dan “keharmonisan”. Bahwa semua manusia terlahir dengan tendensi mencintai dan hidup secara harmonis.
Untuk menjustifikasi poin saya di atas saya mengajukan dua argumen mendasar dari ajaran Islam.
Pertama, Islam mengajarkan bahwa semua manusia diciptakan dari “jiwa yang tunggal” (min nafsin wahidah). Kesimpulan ini, yang saya diambil dari surah keempat ayat pertama Al-Qur’an, menunjukkan bahwa sejatinya manusia itu memiliki “jiwa” (soul) yang tunggal. Maka sejatinya jiwa-jiwa manusia jika saja masih bersih dan jujur pastinya tidak akan bertendensi saling merusak. Karena merusak satu jiwa (satu orang) adalah merusak semua jiwa (semua manusia).
Itu sesungguhnya yang tersimpulkan baik di Kitab Taurah maupun Al-Qur’an bahwa “membunuh satu orang sejatinya sama dengan membunuh seluruh manusia”.
Jika kita tarik lebih jauh, kata “nafs wahidah” (satu jiwa) itulah sesungguhnya terefleksi dalam ajaran agama dengan ruh manusia (spiritualitas). Karenanya hakikat manusia itu ada pada spiritualitasnya. Saya biasa menyebutnya dengan: “spiritual being in a physical body”. Hakikat inilah yang menyatukan semua manusia. Kita bisa berbeda secara fisik; warna kulit, bentuk wajah, bahkan isi kepala dan keyakinan (agama). Tapi secara ruh kita semua satu.
Kedua, Islam kemudian mengajarkan “Universal human family” (Keluarga universal manusia). Bahwa manusia itu dengan segala ragamnya sesungguhnya adalah satu keluarga. Semua orang tanpa kecuali tercipta dari satu ayah dan satu ibu (Al-Qur’an 49:13).
Hanya saja Allah mentakdirkan manusia itu tersebar dan terlahir dalam ragam afiliasi. Ragam suku, bangsa, warna kulit, bahasa, budaya bahkan keyakinan dan agama. Keragaman ini adalah keberkahan. Tapi saya biasa menyebutnya sebagai “challenging blessing” (keberkahan yang menantang). Berkah karena itu ciptaan Allah. Tapi menantang karena bisa membawa ke akhir yang tidak menyenangkan (permusuhan dan konflik).
Karenanya untuk tetap menjaga keragaman itu sebagai keberkahan perlu menejemen. Menejemen keragaman itulah yang disebut dalam Al-Qur’an dengan “ta’aruf”. Ta’aruf itu bukan sekedar mengenal. Tapi merupakan tangga awal menuju kepada empat tingkatan lainnya: tafahum (saling memahami), tarahum (saling mencintai), ta’awun (saling kerjasama) dan takaful (saling membela).
Kedua dasar penting di atas; satu jiwa manusia (one soul) dan satu keluarga manusia (one family) menjadi dasar terpenting bagi terciptanya perdamaian dan keharmonisan dalam kehidupan manusia. Islam sekali lagi hadir dengan konsep yang solid tanpa diragukan. konsep ini bukan inovasi manusia. Tapi ajaran Samawi yang terangkum dalam Kitab SuciNya.
Realita bumi
Semua yang disampaikan di atas adalah pembicaraan langit (heavenly talk). Pembicaraan yang bersifat konsep dan teori. Konsep dan teori memerlukan realita. Saya menyebutnya “earthly reality” atau realita bumi. Seringkali antara pembicaraan langit dan bumi mengalami pembelahan karena kita lebih nyaman berbicara dengan “tamananniyat” atau “keinginan-keinginan” yang jauh dari realita.
Realita bumi di hadapan mata kita memperlihatkan bahwa dasar kemanusiaan yang kita yang “baik” (fitrah) seringkali mengalami deviasi (penyelewengan) karena “hak-hak dasar” kemanusiaan yang terampas tanpa belas kasih (mercilessly). Akibatnya kita lihat manusia yang dasarnya baik melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaannya.
Kita boleh marah dengan deviasi manusia. Tapi harusnya kita jangan menutup mata dengan realita di mana mereka juga punya hak-hak dasar yang harus dijaga (protected) dan diberikan (granted). Semua manusia punya hak kebebasan (freedom), keadilan (justice) dan kemuliaan (dignity). Tanpa semua itu manusia akan mencarinya. Dan seringkali dengan cara-cara yang secara kemanusiaan tidak sesuai.
Saya menutup dengan mengatakan bahwa di sinilah di tempat ini (gedung PBB) hak-hak asasi manusia sering dibicarakan. Sayangnya seringkali semua pembicaraan itu berakhir jadi NATO (No Action Talk Only). Atau sering juga human rights yang seharusnya untuk “humans” (semua manusia) menjadi “some humans” (hak sebagian manusia)
Karenanya perlu kejujuran. Dan saya di sini menyampaikan kejujuran itu!
New York, 27 Pebruari 2024
(Summary presentasi saya di gedung PBB dalam acara UN Interfaith Harmony Week, Selasa, 27 Pebruari 2024).
(ori)