LANGIT7.ID-, Surabaya- - KH Makruf Khozin
Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim
Cara beragama umat Islam di Indonesia sudah memiliki tradisi dan berjalan bertahun-tahun tanpa ada yang mempermasalahkan. Namun sejak tahun 2000-an ini tradisi tersebut mulai dipertanyakan keabsahannya secara syariat.
Ada yang tidak menghiraukan gugatan tersebut dengan alasan ini budaya Nusantara dan tidak harus ikut budaya dari negara lain atau masa yang telah lampau. Ada juga yang menolak budaya karena harus menyesuaikan dengan budaya di mana Islam ini diwahyukan.
Pada tulisan ini saya ingin menawarkan jalan tengah; bagi mereka yang resisten terhadap budaya supaya mengerti kedudukan sebuah tradisi dalam pandangan agama dan bagi mereka yang penganut budaya leluhur juga berkenan mempelajari bagaimana Islam menerima tradisi dan batasan tradisi yang boleh diikuti dan harus dihindari.
Baca juga:
Panduan Lengkap Shalat Idul Fitri Sesuai Sunnah RasulullahTradisi, dalam literatur ulama klasik juga disebut Urf seperti yang disampaikan oleh Al-Jurjani, adalah sesuatu yang ditetapkan oleh hati dan rasional, serta diterima oleh watak manusia. Ufr pada umunya setelah mereka membiasakan maka mereka melakukannya berulang-ulang” (al-Ta’rifat, 1/47)
Islam tidaklah anti terhadap tradisi masyarakat. Kita tahu saat Nabi diutus menjadi utusan Allah, baik di Makah atau setelah hijrah ke Madinah, masyarakat di sana sudah memiliki tradisi yang mengakar.
Terhadap tradisi umat terdahulu di masa Jahiliyah tidaklah diberangus oleh Nabi, kecuali yang berkaitan dengan Keesaan Allah. Sementara tradisi yang mengandung unsur-unsur terlarang, seperti mabuk, berjudi dan lainnya dihilangkan perlahan. Namun, jika selama dalam tradisi tersebut tidak dijumpai hal-hal yang diharamkan dalam agama maka dibiarkan oleh Nabi.
Takbiran
Mengumandangkan kalimat Takbir di malam Hari Raya adalah sebuah kesunahan. Seperti dalam ayat berikut: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Al-Baqarah185).
Demikian pula riwayat Hadis: “Hiasilah hari raya kalian dengan takbir” (HR Thabrani). Az-Zuhri: Para sahabat membaca Takbir di hari raya saat keluar dari rumahnya hingga ke tempat Salat dan hingga imam menuju Masjid. Jika imam sudah keluar maka mereka berhenti takbir. Jika imamnya baca takbir maka mereka ikut takbir (Mushannaf Ibni Abi Syaibah).
Tuntunan Syar’i soal Takbiran sudah jelas. Namun di negara kita Takbiran sudah menjadi tradisi, misalnya disertai dengan menabuh terbangan, menabuh bedug hingga keliling membawa obor.
Alat musik terbangan dan bedug secara kaca mata syariat tidak ada yang dilarang, sehingga cara seperti ini diperbolehkan meskipun tidak dijumpai di masa Nabi. Akan tetapi saya tidak menganjurkan takbiran disertai dengan musik remix, koplo dan yang mengarah pada gerakan berjoget yang menghilangkan subtansi tujuan takbiran.
Berpakaian Bagus
Hari Raya Idul Fitri yang menjadi hari kebahagiaan bagi umat Islam diantaranya terlihat ekspresi kebahagiaan dengan memakai pakaian baru. Sebenarnya ini bukan sekedar tradisi, akan tetapi dijumpai riwayat dari Jabir, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam memiliki jubah yang dipakai untuk 2 hari raya dan Jumat (HR Ibnu Khuzaimah). Ibnu Umar memakai pakaian terbaiknya saat hari raya (Al-Baihaqi, Sunan Kubra)
Berkunjung dan Ziarah
Tradisi Jawa menyebut istilah silaturahmi di hari raya dengan nama unjung-unjung. Apakah ini sekedar tradisi ataukah ada tuntunannya dalam Islam? Jika kita memperhatikan seksama dari hadis berikut: “Jabir berkata bahwa jika Nabi berangkat dan pulang saat hari raya menempuh jalan yang berbeda” (HR Bukhari).
Menurut ulama ahli hadis yang bergelar Amirul Mukminin di bidang hadis, yakni Al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan “Dikatakan agar Nabi berziarah ke kerabatnya baik yang hidup atau wafat” (Fath Al Bari, 2/473).
Dalam riwayat ini ditarik sebuah kesimpulan bahwa Nabi juga berkunjung ke para Sahabat di Madinah dengan melewati jalan-jalan yang berbeda saat berangkat ke tempat Salat Id pulangnya.
Hari Bahagia
Wajah-wajah kebahagian di hari raya selalu kita jumpai baik dengan kerabat hingga seluruh umat Islam. Kebahagian dan kesenangan ini memang sudah dijalankan oleh umat Islam sejak generasi awal bersama Nabi, boleh mengisi kegiatan hari-hari bahagia dengan cara-cara yang tidak dilarang dalam agama.
Istri Baginda Nabi, Aisyah menceritakan: “Nabi mendatangi saya bersama 2 wanita yang menyanyi. Lalu Nabi tiduran di lantai dan memalingkan wajahnya. Abu bakar datang memarahi para penyanyi. Nabi bersabda: “Biarkan mereka” (HR Al-Bukhari)
Hadis ini menganjur-kan melapangkan keluarga di hari raya dengan banyak hal yang dapat membaha-giakan hati setelah menjalani beratnya beribadah. Dan menampakkan kesenangan di hari raya adalah syiar agama (Fath Al Bari, 3/371)
Puasa Syawal Dan Ketupat
Di dalam syariat kita ada anjuran puasa lanjutan setelah Ramadan, yakni puasa sunah 6 hari di bulan Syawal. Saat saya kecil di kampung, keesokan setelah hari raya atau Syawal kedua acara unjung-unjung masih berlanjut, namun sesepuh dan tokoh agama masih berpuasa dan tetap berada dalam suasana keakraban.
Suguhan minuman dari sirup yang beraneka ragam tetap disediakan oleh tuan rumah, dan mereka memahami jika tamunya tidak minum karena sedang puasa sunah ini.
Hadis tersebut: "Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari pada bulan Syawal, maka seperti berpuasa sepanjang tahun." (HR Muslim). Bahkan kesempatan puasa ini digunakan sebagai qadha’ atau membayar hutang puasa jika selama Ramadan ada yang batal karena sakit, musafir atau sedang berhalangan bagi wanita.
Ijtihad ulama kita memang membolehkan menggabung niat beberapa puasa sunnah seperti puasa Arafah dan puasa Senin / Kamis, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Kurdi. Bahkan menurut Imam Al-Barizi puasa sunnah seperti hari ‘Asyura, jika diniati puasa lain seperti qadha Ramadan tanpa meniatkan pauasa Asyura’ tetap mendapatkan pahala keduanya. Adapun puasa 6 hari bulan syawal jika digabung dengan qadha ramadhan, maka menurut imam Romli mendapatkan pahala keduanya. Lebih lanjut Imam Nawawi menjelaskan “Puasa 6 hari Syawal tidak harus berurutan, boleh dipisah atau diakhirkan dari Syawal” (Syarah Muslim, 8/56)
Setelah selesai puasa 6 hari ada tradisi hari raya ketupat. Bolehkan ada istilah hari raya? Dan bukankah Nabi hanya mengakui 2 hari raya dan tidak mengakui selain Idul Fitri dan Idul Adha? Nabi bersabda: "Sungguh bagi setiap kaum memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita" (HR Bukhari dan Muslim)
Mufti Al-Azhar juga menjawabnya: “Tidak ada dalil yang melarang untuk menampakkan rasa bahagia di selain 2 hari raya tersebut. Sungguh Al Qur'an telah menegaskan kebahagiaan umat Islam atas pertolongan Allah yang diberikan kepada Bangsa Romawi atas kemenangan mereka setelah sebelumnya mereka kalah, yang dijelaskan dalam permulaan Surat Ar-Rum” (Fatawa Al-Azhar, 10/160)
Menurut guru saya, KH Muhyiddin Abdussamad Jember, pemberian ketupat ke tetangga adalah bagian dari menjalankan perintah Nabi shalallahu alaihi wa sallam: "Jika kamu memasak kuah maka perbanyak airnya, lalu perhatikan keluarga tetanggamu. Kemudian beri bagian kepada mereka dengan baik" (HR Muslim dari Abu Dzar)
Ucapan Selamat Hari Raya
Beberapa kalangan mulai mempermasalahkan ucapan hari raya di masyarakat kita, yakni Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Menurut mereka ini tuntunan dari siapa? Riwayat dari para Sahabat adalah saling mendoakan, seperti dari Habib bin Umar Al-Anshari berkata bahwa ayahnya berkata: “Saya bertemu Wasilah di hari raya, maka saya ucapkan: “Semoga Allah menerima amal kita dan amal anda” (HR Thabrani).
Bagi saya, mereka yang gegabah menyalahkan sebuah tradisi yang berangkat dari minimnya literasi bacaan fatwa para ulama, cara menjawabnya adalah dengan menyampaikan fatwa ulama dari kalangan mereka sendiri sehingga argumen diskusi lebih berbobot. Salah satu Mufti di Arab, Syaikh Utsaimin, ditanya hukum ucapan selamat dan adakah redaksi khusus? Jawab: “Ucapan selamat di hari raya adalah boleh. Tidak ada redaksi khusus. Kebiasaan yang sudah berlaku adalah boleh selama tidak ada dosa” (Majmu’ Fatawa, 16/129)
Halal Bihalal
Ada satu lagi tradisi yang khas hanya ditemukan di Indonesia, yaitu Halal Bihalal. Sebuah momen saling meminta dan memberi maaf secara bersama, dimulai di dalam rumah antara anak dan orang tua, dilanjut di masjid bersama para jemaah, hingga tempat kerja dan instansi pemerintahan, baik daerah hingga di ibu kota.
Untuk istilah Halal Bihalal, menurut KH Maghrobi Chayadi (Rais Syuriah PCNU Surabaya 2005-2010) diambil dari sebuah hadis: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa pernah berbuat dzalim kepada saudaranya, maka hendaknya ia minta kehalalannya (minta maaf)…” (HR al-Bukhari No 6534). Meminta halal artinya minta agar dimaafkan. Secara kebahasaan memang kurang tepat jika dibuat bahasa Halal Bihalal. Jika saling memberi halal atas kesalahan masing-masing lebih tepat adalah Tahallul, saling menghalalkan. Tapi kata tahallul sudah lumrah dipakai saat akhir ibadah haji dan umrah dengan memotong rambut. Justru saya lebih suka istilah Halal Bihalal, karena menunjukkan ciri khas Islam di Nusantara.
Para pendakwah lulusan Timur Tengah jelas menolak tradisi ini. Di samping karena tidak dijumpai di masa Nabi hingga saat ini di Negeri Arab, kata mereka bermaafan tidak harus menunggu hari raya, melainkan setiap melakukan kesalahan kepada sesama diharuskan meminta maaf.
Di sinilah letak perbedaan dalam berdakwah. Menurut mereka setiap amalan harus ada perintah dari Nabi secara khusus. Sementara menurut kita, jika berkaitan dengan tradisi dan kebiasaan maka boleh saja selama tidak ada dalil yang melarangnya secara khusus. Termasuk perintah: “Saling bermaafanlah kalian. Maka kebencian akan hilang di antara kalian” )HR Al-Bazzar dari Ibnu Umar.
(ori)