LANGIT7.ID-, Jakarta- - Jalan hidup seseorang tak ada yang bisa menebak. Sesuatu yang tak mungkin bisa menjadi nyata bila Allah Ta'ala sudah berkehendak.
Seperti yang dialami Aly Ilyas, pria asal Kudus yang tengah menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Leeds, West Yorkshire, Inggris ini.
Dorongan sang guru ngaji menjadi bekal Aly Ilyas meniti jalan pendidikannya hingga lintas benua. Diakui Aly, ia menjadi seorang perantau sejak duduk di SMK Negeri 7 Semarang.
Kala itu, ungkap Aly, sulit membayangkan bisa bersekolah di SMK yang terletak di ibu kota Provinsi Jawa Tengah itu.
"Saya merantau sejak memasuki jenjang SMK. Pada saat itu sulit untuk dibayangkan bagaimana untuk membayar biaya selama sekolah, mulai dari uang gedung, SPP bulanan, uang untuk praktikum, uang kosan, hingga uang untuk makan sehari-hari," cerita Aly dalam wawancaranya dengan Langit7.id.
Di tengah kebingungan itu, Aly dan keluarganya memutuskan untuk bersilaturahmi dengan guru ngajinya. Ia pun menceritakan kesulitan yang tengah dihadapinya itu.
"Suatu waktu saya sekeluarga sowan ke salah satu guru ngaji (Almarhum) dan menceritakan kesulitan tersebut," kata Aly.
Tanpa disangka, sang guru ngaji malah tertawa mendengar keluh kesahnya. Dan mengeluarkan kalimat yang menjadi penguat Aly Ilyas untuk terus melaju menggapai cita-citanya.
"Beliau hanya tertawa mendengar keluhan kami, dan bilang (sambil tertawa), 'iku duit ki duite sopo? kok mbok pikir?' (itu uang uang siapa, kok kamu yang mikir). Sebuah kalimat yang menjadi modal utama untuk memberanikan diri bersekolah ke luar kota," tambahnya.
Menjadi Takmir Masjid Sekolah
Pun begitu tak lantas menjadikan langkah Aly ringan. Ia mengaku selama enam bulan pertama bersekolah menjadi momen yang cukup berat baginya. Ditambah dengan kondisi perekonomian keluarga yang terbilang pas-pasan.
Mengatasi hal itu, Aly mencoba untuk prihatin. Ia pun memaksakan diri hanya makan sekali sehari di malam hari saja. Aly membeli nasi pecel setengah porsi tanpa lauk dengan harga Rp1.500.
Aly juga terpaksa "nombok" selisih uang kos. Ia berbohong pada orang tuanya kalau biaya kos Rp150.000 per bulan, padahal aslinya seharga Rp200.000.
Namun Allah SWT tak meninggalkan setiap hamba-Nya yang selalu berusaha. Pada semester dua, Aly diminta pihak komite sekolah untuk menjadi anggota takmir masjid sekolah. Dari sini perjalanan hidup Aly mulai berubah.
"Karena tinggal di masjid sekolah saya sering melihat kakak kelas yang belum pulang hingga hampir tengah malam dari sekolah karena ikut lomba, dari sini saya memberanikan diri untuk ikut belajar dan latihan," ungkap pegawai Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ini.
Sejak ikut serta sebagai perwakilan sekolah di berbagai lomba, beasiswa mulai berdatangan. Aly Ilyas pun tak pusing lagi memikirkan uang gedung yang belum lunas, SPP, uang kos hingga praktikum karena semua disponsori langsung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
"Dari yang awalnya cemas masalah biaya sekolah dan ternyata benar sudah diatur oleh Allah sedemikian rupa. Pengalaman ini menjadi titik balik saya dalam memandang uang. Semuanya milik Allah," tandas Aly Ilyas.
Banjir Besar Mengubah Aly Menjadi Taruna STMKG
Usai lulus SMK, Aly mengikuti saran sang ibu untuk menempuh pendidikan lebih tinggi lagi. Seiring perjalanannya, Aly memutuskan untuk menjadi taruna di Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (STMKG) di Tangerang Selatan, Banten.
Ada cerita unik yang melatari Aly memilih STMKG. Semua berawal dari bencana banjir yang melanda wilayah utara Jawa Tengah, di mana desa Aly menjadi salah satu lokasi yang tertimpa musibah itu.
"Saat itu, entah kenapa saya jadi suka melihat laman BMKG terutama pada bagian penginderaan satelit, untuk melihat sendiri seberapa sih cakupan awan di Jawa Tengah waktu itu," ungkap suami dari Anistia Malinda Hidayat ini.
Keseriusan Aly menekuni bidang ini dibuktikan dengan keinginannya memajukan peringatan dini tsunami non tektonik.
"Berawal mengenal BMKG dari Tsunami Aceh dan menjelang kelulusan STMKG muncul Tsunami besar lain, Donggala dan selat sunda. menjadikan saya cukup menaruh perhatian pada peringatan dini tsunami. Hal ini lah yang akhirnya melatarbelakangi keinginan saya untuk memajukan early warning tsunami non tectonic. ini yang saya kantongi dan saya bawa hingga ke University of Leeds saat ini," pungkas Aly Ilyas.
(ori)