LANGIT7.ID-Italia; Stasiun Verona-Italia, Sabtu 3 Agustus 2024. Kami menunggu dengan tenang datangnya kereta lanjutan di Peron-8 sebagaimana tertulis di display. Kereta ini akan membawa kami menuju Stasiun Milan. Dua koper besar, dua koper sedang, dan beberapa tas tentengan dalam posisi aman. Bagasi-bagasi ini membutuhkan kekuatan ekstra. Untungnya Ridwan menantuku kuat walaupun kurus dan tinggi dibanding aku yang gemuk dan pendek. Sepanjang perjalanan dari Venesia ke Verona menantuku dan anakku asik ngobrol dengan Mister dan Madam Kristian orang Perancis. Dua pensiunan ini dalam perjalanan bersepeda ke beberapa kawasan di Itali. Sebagai sesama orang ramah aku juga sempat mengobrol dengan mereka. Mereka lalu pindah peron. Lalu Ridwan menyusul keluar untuk suatu keperluan. Tetapi suasana Peron-8 ini terasa tidak lazim. Sepi-sepi saja.
Tiba-tiba Ridwan kembali dengan tergopoh-gopoh. Dia baru saja mendapat informasi kereta yang menuju Milan ternyata pindah ke Peron-4. Maka Drama Korea kembali terjadi. Kami harus bergeser peron dan waktu tinggal lima menit. Padahal mencapai Peron-4 dari Peron-8 harus turun dulu ke terowongan, berjalan beberapa puluh meter, lalu naik ke peron-4. Maka kami harus berlari turun dan naik tangga. Tentu dengan empat koper, satu anak kelas satu SD, dan satu ibu hamil tujuh bulan. Allaahu akbar. Maka dua barang tentengan sempat tercecer. Di ujung drama kami berhasil masuk kereta. Segera setelah koper terakhir kami masuk gerbong kereta perlahan bergerak menuju Milan. Di dalam kereta ternyata sudah ada Mister dan Madam Kristian sahabat baru kami. Mereka ikut membantu sebisanya dan terlihat bahagia setelah semuanya beres. Alhamdu lillaah.
Dua jam kurang delapan menit kereta api kami masuk Milano Centrale, stasiun pusat Milan. Milan adalah kota metropolitan. Dua klub sepakbola besar bermarkas disini AC Milan dan Inter Milan. Beberapa pemain bintang era 1980-an berkarir disini. Salah satunya Reberto Mancini yang kini menjadi pelatih Timnas Saudi Arabia. Tahu bahwa aku sedang berada di Milan Adde Marup sahabat dekatku sesama pemain bola dan striker UMY mengirim pesan WA dari Jogja. “Jangan lupa oleh-oleh. Tapi jangan hanya gantungan kunci. Kalau ada kaos ukuran-M.” Maka aku melirik beberapa toko di dalam stasiun. Sayang tidak ada toko kaos di stasiun raksasa dengan dua puluh peron ini. Sepuluh menit menjelang berangkat nomor peron kami pun keluar di display. Kamipun segera masuk kereta menuju negara ketiga perjalanan di Eropa kali ini: Switzerland alias Swiss.
Dengan kereta api SSB-Swiss kami meninggalkan Stasiun Milan. Para penumpang kebanyakan bule dan berbicara dalam Bahasa Jerman atau Italia yang aku tidak faham. Kami duduk di bagian tengah dan di ujung gerbong terlihat dua keluarga dari Afrika. Mereka berbahasa Arab dan para wanitanya tidak berjilbab. Mungkin dari Sudan Selatan. Di Eropa aku sering bertemu rombogan seperti ini. Ciri khasnya anak-anak mereka selalu ramai. Kebalikan dengan anak-anak kulit putih yang tertib dan tenang. Tetapi kali ini enam anak keturunan Afrika usia TK atau SD itu luar biasa ribut. Lalu tiba-tiba salah satu ibu mereka mendatangi tempat duduk kami. Dengan bahasa tubuh dia meminta anak, menantu, dan cucuku pindah dari tempat duduk kami. Dia juga tidak bisa menunjukkan tiket. Tentu permintaanya ditolak. Sang Ibu akhirnya diseret anak-anaknya yang masih SD. Ada-ada saja.
Perjalanan menuju utara melalui pegunungan Alven, tulang punggung Eropa. Jalur kereta apinya meliuk-liuk di sela gunung, terowongan, dan lembah hijau. Pemandangan indah terhampar sepanjang perjalanan. Beberapa danau menampakkan diri begitu anggun. Di arah yang jauh puncak-puncak gunung menjulang tinggi. Mirip dengan jalur menuju Dieng melalui Wonosobo dengan tujuh gunungnya. Atau dataran tinggi Kerinci dan Sumatera Barat dengan beberapa danaunya. Tetapi tanpa puncak bersalju. Meski Gunung Kerinci (3805 DPL) lebih tinggi dari puncak Jungfraujoch puncak tertinggi di Swiss (3.454 DPL). Bentang alam Swiss ini mirip Norwegia yang kami tinggalkan tiga hari sebelumnya. Danau-danau Swiss seakan fjord-fjord Norwegia yang mengundang rasa takjub. Bedanya danau di Swiss berair tawar. Sedangkan fjord Norwegia berair asin.
Swiss memang negeri idaman. Ia negeri indah yang berada di ketinggian dataran tinggi di Eropa. Negeri dengan banyak gunung berpuncak salju ini dikepung empat negara: Italia di selatan, Perancis di barat, Jerman di utara, dan Austria di timur. Untuk masuk ke Swiss orang harus melalui negara lain. Karena dari selatan maka kami masuk melalui Italia. Segera setelah masuk wilayah Swiss keindahan segera memanjakan mata. Negeri ini nampak leboih rapi, bersih, dan makmur dibanding Italia. Maka wajar bila negeri ini menjadi impian para pengunjung. Dalam hal ini anak bungsu kami lebih beruntung. Dia lebih dahulu menjelajah Swiss. Dia bahkan mendahului kakaknya yang kuliah di Eropa. Apalagi kami ayah dan ibunya. Si Bungsu kami yang memiliki nama panggilan Onti ini sudah sampai di Swiss tujuh tahun yang lalu.
Ketika kuliah di Fakultas Kedokteran UMY Onti aktif di CIMSA. Ini adalah organisasi mahasiswa Fakultas Kedokteran yang memiliki jaringan lintas benua. Salah satu programnya adalah memagangkan mahasiswa FK di berbagai negara. Maka FK UMY sering menjadi tuan rumah mahasiswa FK dari berbagai belahan dunia. Rumah kami pernah menjadi hostfam peserta. Selama tiga tahun berturut-turut sebulan penuh mahasiswa FK dari Latvia, Jerman, dan Italia, tinggal di rumah kami. Anak-anak global milenial ini lalu menjadi sahabat. Kim peserta dari Jerman bahkan menjadi teman akrab Onti. Si Kim ini berwarga negara Jerman tetapi orangtuanya berdarah Indonesia dan Vietnam. Kebersamaan dengan mereka dimanfaatkan Onti untuk memperkuat bahasa Inggrisnya. Pada giliran berikutnya Onti lalu menjadi guru Bahasa Inggrisku.
Lalu tiba giliran Onti bersama lima mahasiswa FK UMY berangkat ke Eropa. Mereka tersebar di berbagai negara. Selama perjalanan Onti menjadi juru bahasa rombongan. Dari Jakarta mereka menuju Paris. Disini mereka berpisah. Teman-teman Onti menjalani Tour the Europe. Onti terbang ke Inggris. Disana Onti sudah ditunggu kakak kandungnya yang sedang kuliah S-2 di University of Manchester. Saat itu Si Kakak sedang hamil anak pertama. Kakak-adik ini membuat kesepakatan. Bahwa setelah lahir si bocah akan memanggil adik ibunya dengan Onti (aunt, Inggris). Tidak bibi, bulik (Jawa), atau datung (Kerinci). Inila asal usul anak bungsu kami ini dipanggil Onti. Dari manchester Onti terbang ke Jerman bertemu Kim. Lalu terbang ke Palermo-Italia lokasi magangnya. Sebulan kemudian Onti berkumpul dengan teman-temanya dan dari Zurich untuk terbang ke Jakarta.
Menjelang sore kami masuk Zurich Hauptbahhoft (HB). Stasiun ini menghubungkan Zurich dengan jaringan kereta di seluruh Swiss dan Eropa. Ketika mendekati eskalator untuk keluar stasiun sesosok wajah Asia Tenggara tersenyum dari jauh, mengangat tangan, dan berucap, “Indonesia?” Setelah kami jawab “iya” dia mendekat. Badannya tinggi besar, kulitnya legam, tetapi sangat ramah. Namanya Nyoman tetapi berasal dari Lombok. Bli Nyoman sudah 18 tahun tinggal dan menjadi warga Zurich dan beristrikan orang asli Zurich. Dia menawarkan kami untuk menginap di rumahnya. Dia sendiri di rumah karena istri dan anak-anaknya masih menikmati liburan di Roma-Italia. Kami berterima kasih dan sudah booking homestay jauh hari sebelumnya. Bertemu sesama orang Indonesia di luar negeri selalu menyenangkan. Apalagi bertemu orang ramah seperti Bli Nyoman ini.
Selanjutnya kami berjalan menuju hotel. Jaraknya menurut Googlemap hanya lima menit jalan kaki. Masalahnya kami meninggalkan Venesia sejak pagi, sepanjang perjalanan mengalami fragmen drama Korea, dan membawa empat koper penuh seberat setengah kuintal lebih. Sedangkan sebagian jalan dan trotoar yang kami lewati tidak beraspal. Sebagaimana kota tua lainnya jalan banyak terbuat dari sususan batu alam. Maka langkah kami menjadi lebih lamban. Ditambah lagi kami harus memutar mencari makan malam sebelum masuk hotel. Tetapi keindahan Zurich melenyapkan lelah kami. Sungai Limmat membelah kota Zurich dengan aliran yang jernih. Jembatan Muhlesteg yang melintasinya begitu nyaman dilalui. Lalu ratusan bangunan abad pertengahan sepanjang jalan di tepi sungai membuat Zurich terasa gagah dan elegan.
Jalan Limmatquai-Zurich, Minggu 14 Agustus 2024. Berada di Swiss dan jalan-jalan keliling Eropa tidak pernah kami impikan sebelumnya. Apalagi ketika merintis masa depan puluhan tahun lalu. Terlalu tinggi. Tetapi taqdir Allah membawa kami kini kesini. Alhamdulillaah. Berada di Swiss juga mengingatkan aku pada dua ikon Swiss yaitu jam dan industri keuangan. Tetapi sirene mobil polisi Zurich terdengar meraung-raung di kejauhan. Maka aku pun ingat sebuah kejadian. Seorang agen CIA ditemukan nelayan di tengah Laut Tengah. Dia mengalami amnesia dan mencari identitas diri. Petunjuk satu-satunya membawa dia masuk ke Bank of Zurich. Justru disini dia diburu banyak agen CIA lain yang ingin melenyapkannya. Tetapi ini hanya adegan dalam film BOURNE The Identity. Sayangnya di Zurich aku tidak masuk bank yang dimasuki Matt Damon alias Jason Bourne itu. (Gedung Pascasarjana UMY, 21 Agustus 2024 Mahli Zainuddin Tago)
(lam)