LANGIT7.ID-, Jakarta- - Di tengah hiruk-pikuk media sosial, sebuah istilah kembali mencuri perhatian warganet Indonesia. "Tone deaf", yang awalnya merujuk pada ketidakmampuan seseorang membedakan nada musik, kini mengalami pergeseran makna yang signifikan di ranah digital.
Evolusi makna "tone deaf" ini menarik untuk dicermati. Dari konsep musikal, istilah ini kini lebih sering digunakan untuk menggambarkan individu atau kelompok yang dianggap kurang peka terhadap situasi sosial. Mereka yang dijuluki "tone deaf" seringkali dianggap abai terhadap perasaan orang lain atau kondisi masyarakat secara umum.
Baca juga:
Perjalanan Kaesang dan Istri ke Amerika Yang Dikaitkan Sewa Jet Pribadi Bikin Gempar, Netizen: Tak Ada Hati NuraniFenomena ini semakin marak seiring dengan dinamika politik dan sosial yang tengah bergejolak di Tanah Air. Para netizen dengan cepat melabeli pihak-pihak tertentu sebagai "tone deaf" ketika mereka dinilai mengeluarkan pernyataan atau melakukan tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan sentimen publik.
Menariknya, label "tone deaf" ini tidak terbatas pada golongan tertentu. Siapapun, baik itu public figure, pejabat, maupun orang biasa, bisa mendapat cap ini jika dianggap menunjukkan ketidakpekaan sosial. Namun, memang ada kecenderungan bahwa mereka yang berada di posisi privilege lebih rentan mendapat label tersebut.
Penggunaan istilah ini di media sosial mencerminkan ekspektasi masyarakat akan adanya empati dan pemahaman dari semua pihak, terutama mereka yang memiliki pengaruh atau kekuasaan. Hal ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat digital semakin kritis dalam menilai sikap dan pernyataan publik.
Fenomena "tone deaf" ini juga membuka diskusi lebih luas tentang pentingnya literasi sosial dan empati di era digital. Di tengah arus informasi yang begitu deras, kemampuan untuk memahami dan merespon dengan tepat terhadap isu-isu sosial menjadi semakin crucial.
Penting untuk diingat bahwa di balik tren penggunaan istilah "tone deaf" ini, ada harapan masyarakat akan hadirnya figur-figur publik yang lebih peka dan responsif terhadap kondisi sosial. Mungkin inilah saatnya kita semua belajar untuk lebih mendengar dan memahami satu sama lain di tengah kebisingan dunia digital.
(lam)