LANGIT7.ID-, Jakarta- - Secara harfiah istilah “tone deaf” berarti tuli. Dalam konteks sosial, istilah ini mengacu pada ketidakpekaan seseorang terhadap emosi atau perasaan orang lain.
Orang yang dilabeli sebagai tone deaf sering kali dianggap tidak memiliki kepekaan sosial atau empati terhadap orang lain. Namun, dalam perspektif Al-Quran, ketidakpekaan ini memiliki dimensi yang lebih mendalam, khususnya ketika berkaitan dengan pemahaman dan penerimaan terhadap kebenaran spiritual.
Manusia memperoleh pengetahuan melalui berbagai cara. Bagi beberapa individu yang istimewa, pengetahuan bisa datang melalui wahyu atau inspirasi spiritual yang diberikan oleh Allah.
Namun, bagi kebanyakan orang, pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir, refleksi, dan informasi yang diterima melalui panca indera, terutama pendengaran dan penglihatan. Tanpa kedua indera ini, memahami dunia sekitar dan eksistensi kita menjadi sulit.
Mengutip laman
Muhammadiyah.or.id, dalam Surah Al-Baqarah, Allah menggambarkan orang-orang yang bertakwa dan beriman. Namun, perhatian kita kemudian dialihkan kepada deskripsi tentang orang-orang yang tidak beriman dan orang-orang munafik.
Baca juga:
Lima Keutamaan Berkumpul di Majelis IlmuDalam menggambarkan dua kelompok terakhir ini, Allah menyoroti pentingnya pendengaran, penglihatan, dan hati dalam memahami dan mempercayai kebenaran. Ini adalah karena melalui ketiga aspek inilah manusia dapat mencapai pemahaman dan keimanan yang sejati.
Misalnya, dalam QS. Al-Baqarah ayat 16-18, Allah berfirman, “Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat petunjuk. Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.”
Penggunaan kata-kata yang merujuk pada jenis difabel kerap dipakai dalam konteks simbolis atau metaforis dalam Al-Quran. Menurut Buya HAMKA, meskipun telinga mendengar, mulut dan mata bisa melihat, tetapi kalau panca indera yang lahir itu telah putus hubungannya dengan batin, samalah artinya dengan tuli, bisu dan buta. Mengapa mereka menjadi tuli, bisu dan buta? Batin mereka telah ditutup oleh suatu pendirian salah yang telah ditetapkan
Karenanya, meskipun mereka memiliki organ fisik untuk mendengar dan melihat, orang-orang yang menolak kebenaran dianggap sebagai “tuli, bisu, dan buta” secara spiritual. Allah menjelaskan dalam ayat-ayat-Nya bahwa orang-orang ini tidak mampu kembali ke jalan yang benar karena mereka dengan sengaja menutup diri dari kebenaran. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 7, “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Bagi mereka siksa yang sangat berat.”
Ayat ini menegaskan bahwa meskipun seseorang mungkin memiliki kemampuan fisik untuk mendengar dan melihat, jika mereka menolak kebenaran, mereka akan dianggap tuli, bisu, dan buta secara spiritual. Pada Hari Pembalasan, mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas penolakan mereka terhadap kebenaran, dan organ-organ tubuh mereka sendiri akan menjadi saksi atas apa yang telah mereka tolak.
Perumpamaan yang diberikan dalam Al-Quran tentang orang-orang munafik yang “menyalakan api, namun kemudian Allah melenyapkan cahaya mereka” adalah gambaran dari mereka yang pada awalnya menerima cahaya kebenaran, namun kemudian menolaknya demi keuntungan duniawi. Mereka memilih jalan kesesatan meskipun telah melihat kebenaran dengan jelas. Keadaan mereka yang “tuli, bisu, dan buta” mengindikasikan bahwa mereka telah menutup diri dari petunjuk Ilahi, sehingga tidak mampu lagi kembali ke jalan yang benar.
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa dalam perumpamaan ini, Allah mengambil “cahaya” dari api mereka, bukan apinya. Api memiliki dua elemen, yaitu cahaya dan pembakaran. Dengan mengambil cahaya, Allah meninggalkan mereka hanya dengan pembakaran, yang berarti mereka ditinggalkan dalam keadaan yang menyakitkan tanpa petunjuk yang bisa diandalkan. Lebih lanjut, dia menyoroti bahwa “cahaya” disebutkan dalam bentuk tunggal, sedangkan “kegelapan” disebutkan dalam bentuk jamak, menunjukkan bahwa kebenaran adalah satu, sedangkan kesesatan memiliki banyak jalur.
Pelajaran penting dari perumpamaan ini adalah bahwa kebenaran memiliki cahaya yang akan terus tumbuh dalam hati orang-orang yang beriman, sementara kesesatan hanya membawa kegelapan. Ketika seseorang menolak cahaya kebenaran, mereka akan tersesat dalam berbagai bentuk kegelapan yang semakin menjauhkan mereka dari petunjuk Allah. Bagi mereka yang beriman, menjaga cahaya kebenaran dalam hati adalah kunci untuk mendapatkan perlindungan Ilahi dan petunjuk yang akan membimbing mereka dalam kehidupan ini dan di akhirat.
Dalam konteks ini, “tone deaf” secara spiritual menggambarkan kondisi seseorang yang, meskipun memiliki kemampuan fisik untuk mendengar dan melihat, telah kehilangan kepekaan terhadap kebenaran dan petunjuk Ilahi. Ketidakpekaan ini bukan hanya masalah sosial, tetapi juga masalah spiritual yang serius, dengan konsekuensi yang berat baik di dunia ini maupun di akhirat.
(ori)