LANGIT7.ID-, Jakarta- - Sebuah rumah sakit di Jakarta tengah menghadapi badai kritik terkait dugaan kebijakan berpakaian yang diskriminatif. RS Medistra, yang berlokasi di Jakarta Selatan, menjadi sorotan publik setelah salah satu dokter seniornya mengundurkan diri dan melayangkan surat protes atas larangan penggunaan hijab bagi staf medis.
Dr. Diani Kartini, seorang spesialis onkologi yang telah mengabdi selama 14 tahun di RS Medistra, memutuskan untuk mengakhiri masa kerjanya pada 31 Agustus 2024. Keputusan ini diambil setelah ia menyuarakan keberatannya terhadap kebijakan rumah sakit yang dinilai membatasi kebebasan beragama karyawannya.
Dalam surat protesnya, Dr. Diani membandingkan kebijakan RS Medistra dengan rumah sakit lain di Jakarta yang lebih fleksibel dalam hal berpakaian. Ia mempertanyakan apakah ada standar ganda dalam penerapan aturan berpakaian antara perawat, dokter umum, dan dokter spesialis di RS Medistra.
Viralnya kasus ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Netizen di media sosial ramai-ramai mengecam kebijakan RS Medistra yang dianggap rasis dan intoleran. Banyak yang menyerukan boikot terhadap rumah sakit tersebut jika tidak segera mengubah kebijakannya.
Menanggapi kontroversi ini, Direktur RS Medistra, Agung Budisatria, akhirnya angkat bicara. Dalam pernyataan resminya, ia menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan dan menegaskan bahwa pihak manajemen sedang menangani masalah ini dengan serius.
Namun, permintaan maaf tersebut rupanya belum cukup untuk meredam kemarahan publik. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Ukhuwah dan Dakwah, Muhammad Cholil Nafis, menyatakan bahwa langkah selanjutnya yang lebih penting adalah mengidentifikasi dan memberikan sanksi kepada oknum yang melakukan diskriminasi dalam proses rekrutmen.
Kiai Cholil juga mendesak RS Medistra untuk membuktikan komitmennya terhadap keberagaman dengan menunjukkan bahwa mereka memiliki karyawan yang mengenakan hijab. Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan beragama, dan setiap warga negara berhak menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kasus ini telah membuka diskusi lebih luas tentang pentingnya toleransi dan kesetaraan di tempat kerja. Banyak pihak berharap agar kejadian serupa tidak terulang di institusi lain, dan agar ada regulasi yang lebih tegas untuk melindungi hak-hak pekerja dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Sementara penyelidikan internal terus berlangsung, masyarakat menanti langkah konkret dari RS Medistra untuk memulihkan kepercayaan publik. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
(lam)