LANGIT7.ID-, Jakarta- - Penggunaan internet terlalu luas dan tidak terkendali membuat kekerasan seksual dengan mudah untuk diakses, sehingga anak menjadi terbiasa melihat kasus kekerasan seksual.
“Peralihan non-digital menjadi digital seperti sekarang memudahkan pelaku baik itu anak hingga orang dewasa mudah mendapatkan informasi dari dunia maya secara luas, tidak jelas sumbernya, dan tidak dapat terkendali,” ujar Alissa Wahid dikutip dari
NU Online, Sabtu (21/9/2024).
Menguatnya Kekerasan Seksual Alissa menambahkan anak yang masih sekolah rentan menjadi korban kekerasan seksual karena anak belum mampu mengelola dirinya sendiri, mengendalikan diri, mengatur emosi, dan belum bisa membuat batasan terhadap diri sendiri.
Walhasil, anak akan dengan mudah mengikuti hawa nafsu dan emosinya. Faktor inilah yang perlu diperhatikan dalam memulihkan kondisi psikologis korban kekerasan seksual.
Baca juga:
Alissa Wahid Ungkap Tiga Faktor Pemicu KDRT“Pendidikan umum dan pesantren belum mampu membantu mengelola anak dalam mengendalikan dirinya, sehingga mudah anak mengikuti hawa nafsunya,” ujar Ketua PBNU itu.
Dia menyampaikan, orang dewasa yang menjadi korban akan memiliki trauma luar biasa, jika korbannya adalah anak akan memiliki trauma yang berlapis-lapis luar biasanya karena kekerasan seksual berdasarkan psikologinya adalah in bashing humanity yang memiliki arti martabat korban sudah hancur karena kekerasan seksual.
“Orang yang menjadi korban akan memiliki trauma yang luar biasa bahkan pada anak berlapis-lapis luar biasanya, secara psikologinya in bashing humanity yang berarti martabat korban itu sudah hancur karena seksual karena organ seksual merupakan hal yang sangat privasi dan tidak dilakukan disebarang tempat,” ujarnya.
Korban kekerasan seksual akan merasakan martabatnya, kepercayaan dirinya kepada orang lain, masyarakat, dan kepada dirinya sendiri pun hilang. Apalagi jika korbannya adalah anak akan memiliki trauma yang berlapis-lapis.
“Jika korbannya adalah anak pasti traumanya berlapis dan jauh lebih berat karena anak belum matang dan belum bisa mengelola secara psikologisnya seperti persoalan kehidupannya,” ujar Alissa.
Sehingga, perlunya dukungan keluarga dan lingkungan sekitar untuk memulihkan kondisi psikologis korban kekerasan seksual. Alissa menyampaikan terdapat beberapa cara memulihkan psikologis korban.
Pertama, lingkungan sekitar baik di keluarga, pesantren, dan sekolah memberikan dukungan yang lebih dan ekstra.
Kedua, ketika anak menjadi korban kekerasan seksual, minta pertolongan kepada yang lebih profesional dan lakukan terapi secara teratur.
Ketiga, pendampingan yang intensif sehingga korban lebih terukur dan pendekatannya jauh lebih baik.
Alissa menegaskan jika pendampingan tidak dilakukan, maka korban kemungkinan besar akan mengubur lukanya yang dapat menjadi penyakit hati. Hal tersebut akan berpengaruh terdapat aktivitas kehidupannya sehari-hari.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat tahun 2024 terdapat 51 kasus kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren dengan total 101 anak menjadi korban.
(ori)