LANGIT7.ID-, Jakarta- - Dunia sepak bola Asia Tenggara kembali dihebohkan dengan isu naturalisasi pemain. Kali ini, perbedaan nasib antara Indonesia dan Malaysia dalam proses naturalisasi menjadi sorotan utama, memicu berbagai spekulasi dan komentar pedas dari penggemar sepak bola regional.
Naturalisasi pemain bukanlah fenomena baru di kawasan ini. Sejak beberapa tahun terakhir, berbagai negara ASEAN berlomba-lomba memperkuat tim nasional mereka dengan mendatangkan pemain keturunan atau pemain asing yang memenuhi syarat naturalisasi. Strategi ini dianggap sebagai jalan pintas untuk meningkatkan daya saing di kancah internasional, mengingat masih terbatasnya infrastruktur dan sistem pembinaan pemain lokal di beberapa negara.
Baca juga:
Hilgers dan Reijnders Resmi Pindah Federasi. Erick Thohir, Harus Dapat Poin di Bahrain dan Tiongkok
Namun, proses naturalisasi ini tidak selalu berjalan mulus. Setiap negara memiliki tantangan tersendiri, mulai dari masalah birokrasi, peraturan FIFA yang ketat, hingga perdebatan etis di kalangan masyarakat sepak bola. Beberapa pihak menganggap naturalisasi sebagai solusi pragmatis, sementara yang lain melihatnya sebagai pengabaian terhadap pengembangan bakat lokal. Di tengah perdebatan ini, Indonesia dan Malaysia muncul sebagai dua contoh yang kontras dalam upaya naturalisasi pemain.
"Anak Emas" FIFA vs "Anak Tiri" ASEAN
Langkah strategis PSSI di bawah komando Erick Thohir telah membuahkan hasil mengesankan dalam waktu singkat. Selama 12 bulan terakhir, federasi sepak bola Indonesia ini berhasil memikat sejumlah talenta internasional untuk memperkuat Skuad Garuda. Gelombang naturalisasi ini membawa nama-nama besar seperti Thom Haye, Calvin Verdonk, dan Maarten Paes ke dalam jajaran Tim Nasional, yang kemudian disusul oleh bergabungnya dua pemain potensial lainnya, Mees Hilgers dan Eliano Reijnders. Kini, kelima pemain tersebut telah resmi mengenakan jersey Merah Putih, memperkuat berbagai lini Tim Nasional dan mengirimkan sinyal kuat bahwa sepak bola Indonesia siap bersaing di level yang lebih tinggi.
Keberhasilan ini memunculkan julukan baru bagi Indonesia di kalangan penggemar sepak bola regional: "anak emas FIFA". Spekulasi ini semakin menguat dengan adanya kantor FIFA di Jakarta, yang dianggap sebagai bukti kedekatan PSSI dengan badan sepak bola dunia tersebut.
Baca juga:
Timnas Bertolak ke Bahrain, 27 Pemain Shin Tae-yong Siap Tempur di Kualifikasi Piala DuniaSementara itu, nasib berbeda menimpa tetangga serumpun, Malaysia. Federasi Sepak Bola Malaysia (FAM) harus menelan pil pahit setelah upaya naturalisasi Mats Deijl, kapten Go Ahead Eagles, ditolak mentah-mentah oleh FIFA. Alasannya? Hubungan darah Malaysia Deijl yang berasal dari nenek moyangnya dianggap terlalu jauh untuk memenuhi syarat naturalisasi.
Tangisan Malaysia dan Kecurigaan RegionalPenolakan FIFA terhadap permohonan Malaysia ini memicu reaksi emosional dari para penggemar Harimau Malaya. Media sosial dipenuhi dengan komentar kekecewaan, bahkan ada yang menyebut Malaysia sebagai "anak tiri" dalam percaturan sepak bola ASEAN.
Situasi kontras antara Indonesia dan Malaysia ini tak luput dari perhatian media regional. Soha, media Vietnam, melaporkan adanya tuduhan dari netizen Malaysia dan China bahwa keberhasilan Indonesia adalah hasil "kolusi" dengan FIFA. Meski tuduhan ini tidak berdasar, sentimen tersebut menunjukkan tingginya tensi persaingan sepak bola di kawasan.
Di Balik Layar Kesuksesan
Meski terlihat mulus, proses naturalisasi di Indonesia sebenarnya tidak selalu berjalan tanpa hambatan. PSSI harus bekerja ekstra keras untuk memastikan pemain-pemain incaran pelatih Shin Tae Yong bisa lolos proses naturalisasi.
Contohnya, kasus Maarten Paes yang sempat tertunda karena masalah administrasi perpindahan federasi. Hal ini menunjukkan bahwa meski dianggap "anak emas", Indonesia tetap harus melalui prosedur yang ketat.
Pandangan Ke Depan: Ujian Sesungguhnya di Lapangan HijauTerlepas dari kontroversi di luar lapangan, Timnas Indonesia kini fokus menghadapi tantangan nyata di Grup C babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Pertandingan melawan Bahrain (10 Oktober) dan China (15 Oktober) akan menjadi pembuktian apakah status "anak emas" ini benar-benar berdampak pada performa Tim Garuda.
Sementara Malaysia, meski terpuruk dalam upaya naturalisasi, tetap bertekad untuk bangkit dan membuktikan diri dengan skuad yang ada. Persaingan ASEAN di kancah sepak bola internasional pun diprediksi akan semakin sengit ke depannya.
Terlepas dari segala kontroversi, satu hal yang pasti: sepak bola Asia Tenggara sedang mengalami dinamika yang menarik, dan dunia pun mulai melirik potensi dari region ini.
(lam)