Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Selasa, 10 Desember 2024
home edukasi & pesantren detail berita

Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Teori Maslahat

tim langit 7 Selasa, 12 November 2024 - 06:49 WIB
Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam  Tentang Teori Maslahat
*Dr. Beni Ahmad Saebani,M.Si
Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Gunung Djati Bandung

LANGIT7.ID-Tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua sisi yaitu: Pertama dilihat dari segi manusiawinya, bahwa tujuannya adalah orang yang sudah cakap hukum atau mukalaf. Kedua, dilihat dari pembuat hukumnya, yaitu Allah SWT. sebagai Al-Hakim. Menurut Juhaya S. Pradja (2004) tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah dan fungsi daya fitrah insani yang berfungsi untuk mencapai kebahagiaan hidup dan memertahankannya, yang disebut dengan istilah al-tahsil wa al-ibqa atau mengambil mashlahat serta sekaligus mencegah kerusakan "jalb al-mashlaih wa daf' al-mafa'sid". Adapun tujuan hukum Islam ditinjau dari segi pembuat hukum dapat diketahui melalui penalaran induksi atas sumber-sumber naqli, yaitu wahyu al-Qur'an dan al-Sunnah.

Tujuan hukum Islam dilihat dari segi pembuat hukumnya ada tiga tujuan hukum secara taklifi, yaitu hukum yang berupa keharusan: 1. Melakukan perbuatan atau tidak melakukannya, 2. Memilih antara melakukan perbuatan atau tidak melakukannya, 3. Hukum melakukan atau tidak melakukan karena ada atau tidak adanya sesuatu yang mengharuskan keberadaan hukum tersebut.

Ketiga tujuan tersebut juga dilihat dari tingkat dan peringkat kepentingan bagi manusia itu sendiri yaitu: a. Tujuan Primer atau al-dlarury (tujuan yang harus ada demi kehidupan, jika tidak ada maka akan menimbulkan ketidakajegan kemaslahatan hidup manusia). b. Tujuan Skunder atau al-haajiy (Tujuan sekunder bagi manusia seandainya tidak tercapai akan menimbulkan kesulitan atau masyaqah). c. Tujuan Tertier atau al-tahsiniy (tujuan hukum untuk menyempurnakan kehidupan manusia dengan akhlak).

Baca juga: Kolom Ekonomi Syariah: Trust di Dunia Islam

Tujuan hukum Islam terletak di dalam raihan kemaslahatan bersama. Ukuran kemaslahatan mengacu pada doktrin Ushul Fiqh yang dikenal dengan sebutan al-kulliyatul khams atau yang disebut dengan Maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan Universal syari'ah). Lima pokok pilar tersebut adalah; 1) Hifdz al-dien, menjamin kebebasan beragama. 2) Hifdz al-nafs, memelihara kelangsungan hidup. 3) Hifdz al-'aql, menjamin kreatifitas berpikir. 4) Hifdz al-nasl, menjamin keturunan dan kehormatan 5) Hifdz al-mal, Menjaga harta kekayaan.

Dengan pemahaman tersebut dapat diketahui secara filosofis bahwa teori tujuan hukum Islam berkaitan dengan teori kemaslahatan, sebagaimana Imam Malik menyatakan bahwa "rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan al-Mashalih al-Mursalah, kepentingan umum berperan dalam menentukan kesesuaian (Munasabah), sebuah metode yang fundamental dalam membangun dan memverifikasi ratio, hal ini disebabkan karena hubungan antara ratio dan kesesuaian ini yang mengungkap bahwa maslahah dan Istishab, berpikir sebagai perluasan dari qiyas, sebagian besar dari karya-karya ushul fiqih tidak memberikan bagian tersendiri tapi menempatkannya di bawah prinsip kesesuaian atau diletakkan pada masalah istidlal, yang mencakup jenis-jenis penyimpulan yang tidak termasuk dalam katagori Qiyas. (Wael B. Hallaq:2000)

Metode tersebut memperlihatkan bahwa ciri kepentingan umum yang diadopsi dalam sebuah kasus adalah sesuai (munasib) dan relevan (Muta'bar) baik dengan perinsif universal hukum mupun bagian tertentu dari bukti tekstual, karena itu kesesuaian dan relevansi merupakan persyaratan bagi kesimpulan yang sah dari maslahah mursalah. Imam Al-Ghazali menempatkan persoalan istislah secara berbeda. Tujuan hukum Imam Al-Ghazali (maqashid tasriiyah) mencakup prinsip menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga hak milik pribadi atau harta kekayaan. Dengan pertimbangan menjaga komunitas umat Islam secara keseluruhan maka sesuai dengan tiga persyaratan yakni 1) universal 2) pasti, dan 3) demi kepentingan tujuan hukum. Menurut al-Syatibi, "di mana ada kemashlahatan, di sana ada hukum Allah". maka Ibrahim Hosen menjadikan al-mashalih al-mursalah ini sebagai dalil hukum karena berdasarkan al-mashalih al-mursalah ini menurutnya akan banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-Qur'an atau al-Sunnah dan dalil-dalil lainnya, dapat ditetapkan hukumnya, Ibrahim Hosen memandang perlu digalakkan pendekatan al-mashalih al-mursalah dalam kasus-kasus hukum yang dijumpai, karena kemashlahatan umat itu banyak ragam serta variasinya, selalu berkembang dan berubah-ubah sesuai dengan kemajuan zaman. (Juhaya S. Pradja:2015)

Menurut At-Tufi, dalildalil syari'at itu terdiri dari sembilan belas macam atau sembilan belas dalil, yaitu sebagai berikut: (1).alKitab, (2). alSunnah, (3). Ijma' alUmmah, (4). Ijma' ahl alMadinnah, (5). alQiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih alMursalah, (8). alIstishab, (9). alBara'ah alAsliyyah, (10). al'Awaid, (11). Istiqra',(12). Saddu azZara'i, (13). Istidlal, (14). alIstihsan, (15).al Akhzu bi alAkhaffi (mengambil yang lebih ringan), (16). al'Ismah, (17). ijma' ahl alkufah, (18). Ijma' ahl al'Itrah (keluarga Nabi), (19). Ijma' alKhulafa' alRasyidin. Pengertian sabda Rasulullah saw. tersebut ialah menetapkan kemaslahatan dan menafikan (meniadakan) kemudaratan. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syari'at, maslahat harus dipertahankan.

Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih mengatakan bahwa dalil terkuat adalah nash dan ijma'. Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang bertentangan dengan kemaslahatan. Jika selaras dengan kemaslahatan, tidak perlu dipertentangkan, hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nash, ijma' dan mashlahat, yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. "la dara wa la dirara." Jika antara keduanya bertentangan yang harus didahulukan adalah penggunaan mashlahat dari pada nash dan ijma'. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian nash dan ijma', bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat al-Quran, kemudian mengamalkan pengertian Sunnah. (Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih : 1993)

Konsep Kemaslahatan dalam Hukum Islam
Musa Ibrahim al-Ibrahimy (1959) menegaskan bahwa konsep kemaslahatan secara konseptual ada beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: 1) Al-Maslahah al-Mu'tabarah, artinya maslahah yang dipertimbangkan, yang diperjuangkan oleh syariat yang menjadi maslahat sebagai illat hukum atau alasan, misalnya menjaga nama baik karena adanya tuduhan berzina; 2) Al-Mashlahah Al-Mulghoh, artinya maslahah yang tidak dipertimbangkan atau sia-sia, yaitu maslahah yang oleh seseorang dianggap mashlahat tetapi oleh syariat tidak demikian bahkan ada dalil yang menolak kemaslahatannya; 3) Al-Mashlahah Al-Mursalah, artinya maslahah yang tidak dijadikan sebagai pertimbangan oleh syariat ketika diputuskan hukumnya dan syariat tidak menolaknya, misalnya wajib membayar pajak kendaraan bermotor, mencacat perkawinan di catatan sipil.

Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah (1967) membagi kemaslahatan dengan tiga macam, yaitu sebagai berikut: (a) Al-Mashlahah al-Dharuriyyah, yakni kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia; (b) Al-Mashlahah al-Hajiyyah, yakni kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok atau mendasar untuk memertahankan keberadaan tercapainya kebutuhan pokok, misalnya adanya alat pertanian; (c) Al-Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap yang melengkapi kesempurnaan yang pokok, misalnya adanya kendaraan.

Ditinjau dari ketercakupannya, kemaslahatan itu ada tiga, yaitu sebagai berikut: (a) Kemaslahatan umum, yaitu kemaslahatan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali; (b) Kemaslahatan komunal, yakni kemaslahatan hanya untuk komunitas tertentu; (c) Kemaslahatan khusus atau individual, yakni kemaslahatan yang hanya untuk pribadi masing-masing yang tidak berkaitan dengan pihak lain.

Dalam ilmu hukum, teori kemaslahatan hukum menggunakan istilah kemanfaatan hukum yang direduksi dari pendapat Jeremy Bentham dalam faham utilitirianisme atau aliran manfaat yang menegaskan pernyataannya bahwa hukum yang manfaat adalah yang menimbulkan kesenangan dan kebahagiaan tanpa kecuali. Pernyataannya ini adalah "The aim of law is The Greatest Happines for the greatest number". Artinya bahwa tujuan terbesar dari hukum adalah untuk menimbulkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi umat manusia. Hukum diberlakukan untuk menghindarkan kesulitan dan kesengsaraan manusia. Dengan demikian, hukum bertujuan dilaksanakan secara terbalik karena berisi larangan-larangan melakukan sesuatu yang menimbulkan kesengsaraan. Hukum dalam bentuk ketentuan peraturan perundangan menghendaki semua masyarakat menjauhinya untuk melaksanakan titah isi hukum, dan mendekatinya untuk menghindari larangan yang terdapat dalam normanya. (The Liang Gie : 2000)

Persyaratan untuk mencapai tujuan syariat Islam ini adalah berlandaskan kepada asas legalitas hukum Islam, bahwa keberadaan nash yang menjadi sandaran atau sumber hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah merupakan sumber utama, maka apabila tidak ada dalam kedua nash tersebut para ulama sepakat untuk merujuk kepada ijma para sahabat, kemudian kepada ijtihad sahabat sebagai mujtahid mutlaq, dan seterusnya kepada ulama di kalangan tabi'in, tabi' tabi'in, dan ulama mazhab fiqh yang rasih dalam ilmu-ilmu keislaman dengan seluruh persyaratan sebagai mujtahid yang telah ditetapkan oleh para ulama mujtahid. (Munawir Syazali : 1993)

Dengan demikian, tujuan syariat Islam atau maqasid al-syari'ah harus mengacu pula kepada sistem hukum yang berlaku yang merupakan satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu: (1) struktur; (2) substansi; (3) kultur hukum, yang disebut sebagai legal system, yaitu adanya (1) Struktur hukum adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya yang mencakup: kepolisian, kejaksaan, pengacara, dan pengadilan, hakim dan jaksa; (2) Substansi adalah keseluruhan asas hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. (3) Kultur hukum adalah kebiasaan, opini, cara berpikir dan cara bertindak, dari para penegak hukum dan warga masyarakat.

Dengan pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan kemaslahatan yang mengupayakan tujuan hukum berhubungan dengan teori pembangunan hukum atau perubahan hukum. Sebagaimana Musthafa Syalabi menyatakan bahwa adanya perubahan hukum disebabkan karena adanya perubahan kemaslahatan adanya penghapusan hukum yang lama dengan hukum yang baru, kemudian adanya tahapan dalam penetapan hukum yang selalu mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pewahyuan. (Lawrence M. Friedman: 1987)

Al-Maqashid al-Syari'ah adalah konsep dasar dalam hukum Islam, termasuk hukum keluarga. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali bahwa hukum disyariatkan untuk menetapkan sesuatu sehingga timbul sesuatu yang menjadi mashlahat dan menghindari yang mafsadat. Mashlahat berarti semua sifat kebaikan sebaliknya mafsadat semua bentuk kemadharatan. Imam Al-Ghazali berpendapat mengenai mashlahat dalam kitab al-Mustafa min 'Ilm al-Usul, yaitu segala hal yang berkaitan dengan tercapainya kemanfaatan dan menolak kerusakan. Dengan demikian, menurut Imam Al-Ghazali mafsadat ialah segala hal yang memberikan dampak terhadap terhapusnya (sebagian atau keseluruhan) tujuan syariah. Mashlahat mencakup dua unsur, yaitu (1) mewujudkan sesuatu agar memiliki manfaat dan menghindari dari berbagai hal yang berdampak buruk. Maka, objek kajian mashlahat ialah peristiwa yang ditetapkan oleh hukum, akan tetapi tidak ada satupun nash (al-Qur'an dan al-Hadits) yang dapat dijadikan dasar atau landasan dalil.

Imam Al-Ghazali berpandangan bahwa mashlahat hanya sebagai metode dalam penetapan hukum dan bukan sebagai dalil atau sumber hukum, maka tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an, hadits, ijma maupun qiyas. Dalam penetapan hukum Islam yang menjadi prinsip utama dalam menegakkan kebijakan demi kepentingan umat.

Menurut Imam al-Ghazali ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan konsep mashlahat, yaitu sebagai berikut:
1. Mashlahat adalah menarik manfaat dan menghindarkan madharat. Sehingga hasil dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus memiliki manfaat untuk umat dan terhindar dari berbagai bahaya.
2. Mashlahat bertujuan memelihara al-maqâshid al-syari'ah (hifdzu al-diin, hifdzu al-nafs, hifdzu al-aql, hifdzu al nasl, dan hifdzu al-maal).
3. Dalam menetapkan hukum harus berdasarkan syariat Islam untuk tercapainya kemaslahatan maka harus ditujukan kepada Allah SWT.
4. Mashlahat merupakan sinonim dari al-ma'na al-munaasib, sehingga dalam kondisi tertentu sering disebut qiyas.

Dasar Hukum Teori Mashlahat
Dasar hukum yang digunakan oleh para ulama pada teori mashlahat adalah sebagai berikut:
a. Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.
b. Menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu.

Sumber penetapan mashlahat terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
1) Al-mashlahah al-manshushah, yaitu kemaslahatan yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist, dalam menetapkan hukum Islam yang menjadi dalil hukum utama yakni Al-Qur'an dan Hadits.
2) Al-maslahah al-mustanbathah, yaitu kemaslahatan yang ditentukan oleh para ahli yang membidangi dan kompeten dalam menentukan mashlahat.

Agus Hermanto (2017) menjelaskan bahwa mengambil kebijakan dalam legalitas mashlahat harus berdasarkan pada kriteria sebagai berikut:
(1) Mashlahat yang bersifat pasti, kemaslahatan ini telah dilakukan penelitian dan pertimbangan para mujtahid yang akan menimbulkan kemaslahatan dan mencegah kemadaratan, bukan hanya sekedar anggapan akan terjadinya suatu manfaat;
(2) Mashlahat yang bukan hanya untuk kepentingan pribadi, atau sebagian kecil masyarakat, namun kemaslahatan ini bersifat umum yaitu kepentingan banyak orang; dan
(3) Kebijakannya tidak menyampingkan Al-Qur'an dan Hadis.

Dalam menetapkan hukum, hendaknya kemaslahatan tidak bertentangan dengan ketentuan yang lebih kuat, dapat diterima oleh akal sehat, berlaku umum dalam urusan muamalah dan disepakati oleh banyak mujtahid.

Mashlahat dibagi menjadi dua macam yaitu kemaslahatan akhirat yang mencakup akidah dan ibadah dan kemaslahatan dunia ialah terjadinya proses muamalat. Berdasarkan sifatnya, mashlahat terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
(a) Mashlahat yang bersifat individual-subjektif (al-mashlahah al-khashshah) yaitu kemaslahatan yang menyangkut kepentingan pribadi. Kemaslahatan ini dikesampingkan karena kemaslahatan yang paling utama ialah untuk kepentingan semua orang.
(b) Mashlahat yang bersifat sosial-objektif (al-mashlahah al-'ammah) adalah kemaslahatan untuk kepentingan umum yang menyangkut orang banyak.

Abu Yasid Adnan Quthni mengutif pendapat Mustafa al-Syalabi (2017) membagi mashlahat berdasarkan perubahannya, adalah sebagai berikut:
(a) Al-mashlahah al-sabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak akan berubah. Contohnya: ibadah.
(b) Al-mashlahah al-mutagayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, maupun subjek hukum.

Berdasarkan kadar kekuatan dukungan nash Imam al-Ghazali membedakan mashlahat menjadi tiga macam, yaitu;
1. Mashlahah Mu'tabarah, yaitu kemaslahatan yang dibenarkan keabsahannya oleh Al-Qur'an dan Hadits, kemudian dapat dijadikan illat dalam qiyas.
2. Mashlahat mu'tabarah yang didukung oleh nash terbagi dua, yaitu:
a. Munasib muatsir (kesesuaian efektif), yaitu terdapat pembenaran langsung baik dalam bentuk nash atau ijma'.
b. Munasib mualim (kesesuaian selaras), yaitu "tidak ada petunjuk langsung mengenai dukungan dari syara' terhadap maslahat tersebut, namun ada petunjuk syara' lain yang menjelaskannya."
3. Mashlahah Mulgah yaitu kemaslahatan yang dibatalkan oleh syara', kemudian tidak sah digunakan dalam menetapkan hukum.
4. Mashlahah Mursalah yaitu maslahat yang tidak dipersaksikan oleh nash, baik itu dibenarkan maupun ditolak oleh syara' (Al-Qur'an dan Hadits).

Iman al-Ghazali membagi al-mashlahah al-mursalah berdasarkan kadar kekuatan, yaitu pada tiga tingkatan, sebagai berikut:
a. Mashlahah Daruriyat ialah kemaslahatan ini berfungsi untuk menjaga lima prinsip tujuan syariat (hifdz diin, hifdz aql, hifdz nafs, hifdz nasl, dan hifdz maal) kemudian apabila maslahah ini tidak tercapai maka akan terjadi kekacauan, kehancuran, dan kerusakan baik di dunia maupun di akhirat.
b. Mashlahah Hajiyat yaitu kemaslahatan untuk memudahkan suatu urusan dan menghindari dari kesulitan yang dibutuhkan oleh manusia. Apabila maslahah ini tidak tercapai tidak akan terjadi kekacauan hanya akan terjadi kesulitan dalam menjalankan kehidupan. Contohnya ada dispensasi (rukhsah) dalam meringkas solat.
c. Mashlahah Tahsiniyat ialah mashlahah yang akan menjaga marwah manusia dengan berakhlak baik dalam kehidupan. Apabila tidak tercapainya mashlahah ini maka tidak akan mengganggu dan tidak akan terjadi kesulitan dalam menjalankan kehidupan manusia. Contohnya syariat dalam etika tata cara makan dan minum.

Syarat-syarat agar mashlahah mursalah dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum menurut imam al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1) Maslahah tidak menyalahi teks (nash) dan konsensus (ijma') yaitu kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan al-Qur'an, Sunnah, dan ijma'.
2) Maslahah bersifat pasti (qat'i) dan nyata diketahui hakikatnya (maslahah haqiqiyyah), yaitu maslahah yang nyata akan menimbulkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan ataupun dharuriyyat.
3) Maslahah untuk kepentingan umum yaitu kemaslahatan yang akan menberikan dampak kepada banyak orang.
4) Maslahah menduduki tingkat dharuriyyah atau hajiyat yang menepati kedudukan seperti dharuriyat.
5) Maslahah sejalan dengan tujuan syara' atau hukum islam yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa aspek penting dalam metodologi penetapan hukum Islam meliputi:
a) Penetapan hukum dapat diambil dari sistem bayani yang bersumber dari nash dan sistem burhani yaitu menetapkan hukum berdasarkan nalar atau rasio manusia.
b) Diambil dari teori maqasid syari'ah yang disejajarkan dengan teori teologis hukum, teori itu menerapkan pemahaman mendalam atas kandungan nilai kemaslahatan dan keadilan dalam suatu putusan hukum.

Dengan pemahaman mengenai kemaslahatan sebagai inti tujuan hukum Islam maka pada hakikatnya untuk memelihara tujuan syariat yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Tujuan mashlahat dalam penetapan hukum bukan hanya sekadar kehendak manusia, namun tujuan ini untuk manusia selama tidak bertentangan dengan tujuan syari'at.

(*Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gujung Djati, Bandung)

(lam)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
right-1 (Desktop - langit7.id)
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Selasa 10 Desember 2024
Imsak
03:59
Shubuh
04:09
Dhuhur
11:49
Ashar
15:15
Maghrib
18:03
Isya
19:18
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan