Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 12 Desember 2024
home edukasi & pesantren detail berita

Kolom Pakar: Penafsiran Para Ulama Tentang Perintah Menikah Bagi Pria/Wanita Yang Masih Lajang Dalam Surat AL-Nur Ayat 32

tim langit 7 Selasa, 12 November 2024 - 13:05 WIB
Kolom Pakar: Penafsiran Para Ulama Tentang Perintah Menikah Bagi Pria/Wanita Yang Masih Lajang Dalam Surat AL-Nur Ayat 32
Muhammad Sopiyan, Kandidat Doktor Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati


LANGIT7.ID-Ibadah yang paling membahagiakan manusia adalah perkawinan, sebagai akad yang menghalalkan pergaulan suami dan isteri sesuai dengan syariat Islam. Tujuan perkawinan adalah membangun keluarga sebagai rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, keluarga yang tentram dan penuh rasa cinta serta kasih sayang. Allah SWT. berfimtan di dalam al-Quran surat al-Rum ayat 21 sebagai berikut:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Al-Rum [30]: 21).

Nikah adalah akad yang bertujuan untuk memperoleh manfaat perkawinan itu (‘aqd yaridd ‘alâ tamlîk manfa’at al-bidh’ qashdan). Dalam akad nikah terdapat proses perjanjian atau ikatan dua calon mempelai yang mengandung penghalalan wathî‘ (persetubuhan. Pengertian hakiki dari nikah adalah akadnya, sedangkan secara majaz menunjukkan makna wathî‘ (persetubuhan). Nikah merupakan perjanjian suci (mîtsâqan ghalîzhan) dari seorang perempuan kepada seorang laki-laki, Al-Qur‘an surat al-Nisa ayat 4 menegaskan:

وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًاBagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (QS. Al-Nisa’ [4]: 21).

Baca juga:Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Teori MaslahatPenafsiran tertang Perintah Perkawinan

Allah berfirman di dalam al-Quran surat al-Nur ayat 32-34, sebagai berikut:

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
وَلْيَسْتَعْفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱلَّذِينَ يَبْتَغُونَ ٱلْكِتَٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ ءَاتَىٰكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا۟ فَتَيَٰتِكُمْ عَلَى ٱلْبِغَآءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوا۟ عَرَضَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَمَن يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعْدِ إِكْرَٰهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
وَلَقَدْ أَنزَلْنَآ إِلَيْكُمْ ءَايَٰتٍ مُّبَيِّنَٰتٍ وَمَثَلًا مِّنَ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ

32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

33. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

34. Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

Kata Al-ayâmâ jamak dari ayyim, yakni orang-orang yang sendirian (single) atau belum memiliki pasangan, gadis atau janda. Wa al-shâlihîn, yakni orang-orang yang layak untuk menikah dan memberikan hak-haknya. Min ‘ibâdikum wa imâ’ikum, kata ‘ibâd jamak dari ‘abd (hamba laki-laki), sedang imâ’ jamak dari amat (hamba perempuan). Wallâh wâsi’ ‘alim, Maha Kaya Maha Luas yang tidak terbatas kenikmatannya dan tidak berujung kekuasaannya. ‘Alîm, Maha Mengetahui akan makhluknya dengan meluaskan rejeki dan menentukan ketetapan hikmahnya.

Walyasta’fif, yakni hendaklah bersungguh-sungguh menjaga kesucian. Lâ yajidûna al-nikâh, yakni yang belum memungkinkan untuk menikah dengan sebab-sebab harta, mahar atau nafkah. Boleh juga makna al-nikâh dengan mâ yankih bih (sesuatu yang dengannya ia bisa menikah). Hattâ yughniya humullâh min fadhlih, yakni Allah meluaskan karunia atas mereka sehingga mereka bisa mendapatkan sesuatu yang dengannya bisa menikah.

Al-kitâb, yakni al-mukâtabah seperti seorang sayyid mengatakan pada hamba sahayanya, “saya akan mencatatmu pada catatan ini, bila kamu melaksanakannya maka kamu merdeka”. Artinya al-kitâb berarti perjanjian antara majikan dan hamba sahayanya untuk membayar harta kepada tuannya hingga ia bisa merdeka. Fakatibûhum, yakni perintah pencatatan yang menunjukkan sunnah menurut jumhur ulama. In ‘alimtum fîhim khairan, yakni amanah dan kesanggupan untuk berusaha dalam rangka memenuhi harta sesuai catatan perjanjian. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kemaslahatan dalam agama. Wa âtûhum min mâlillâh al-ladzi âtâkum, yakni memerintahkan bagi para majikan untuk memberikan bagi para pembuat perjanjian sedikit dari harta agar membantunya memenuhi apa yang semestinya bagi kalian. Bisa juga berarti memberikan sedikit saja dari harta yang dicatat. Perintah ini menunjukkan wajib bila harta itu banyak jumlahnya, tetapi bila sedikit secukupnya saja. Dikatakan, dianjurkan bagi mereka untuk memberikan infak bagi hamba sahaya itu setelah mereka menunaikan kewajibannya dan merdeka. Dikatakan pula bahwa kaum Muslim dianjurkan untuk membantu pada para pembuat perjanjian sebagian dari zakatnya. Boleh juga memberikannya pada majikan sekalipun, karena ia tidak mengambilnya sebagai sedekah seperti halnya utang atau jual-beli. Walâ takrahû fatayâtikum alâ al-bighâ’, yakni jangan memaksa hambar sahaya perempuan itu untuk melakukan zina jika mereka menginginkan menjaga kesucian. Ini merupakan syarat yang menunjukkan makruh karena tidak didapatkan larangan lainnya. Bila dijadikan syarat sebagai larangan, mestilah dengan mengatakan walâ takrahû tanpa mafhum bagi syarat itu, yakni tidak harus tanpa keinginan untuk menjaga kesucian, sehingga pemaksaan itu diperbolehkan. Artinya larangan pemaksaan itu menjadi haram mutlak. Ayat ini diturunkan pada Abdullah bin Ubay yang memiliki enam budak perempuan yang dipaksa untuk berusaha dengan melakukan zina. (Mustopa : 2014)
Setelah Allah memperingatkan beberapa perbuatan yang bisa mengantarkan pada perbuatan zina, seperti menjaga pandangan dan memelihara kemaluan (QS. Al-Nur [24]: 30-31), Allah dengan ayat ini menjelaskan tentang pernikahan sebagai cara halal untuk menjaga keturunan, menyusun keluarga, melanggengkan ikatan pernikahan, dan memberikan pendidikan yang baik pada anak-anak.

Ayat ini merupakan perintah untuk menikah kepada siapapun yang belum memiliki pasangan, baik merdeka maupun hamba sahaya, baik pernah menikah kemudian bercerai atau belum menikah sama sekali. Sebagiannya ulama berpendapat bahwa hukum menikah ini wajib bagi siapa saja mampu. Mereka berargumen dengan hadis Rasulullah Saw.:

قوله صلى الله عليه وسلم: "يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء". أخرجاه من حديث ابن مسعود.

Sabda Nabi Saw.: “Wahai para pemuda, siapa yang sudah mampu untuk menikah maka menikahlah. Karena ia akan lebih bisa memelihara pandangan dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak sanggup maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu bisa menjadi benteng baginya” (HR. Bukhari-Muslim dari Ibn Mas’ud).(Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm, Juz 6 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999/1420), cet. ke-2, hlm. 51)

Sayyid Quthub menjelaskan bahwa pernikahan merupakan sarana alamiah dalam menghadapi kecenderungan jasmani yang bersih. Islam memberikan kemudahan bagi setiap individu untuk melakukan pernikahan supaya tidak melakukan perzinahah. Allah menyuruh masyarakat Muslim untuk memberikan bantuan penyiapan sarana material ke arah pernikahan yang halal. (Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’an, Juz 5 (Kairo: Dar al-Syuruq, t.th), hlm. 280)Muhammad Ali Al-Sayis menjelaskan bahwa Allah tidak mengharamkan bagi manusia untuk menikmati kesenangan dunia, tetapi dengan cara yang dihalalkan oleh syariat Islam. Allah melarang zina dengan segala pendorongnya baik dekat maupun jauh seperti pandangan, menampakkan perhiasan, maupunmasuk rumah tanpa izin. Tetapi Allah mendorong pada pernikahan dan memerintahkan untuk membantu tercapainya pernikahan. Nikah merupakan sebaik-baiknya pemelihara kesucian, menghindarkan dari zina, dan menjauhkan dari segala keburukannya. (Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 1 (Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 2001), hlm. 5)Menurut Ibnu Abbas ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk menikahi perempuan merdeka atau hamba sahaya dan menjanjikan rejeki yang cukup. Maka nikahilah orang yang masih sendiri di antara kamu, karena Allah akan memberikan keluasan karunia-Nya sekalipun mereka fakir. Allah juga Maha Mengetahui, tahu siapa di antara kalian yang kaya dan fakir, tidak ada satupun keadaan makhluk-Nya yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.(Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, jilid 19 (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2000), hlm. 166)
Hendaklah juga bagi perempuan yang tidak mendapatkan pasangan untuk menjaga kesuciannya dan menjauhi perbuatan haram. Perintah dalam ayat ke-33 ini bersifat mutlak, berbeda dengan ayat lainnya yang lebih bersifat khusus seperti dalam QS. Al-Nisa ayat 25 yang artinya:

Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Nisa’ [4]: 25).

Menurut Ibnu Katsir, firman Allah SWT. yang artinya, “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” Ini adalah perintah dari Allah untuk para majikan bahwa sekiranya budakmu meminta adanya perjanjian harta secara berangsur untuk kebebasannya, maka buatlah perjanjian itu jika itu membawa kebaikan. Para budak yang meminta dibuatkan perjanjian untuk membayar kebebasannya dengan sejumlah harta tertentu dengan jangka waktu tertentu, maka buatlah ikatan perjanjian, bila mereka termasuk pribadi yang baik, bertakwa, amanah dan sanggup untuk berusaha dan membayar harta yang disyaratkan kepada majikannya. (Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm, Juz 6 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999/1420), cet. ke-2, hlm. 52)

Kata al-khayr dalam ayat tersebut memiliki beragam penafsiran. Ibnu Abbas dan Al-Syafi’i mengatakan maknanya adalah amanah dan kesanggupan berusaha. Ada juga yang memaknainya dengan harta seperti diriwayatkan dari Ali. Hasan Al-Bisri memahami sebagai kemaslahatan dan keimanan. Selanjutnya jumhur ulama menyatakan bahwa perintah untuk melakukan perjanjian tersebut adalah sekadar anjuran bukan perintah wajib, sehingga majikan boleh memilih untuk memenuhinya atau tidak, bila budaknya meminta dilakukan perjanjian. Tidak wajib majikan membuat perjanjian tersebut, dan tidak boleh ia dipaksa melakukannya. Ikatan perjanjian semuanya harus dilakukan atas dasar kerelaan. Tetapi Daud Al-Zhahiri dan sejumlah kalangan tabi’in berpendapat bahwa perintah tersebut menunjukkan wajib. Argumennya berdasarkan riwayat Al-Bukhari dari Anas bin Malik, ia berkata: “Sirin telah meminta saya untuk membuat perjanjian, maka saya menolak. Kemudian ia mendatangi Umar bin Khaththab. Kemudian Umar mendatangi saya di Darrah dan membacakan ayat fakâtibûhum. Maka saya pun membuat perjanjian dengannya.”

Wa âtûhum min mâlillâhi al-ladzi âtakum, yakni berikanlah kepada mereka wahai para majikan sedikit dari harta dalam perjanjian tersebut, baik seperempat, sepertiga, seperdelapan atau sepersepuluh sebagaimana diriwayatkan para tabi’in, atau minimal bisa mereka simpan kekayaannya, sebagaimana dikatakan Al-Syafi’i. Dan pembebasan sedikit pun dari harta dalam perjanjian itu lebih utama dibanding pemberian itu sendiri, sebagaimana telah ma’tsûr dikalangan sahabat.

Menurut jumhur, pemberian tersebut bersifat sunnah untuk sekedar membantu secara ikhlas. Sementara Al-Syafi’i menganggap pemberian tersebut bersifat wajib dalam makna pembebasan sekecil apapun sebagaimana tampak dalam ayat tersebut. Sekelompok ulama menyatakan bahwa pemberian tersebut bisa diberikan dalam konteks kemanusiaan sebagai bagian dari zakat di mana budak merupakan salah satu ashnâf-nya sebagaimana dalam QS. Al-Taubah [9]: 60, wa fia al-riqab, yakni untuk membebaskan perbudakan. Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi. (Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syraî’ah wa al-Minhaj, Jilid 18 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H), cet. ke-2., hlm. 235)
Selain itu ada juga yang menganggap pemberian itu bersifat wajib berdasarkan pada hadis:

روى الإمام أحمد والترمذي والنسائي وابن ماجه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ثلاثة حق على الله عونهم: الناكح يريد العفاف، والمكاتب يريد الأداء، والغازي في سبيل الله».

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, “terdapat tiga hak atas Allah yang akan dipenuhinya, orang yang menikah dengan menginginkan kesucian, orang yang mengikat perjanjian yang menginginkan untuk dipenuhi, dan orang yang berperang di jalan Allah (HR. Imam Ahmad, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Menurut Ibnu Katsir, pendapat pertama lebih populer, yakni menjadikan sasaran ayat itu pada majikan bukan untuk semua kaum Muslim, karena sasaran dalam zakat sebagai kewajiban tertentu, sementara ayat ini disandarkan pada zakat sebagai bentuk tuntutan lain pada majikan. (Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syraî’ah wa al-Minhaj, Jilid 18 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H), cet. ke-2., hlm. 236)

Allah juga melarang kaum muslim untuk mengumpulkan harta dengan jalan haram dengan mengatakan “dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.” Janganlah memaksa budak-budakmu untuk melakukan perzinaan, baik mereka menginginkan kesucian atau tidak dengan mengharapkan keuntungan materi duniawi baik berupa harta benda maupun anak dan lainnya.

Memaksa perempuan termasuk budak yang akan dinikahi majikan menurut syariat Islam hukumnya haram. Meskipun majikannya cara memaksa hukumnya haram. (Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syraî’ah wa al-Minhaj, Jilid 18 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H, cet. ke-2., hlm. 236)

Allah menegaskan, “dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” Jika terjadi pemaksaan untuk berzina pada budak perempuan itu, maka Allah Maha Pengampun bagi mereka dan Maha Penyayang bagi mereka sesudah mereka dipaksa. Hal ini menunjukkan bahwa meski perzinaan itu dilakukan tanpa paksaan, maka tetap termasuk dosa. Menurut mayoritas ulama, ampunan itu kemudian kembali kepada perempuan-perempuan yang dipaksa itu. Mereka menguatkannya dengan qiraat Ibn Mas’ud bahwa ayat itu dibaca dengan “min ba’di ikrâhihinna lahunna ghafûr rahîm.” Tetapi sebagiannya ada yang berpendapat bahwa ampunan itu kembali kepada majikan yang melakukan pemaksaan zina itu dengan syarat ia bertobat. Tetapi menurut Al-Zuhayli, pendapat ini merupakan pendapat yang sangat lemah dan didasarkan pada angan-angan saja, karena sudah jelas pada ayat itu terdapat larangan untuk memaksa berbuat zina. (Wahbah al-Zuhayli, 1416 H : 237)

Maksud dari kata al-tazwîj (menikahkan) dalam ayat tersebut bukanlah akad nikah, karena kata al-ayâma mencakup semua orang siapapun yang belum memiliki pasangan, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil maupun orang dewasa. Lagi pula sudah diketahui umum bahwa laki-laki dewasa tidak ada wali atasnya seorangpun. Maka sudah jelas bahwa khithâb ayat ini adalah ditujukan bagi umat Islam. Sedangkan yang dimaksud al-tazwîj adalah membantu untuk menikah dan memudahkan pernikahan.

Nabi Saw bersabda, “Apabila datang kepadamu seseorang yang kamu sudah ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia kecuali apa yang kamu lakukan akan menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang jauh. (Muhammad Ali al-Shabuni, Rawâ’i al-Bayân Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’ân, Jilid 2 (Beirut-Damaskus: Maktabah Al-Ghazali-Mu’assasah Manahil al-‘Irfan, 1980), cet. ke-3, hlm. 184)

Adapun Al-Syafi’iyah menjadikan dalil wa ankihû al-ayâmâ sebagai argumen bahwa wali boleh memaksa gadis yang sudah baligh untuk menikah dengan tanpa kerelaannya berdasarkan makna umum ayat tersebut. Sekiranya tidak ada petunjuk bahwa tidaklah janda itu dinikahkan tanpa kerelaannya, maka tentu boleh menikahkan gadis tanpa kerelaannya. Pendapat yang hampir sama diungkapkan Malik dan Abu Hanifah. (Al-Qurthubi, 1978:218)

Menurut Al-Jashshash bahwa firman Allah wa ankihû al-ayâmâ tidaklah khusus bagi perempuan, tetapi kata tersebut juga mencakup laki-laki dan perempuan. Bila menikahkan laki-laki dengan seizin mereka tersembunyi, maka wajib menggunakan dhamir itu juga pada perempuan. Sungguh Nabi Saw telah memerintahkan untuk meminta izin gadis, beliau bersabda, “izinnya adalah sikap diamnya”, maka tetap bahwa tidak boleh menikahkannya tanpa seizinnya. Dan juga hadis Ibnu Abbas tentang gadis muda yang dinikahkan ayahnya tanpa permintaan gadis itu. Maka ia mengadu kepada Nabi Saw., maka Nabi bersabda, “Apakah kamu membolehkan apa yang dilakukan ayahmu”, ini merupakan petunjuk bahwa wajibnya meminta izin pada gadis itu. (Muhammad Ali al-Shabuni, 1980:186)

Para ahli fiqih dari kalangan Al-Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi wali dalam akad nikah karena nikah tidak bisa diakadkan dengan ungkapannya. Karena firman Allah wa ankihû al-ayâmâ minkum dan juga firman Allah walâ tunkihû al-musyrikîn hattâ yu’minû. Dengan kedua ayat itu bahwa Allah menunjuk khithâb-nya pada laki-laki untuk menikah bukan perempuan. Hal ini juga karena jika perempuan boleh mewalikan dirinya sendiri untuk menikah, maka tentu saja perempuan akan mendapat hak dari wali. Menurut Al-Shabuni, pendapat Al-Syafi’iyah dan Hanabilah merupakan pendapat yang tepat dan kuat yang kebanyakan para ahli menyetujuinya. Tetapi sebagaimana diketahui bahwa prioritas utama dalam ayat Al-Qur’an membawa khithâb-nya bagi seluruh manusia, bukan para wali saja. Dalam arti bahwa Allah menganjurkan kaum Mukmin untuk saling membantu dalam pernikahan. Kaum Muslim hendaknya saling memperhatikan sehingga tidak ada lagi dalam masyarakatnya yang tidak memiliki pasangan. Atas dasar inilah ditentukan hukum akad nikah secara langsung. Tidak diambil dari ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi, seperti lâ nikâha illâ biwaliyy (tidak sah nikah tanpa wali) atau hadis ayyumâ imra’atin nakahat bighayri idzni waliyyihâ fanikâhuhâ bâthil (perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal). Al-Alusi menyatakan bahwa kecenderungannya adalah bahwa perintah tersebut menunjukkan akan kemutlakan permintaan (izin wali), dan maksud pernikahan adalah saling membantu dan penuh keseimbangan. Ketetapan sahnya pernikahan pada sebagian gambaran wali diketahui dari dalil-dalil yang lainnya. (Muhammad Ali al-Shabuni, 1980:187)

Mengenai ayat yang menyatakan wa ankihû al-ayâmâ minkum (dan nikahilah orang yang belum memiliki pasangan di antara kamu), bahwa laki-laki merdeka boleh menikahi budak perempuan secara mutlak sekalipun ia sanggup memiliki bekal untuk menikahi perempuan merdeka, karena mengambil makna umum ayat tersebut. Sementara Al-Syafi’iyah berpendapat bahwa makna umum tersebut bukanlah yang dimaksud, dengan alasan bahwa QS. Al-Nisa [4]: 25 memiliki makna yang membatasi maksud ayat tersebut, yakni pada ketidakmampuan. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 25 itu adalah wa man lam yastathi’ minkum thawlan an yankiha al-muhshanât (barang siapa yang tidak sanggup di antara kalian karena tidak memiliki bekal untuk menikahi perempuan-perempuan merdeka). Ayat ini bersifat khusus, karenanya yang memiliki makna khusus lebih didahulukan dari yang umum. Maka tidak boleh bagi laki-laki merdeka yang memiliki bekal yang cukup untuk menikahi perempuan yang juga merdeka, menikahi budak perempuan. Dalil-dalil tersebut beserta rinciannya dikembalikan kepada QS. Al-Nisa’ [4]: 25 tersebut, meski di sini bukan tempatnya untuk membahasnya.(Muhammad Ali al-Shabuni, 1980:188)

Kesimpulan
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang menjadi khithâb (objek sasaran) perintah surat al-Nur ayat 32 adalah seluruh kaum Muslim. Allah memerintahkan wahai kaum Muslim nikahilah orang yang belum mempunyai pasangan dari laki-laki atau perempuan yang merdeka. Tetapi sebagian lainnya mengatakan bahwa khithâb ayat hanya ditujukan pada para wali dan majikan saja, yakni para wali yang merdeka seperti para ayah dan yang lainnya yang menjadi wali bagi yang lain, serta para majikan hamba sahaya laki-laki maupun perempuan. Sedang yang lainnya lagi berpendapat bahwa khithâb ayat itu adalah pasangan-pasangan (al-azwâj), karena merekalah yang diperintahkan untuk menikah.
Mazhab Al-Syafi’iyah berpendapat bahwa wali boleh memaksa gadis yang sudah baligh untuk menikah dengan tanpa kerelaannya berdasarkan makna umum ayat tersebut. Sekiranya tidak ada petunjuk bahwa tidaklah janda itu dinikahkan tanpa kerelaannya, maka tentu boleh menikahkan gadis tanpa kerelaannya. Pendapat yang hampir sama diungkapkan Malik dan Abu Hanifah. Tetapi Al-Jashshash mengatakan bahwa Nabi Saw telah memerintahkan untuk meminta izin gadis, beliau bersabda, “izinnya adalah sikap diamnya”, maka tetap bahwa tidak boleh menikahkannya tanpa seizinnya.(*Kandidat Doktor Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati, Bandung)

(lam)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
right-1 (Desktop - langit7.id)
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 12 Desember 2024
Imsak
03:59
Shubuh
04:09
Dhuhur
11:50
Ashar
15:16
Maghrib
18:04
Isya
19:19
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan