LANGIT7.ID-, Jakarta- - Manusia terkadang memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Salah satu caranya meminjam sejumlah uang untuk mencukupi kebutuhan tersebut.
Sebagai bentuk amanah dan tanggung jawab, pihak peminjam bisa memberikan jaminan berupa barang kepada pihak pemberi pinjaman.
Hal ini dapat membangun rasa kepercayaan dan kejujuran dari kedua belah pihak serta menjadi simbol komitmen yang kuat bahwa peminjam akan membayar hutangnya.
Bentuk jaminan ini dalam fiqih muamalah disebut dengan akad rahn atau gadai. Akad gadai penting untuk dipelajari dalam ekonomi syariah, agar tidak hanya menjadi simbol amanah dan tanggung jawab, tetapi juga sesuai dengan prinsip syariat.
Baca juga:
Sebagai Pengingat: Shalat Peminum Miras Tak Diterima Selama 40 HariBerikut ini ketentuan akad gadai dalam fiqih muamalah, yaitu meliputi definisi akad gadai, sumber hukum, serta rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Secara bahasa kata “rahn” bermakna tetap atau sesuatu yang terikat. Sementara secara istilah fiqih, rahn atau gadai adalah menjadikan barang sebagai jaminan atas utang.
Dengan artian, transaksi gadai menjadikan barang sebagai jaminan yang akan dijual untuk dipakai membayar utang ketika gagal melunasinya.
Definisi di atas sebagaimana disampaikan Syekh Ibnu Qasim: وَهُوَ لُغَةً الثُّبُوتُ، وَشَرْعًا جَعْلُ عَيْنٍ مَالِيَةٍ وَثِيْقَةً بِدَينٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَذُّرِ الْوَفَا
Artinya, “Rahn secara bahasa adalah menetapkan. Sedangkan secara syariat adalah menjadikan suatu harta sebagai jaminan atas hutang yang akan dijadikan untuk membayar ketika tidak bisa membayar hutang.” (Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Darul Ibnu Hazm: 2005], halaman 171).
Dalil Akad Gadai Abu Ishaq As-Syirazi menyebutkan, akad gadai merupakan akad yang legal menurut syariat berdasarkan firman Allah swt: وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ
Artinya, “Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS Al-Baqarah: 283).
Baca juga:
MASYA ALLAH! AA Gym Ungkap Kebahagiaan Allah saat Hamba-Nya Bertaubat, Begini Perumpamaannya yang Menyentuh HatiLegitimasi akad gadai juga berdasarkan hadits yang mengisahkan Rasulullah saw pernah menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi, sebagai jaminan atas sejumlah sha’ gandum untuk keluarga beliau.
Dari Sahabat Anas dikisahkan: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَهَنَ دِرْعًا عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ بِالْمَدِيْنَةِ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا لِأَهْلِهِ
Artinya, “Sesungguhnya Nabi saw menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi dan mengambil darinya sejumlah gandum untuk keluarga beliau.” (HR Al-Bukhari Muslim). (Al-Muhaddzab, juz II, halaman 86).
Rukun dan Syarat Akad Gadai
Secara umum, struktur akad gadai terdiri dari empat rukun, yaitu: Dua pelaku transaksi (rahin atau pihak yang memberi jaminan atas utang dan pihak murtahin atau penerima jaminan dari rahin).
Sighat atau bahasa interaksi yang terdiri dari serah dan terima (ijab qabul). Marhun atau barang yang digadaikan. Marhun bih atau hak piutang yang berada dalam tanggungan rahin.
Berikut ini penjelasan lengkap dari empat rukun tersebut, serta syarat yang harus terpenuhi di dalamnya.
1. Aqidain atau pelaku transaksi gadai
Pelaku akad gadai adalah rahin dan murtahin. Rahin adalah pihak yang memiliki tanggungan utang dan menyerahkan jaminan kepada murtahin. Sedangkan murtahin adalah pemilik utang dan penerima jaminan dari rahin.
Masing-masing keduanya disyaratkan harus tidak ada unsur paksaan dan memiliki kriteria mutlak tasharruf atau punya kebebasan menggunakan harta, yaitu baligh, berakal, dan punya hak milik atas harta yang digadaikan.
2. Shigat
Shighat adalah bentuk serah terima secara lisan dari kedua pihak trakasaksi. Contoh rahin berkata: “rahantuka”, yaitu "saya gadaikan kepadamu rumahku ini sebagai jaminan tanggungan utangku kepadamu." Kemudian murtahin menjawab: “irtahantu”, atau "saya menerima gadai"
3. Marhun
Marhun adalah barang yang digadaikan sebagai jaminan atas utang. Secara umum, kriteria marhun adalah setiap barang yang secara hukum sah diperjual-belikan, maka sah dijadikan sebagai jaminan utang.
Nilai marhun tidak disyaratkan harus setara dengan nominal utang yang menjadi tanggungan rahin, sehingga boleh lebih sedikit atau lebih banyak.
4. Marhun Bih
Marhun bih adalah piutang yang menjadi tanggung jawab rahin kepada marhun. Syarat-syarat marhun bih ada tiga sebagai berikut:
a. Utang harus sudah tsabit, yaitu sudah ada atau wujud menjadi tanggungan. Sebab gadai adalah jaminan atas hak, sehingga hak yang dijamin harus terlebih dahulu ada atau wujud (tsabit) sebelum dilangsungkan penjaminan. Karenanya, utang yang belum wujud seperti nafkah istri untuk hari esok tidak sah diberi jaminan.
b. Utang harus luzum atau ailun ilal luzum. Luzum artinya utang yang telah ada harus bersifat final dan mengikat yang tidak bisa dibatalkan, seperti utang mahar setelah akad nikah dan sebelum hubungan badan yang bersifat mengikat dan tidak ada pilihan untuk membatalkan. Utang dalam akad gadai juga boleh bersifat ailun ilal luzum atau mendekati luzum, seperti utang pembayaran suatu komoditas jual beli dalam masa khiyar.
c. Utang harus diketahui (ma’lum) kadar maupun kriterianya, sehingga apabila kadar dan kriterianya tidak diketahui (majhul) bagi kedua pihak maka hukumnya tidak sah. (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiah Al-Bujairimi, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz III, halaman 68-84).
Ketika akad gadai telah terjadi serah-terima barang yang digadaikan, maka status akad gadai menjadi mengikat bagi pihak penjamin (rahin).
Konsekuensi hukumnya adalah rahin terikat kontrak dan tidak berhak menarik kembali barang yang digadaikan, dan pihak murtahin memiliki otoritas untuk menahan barang yang digadai di bawah kekuasaannya.
Dalam akad gadai, pemeliharaan barang yang digadaikan menjadi tanggung jawab pihak pemberi utang (murtahin), karena penahanan barang yang digadaikan adalah demi kepentingan piutangnya ketika rahin tidak gagal membayar hutang.
Karena itu, biaya penyimpanan, perawatan, keamanan, atau administrasi lainnya dibebankan kepada pihak pemberi utang atau murtahin. (Musthafa Al-Khin dkk, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 2017], juz III, halaman 840-841).
Demikian penjelasan ketentuan akad gadai, prinsip, serta rukun dan syaratnya yang harus dipenuhi.
Akad ini dapat diaplikasikan sebagai solusi meminjam uang agar tetap menjaga rasa tanggung jawab dan kepercayaan antara dua belah pihak.
Wallahu a’lam. Tulisan Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, Madura.(ori)