Dr. Beni Ahmad Saebani,M.Si
LANGIT7.ID-Hukum secara filosofis bermakna kebijaksanaan, perbuatan dan keputusan yang penuh dengan hikmah, yang berarti mendatangkan kebaikan yang banyak atau menaburkan manfaat secara lahir dan batin. Kajian tentang keadilan dan kepastian hukum yang berujung dengan kemanfaatannya lebih dikenal dengan istilah asas hukum. Tiga asas hukum oleh Gustav Radbruch dimaknai sebagai kaidah atau norma yang merupakan pedoman perilaku manusia yang dianggap pantas. Namun kaidah ini ada yang mengatur kepentingan pribadi dan kaidah yang mengatur kepentingan antarpribadi sehingga disebut juga sebagai tata hukum.
Gustav Radbruch, dengan karyanya berjudul The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin (1950) menjelaskan bahwa kepastian merupakan tuntutan hukum, supaya hukum menjadi positif dalam artian berlaku dengan pasti. Hukum harus ditaati, dengan demikian hukum itu positif, yang artinya kepastian hukum ditujukan untuk melindungi kepentingan setiap individu agar mereka mengetahui perbuatan yang dibolehkan dan yang dilarang sehingga mereka dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan. Kepastian hukum merupakan salah satu nilai dasar yang menginginkan adanya kejelasan dari fakta hukum yang membuat hukum benar-benar positif untuk berlaku pada suatu negara (ius constitutum).
Adapun, asas keadilan adalah menempatkan hukum sesuai dengan fakta hukumnya, berdasarkan alat bukti yang cukup, kuat, dan adanya keyakinan hakim. Keadilan bukan diartikan sama rata atau sama rasa melainkan proporsional antara hak dan kewajiban. Selain itu keadilan berhubungan dengan hati nurani. Keadilan bukan tentang definisi yang formal karena berhubungan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Hati nurani ini memiliki posisi yang sangat tinggi karena berhubungan dengan rasa dan batin yang paling dalam, Radbruch menyatakan: "Summum ius summa inuiria" yang berarti keadilan tertinggi adalah hati nurani. Radbruch menyatakan bahwa keadilan merupakan cita hukum.
Asas hukum ketiga adalah kemanfaatan hukum, merupakan esensi hukum, artinya hukum harus memberi manfaat dan keajegan sosial dalam bentuk kedamaian, keamanan, dan ketentraman. Dengan demikian, negara dan hukum diciptakan untuk manfaat sejati yaitu kebahagiaan mayoritas masyarakat. Menurut Moh. Mahfud Md. Hukum yang baik adalah hukum yang menimbulkan kebahagiaan bagi masyarakat, dikarenakan hukum dibuat bukan untuk dilanggar tetapi untuk ditaati, maka apabila ada pelaku pelanggar hukum, ketika ditetapkannya hukuman akan menimbulkan efek jera dan korban merasakan keadilannya.
Baca juga:
Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Teori MaslahatAsas kepastian hukum tertuang di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Hukum tertulis dalam arti yang luas mencakup semua peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu sesuai dengan tingkat dan lingkup kewenangannya yang biasanya disebut peraturan perundang-undangan. Menurut Moh. Mahfud Md., peraturan perundang-undangan adalah berbagai jenis peraturan tertulis yang dibentuk oleh berbagai lembaga sesuai tingkat dan lingkupnya masing-masing merupakan bentuk kepastian hukum.
Solly Lubis (2003) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perundang-undangan ialah proses pembuatan peraturan negara atau tata caranya mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan atau penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan, sedangkan yang dimaksud dengan peraturan negara ialah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam pengertian lembaga atau pejabat tertentu. Sehingga yang dimaksud perundang-undangan meliputi undang-undang, Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Surat Keputusan, dan Instruksi, sedangkan "peraturan perundangan" berarti peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan negara.
Mewujudkan Tujuan HukumGustav Radbruch menjelaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan hukum diterapkan dengan tiga nilai dasar dalam tujuan hukum, yaitu 1) kepastian hukum; 2) keadilan hukum; dan 3) kemanfaatan hukum. Hukum itu harus pasti, inilah yang kemudian disebut sebagai teori tujuan hukum. Kepastian yang dimaksudkan adalah keputusan hukum yang hanya berdasarkan kepada hukum yang berlaku secara formil dan materiil, artinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur secara dengan alasan hukum yang logis.
Gustav Radbruch menegaskan bahwa teori tujuan hukum ini menjelaskan bahwa hukum dalam tujuannya perlu berorientasi pada tiga asas hukum. Menurut Cst Kansil, untuk mewujudkan keadilan hukum maka harus melaksanaan kepastian hukum sebagai upaya mencapai tujuan hukum, yakni keadilan itu sendiri. Adapun realisasi kepastian hukum adalah penegakan hukum dengan prinsip persamaan dan kesederajatan. Penegakan hukum kepada semua manusia dengan prinsip equalily before the law. Dengan cara tersebut maka akan diperoleh kepastian hukum. Hukum tidak tajam ke bawah tumpul ke atas, melainkan hukum tajam ke setiap arah, hukum tidak tebang pilih, yang artinya untuk siapa saja yang melanggarnya akan sama kedudukannya di hadapan hukum. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan substansinya dan tidak memberikan manfaat bagi nilai humanitas universal.
Baca juga:
Kolom Ekonomi Syariah: Trust di Dunia IslamApeldoorn menguatkan pandangan tentang perwujudan tujuan hukum dengan dua aspek kepastian hukum, yaitu: (1) aspek dapat dibentuknya hukum pada sesuatu yang nyata dan setiap pihak bebas mempelajari hukum dan memahaminya demi merasakan keadilan hukum dalam menghadapi perkara hukum; (2) Setiap orang dilindungi oleh hukum, aman karena ada hukum, dan terhindar dari kesewenangan Hakim yang memegang kendali hukum di pengadilan, artinya kepastian hukum adalah segala keputusan hukum sesuai dengan kehendak hukum yang berlaku atau hukum positif dan menolak ketentuan apapun yang bukan hukum atau yang mirip hukum, bahkan suatu Undang-undang yang tidak memiliki kepastian hukum tidak dapat disebut sebagai hukum.
Menurut Cst Kansil, asas kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum harus dilengkapi oleh peraturan yang konsisten dan mudah diperoleh (accessible) yang diperkuat oleh struktur hukum atau instansi penguasa terutama penegak hukum dan atau pemerintah yang menerapkan aturan hukum secara konsisten, taat, dan tunduk hanya kepada hukum yang berlaku. Selain itu, secara prinsipil semua masyarakat memiliki kesadaran hukum yang membentuk budaya hukum yang baik. Demikian pula para penegak hukum dan lembaga peradilan berpedoman, berpegang teguh secara konsisten hanya kepada norma hukum yang berlaku secara independen.
Para hakim dan penegak hukum sebagai penjamin kepastian hukum, sehingga hanya hukum yang berkekuatan dalam menegakkan keadilan untuk seluruh perkara yang ada dalam proses peradilan. Gustav Radbruch menyatakan bahwa kepastian hukum berkaitan dengan keadilan hukum, yakni perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri. Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang bermartabat.
Keadilan secara umum dimaknai sebagai upaya untuk memberikan kesetaraan. Adapun unsur hukum yang diperlukan untuk melengkapi ide keadilan, yakni kemanfaatan. Kemanfaatan dimaknai sebagai upaya untuk melayani keinginan yang beragam dari berbagai pihak. Upaya ini dapat dipenuhi secara relatif, karena berbagai pihak memiliki ragam pandangan yang tak dapat disatukan, yang bisa berujung pada perbedaan pandangan yang tak berkesudahan. Maka itulah Radbruch kemudian menawarkan unsur terakhir, yakni kepastian hukum ditetapkan secara positif.
Baca juga:
Paradigma Kepemimpinan Visioner dan AmanahMasyarakat hukum adalah himpunan berbagai kesatuan hukum (legal unity) yang satu sama lainnya terikat dalam hubungan yang teratur, masyarakat umum dapat dikelasifikasikan menjadi tiga golongan yaitu: (1) Masyarakat sederhanana; (2) Masyarakat negara; dan (3) Masyarakat international. Adapun budaya hukum, yaitu tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat hukum baik yang tradisional maupun yang modern. Sedangkan penerapan hukum pada hakikatnya adalah penyelenggaran pengaturan hubungan hukum setiap kesatuan hukum dalam suatu masyarakat hukum, pengaturan ini meliputi aspek pencegahan pelanggaran hukum (regulasi aspek) dan penyelesaian sengketa hukum (setlement of dispute) termasuk pemulihan kondisi atas kerugian akibat pelanggaran itu (reparation or compensation). Komponen ini merupakan kunci terakhir dari proses perwujudan sistem hukum. Komponen penerapan hukum meliputi tiga komponen utama yaitu: pertama, komponen hukum yang akan diterapkan, kedua, institusi yang akan menerapkannya, ketiga, personil dari institusi penyelenggara ini umumnya meliputi lembaga-lembaga administratif dan lembaga-lembaga yudisial, seperti polisi, jaksa, hakim dan berbagai institusi yang berfungsi menyelenggarakan hukum secara administratif pada jajaran eksekutif.
Namun demikian, hukum juga harus dievaluasi sebagai konsekuensi dari pandangan para ahli hukum utilitarianis yang menyatakan bahwa kualitas hukum baru dapat diketahui setelah hukum itu diterapkan, hukum yang buruk berakibat buruk sedangkan hukum yang baik berakibat yang baik. Dalam peraktiknya komponen melibatkan hampir seluruh komponen sistem hukum kecuali komponen bentuk hukum, komponen utama yang dapat melakukan fungsi evaluasi ini antara lain adalah komponen masyarakat yang melihat kepada reaksi penerapan hukum, komponen ilmu dan pendidikan hukum melalui fungsi penelitian dan hakim melalui pertimbangan keadilan dalam penerapan ketentuan hukum.
Teori Kepastian dan Keadilan Hukum IslamPerintah kepada manusia, terutama pemilik kekuasaan, para hakim, dan pemimpin masyarakat dan negara yang langsung dari Allah SWT. adalah perintah untuk menegakkan keadilan, dan dilarang menegakkan hukum dengan cara tebang pilih disebabkan adanya kedekatan kepada pelaku kejahatan, bahkan non muslim sekali pun umat Islam diperintahkan berlaku adil. Untuk keadilan sosial harus ditegakkan tanpa membedakan karena kaya miskin, pejabat atau rakyat jelata, wanita atau pria, mereka harus diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama.
Tuhan yang telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Oleh karena itu Tuhan tidak lagi bersifat absolut kehendak-Nya. Menurutnya Mu'tazilah Tuhan telah menciptakan akal manusia yang mampu melihat yang baik dan buruk secara objektif. Manusialah yang berhak sekaligus berkewajiban menentukan keadilannya menurut akalnya, sementara Allah hanya menggambarkan sesuatu yang dapat dipilih oleh manusia. Menurut Harun Nasution (2003) Mu'tazilah percaya pada kekuasaan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia mempunyai tendensi untuk melihat wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Manusia yang berakal sempurna kalau berbuat sesuatu pasti mempunyai tujuan, baik untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain, Tuhan juga mempunyai tujuan perbuatannya, tetapi karena Tuhan Maha Suci dari sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri, perbuatan Tuhan adalah kepentingan maujud selain Tuhan.
Baca juga:
Kolom Ekonomi Syariah: Pangan Dalam Perspektif Ekonomi SyariahTuhan menghendaki sesuatu yang ada dan tidak menghendaki sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain sesuatu yang ada artinya dikehendaki dan sesuatu yang tidak ada artinya tidak dikehendaki, maka berarti Tuhan menghendakinya. Tuhan menghendaki kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki iman bagi orang yang mendapat petunjuk. Tuhan dalam faham Asy'ariyah dapat berbuat segala yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Asy'ari berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah, jika memasukan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena itu Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum. Faham Asy'ariyah tersebut menegaskan bahwa keadilan Tuhan merupakan keadilan raja yang absolut. Ketidakadilan dapat terjadi pada saat seseorang melanggar hak orang lain, tetapi tidak pada Tuhan. Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil, walaupun manusia mengangap hal tersebut tidak adil. Apabila ini tetap dilakukan oleh Tuhan, sesungguhnya Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan masih adil.
Menurut faham Asy'ariyah, segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Tuhan itu adalah keadilan. Dengan demikian, keadilan Tuhan tidak bergantung kepada makhluknya, meskipun manusia menyatakan Tuhan berlaku adil maka bukan berarti keadilan Tuhan ada dikarenakan oleh adanya pernyataan tersebut. Berbeda dengan pendapatnya Maturidiyah, mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, menyatakan bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. akan tetapi bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berbuat jahat ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Mengenai perbuatan manusia Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanyalah Tuhan yang dapat mencipta dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. Dengan demikian Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
Dengan pandangan Maturidiyah tersebut dapat dipahami bahwa keadilan Tuhan tidak bergantung kepada yang lain, selain kepada kehendak-Nya atau kepada Dzatnya sendiri karena pemilik mutlak keadilan itu sendiri. Sedangkan menurut Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, manusia diberi kebebasan menentukan pilihannya, bebas berbuat adil atau tidak adil, akan tetapi selurunya terikat oleh takdir. Dengan demikian, manusia diperintahkan berlaku adil dan menentukan keadilannya dengan membentuk pelbagai peraturan perundang-undangan demi terciptanya keadilan, akan tetapi keadilan mutlak tetap milik Allah swt., karena sudah ada sejak azalinya. Manusia hanya berikhtiar untuk melaksanakan keadilan menurut ukuran kemampuannya.
Dalam perspektif teori Maqasid al-Syariah, tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadist sebagai alasan logis bagi rumusan hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan manusia. Tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hamba dunia akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari empat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dinamakan Hukum Islam.
Baca juga:
KOLOM EKONOMI SYARIAH: Utlubul Ilma Walau Bi TsinDasar pemikiran teori keadilan menurut maqasid al-Syariah sebagai instrumen menggali nilai keadilan hukum adalah tujuan ditetapkannya hukum Islam. Seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Maqasid al-Syariah adalah tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat. Dengan demikian, keadilan menurut tujuan syariat Islam adalah sebagaimana yang oleh al-Syatibi dijelaskan yaitu secara hierarkis melaksanakan perbuatan dengan tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyyat. Pengelompokkan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas.
Keadilan merupakan bagian dari nilai (value) yang bersifat abstrak. Keadilan adalah pencapaian tujuan hidup manusia melalui interaksi antarmanusia dengan menggunakan aksi-aksi dalam masyarakat yang terorganisasikan secara politik. Plato mengatakan bahwa keadilan dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.
Keadilan hukum Islam berlandaskan kepada asas legalitasnya yang pasti, karena itu penegakkan hukum berdasarkan dalil yang qath'i, yakni dalil yang menunjukkan hukum yang akurat dan tidak memerlukan penafsiran sebagaimana yang disebut dengan dalil-dalil muhkamat, sedangkan penunjukkan dengan dalil yang zhanni sebagaimana dengan dalil-dalil mutasyabihat masih memerlukan penakwilan sehingga kepastian hukumnya multitafsir dan dapat diambil sebagai landasan penafsiran rasional, sebagaimana menggunakan metode al-maslahat al-mursalah yang kemaslahatannya tidak ditetapkan oleh nash atau dalil qath'i akan tetapi tidak menyimpang dari syariat atau dalil yang qath'i.
Dengan pemahaman tersebut teori kepastian dan keadilan hukum Islam dengan landasan nash al-Quran dan al-Sunnah yang dilalahnya qath'i sehingga tercipta keadilan yang berprinsip kepada ketauhidan dengan asas legalitas dari sumber hukum Islam yang utama, sementara segala sesuatu yang ketentuan hukumnya tidak ditetapkan oleh nash yang qath'i dilakukan dengan teori maslahat yang sejalan dengan al-maqasid al-syari'ah, yaitu memelihara agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta kekayaan.
KesimpulanHukum itu memiliki kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, hanya penerapannya bergantung kepada hukum positif, penegakkan hukum, dan hati nurani para penegak hukum. Keadilan merupakan esensi hukum pada saat hukum ditegakkan yang akan menimbulkan kemanfaatan bagi masyarakat, terutama bagi penerima putusan hukum dari pengadilan sebagai lembaga hukum.
Hukum Islam yang pasti dan yang tidak pasti, dilihat dari dua segi, yaitu: dari segi pembuat hukumnya, yakni Allah SWT sebagai Al-Hakim, maka hukumnya mutlak atau pasti dari segi wurudnya, akan tetapi dari segi dilalahnya, penunjukkan dalilnya, hukum itu dengan dalil yang qath'i dan dengan dalil yang dhanni, dari segi lahiriahnya sumber hukumnya ada yang muhkamat (mudah difahami) dan ada yang mutasyabihat, yang memerlukan penafsiran dan penakwilan.
(*Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung)
(lam)