Dr. Beni Ahmad Saebani,M.Si
Dosen Filsafat Ilmu FSH UIN Sunan Gunung Djati Bandung
LANGIT7.ID-Filsafat Nietzsche adalah filsafat perspektivisme yang dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat pada zamannya dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau (Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi Kristen, filosofi untuk menaklukan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia sempurna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Martin Heidegger, filsafat Nietzsche tentang nihilisme semacam ini merupakan "tutup botol" problem metafisis barat. Corak pemikiran ini menunjukan bukan hanya akhir dari filsafat, namun juga akhir dari "wahyu" sebagai kunci pembuka makna atau ketiadaan makna. Konsep subjektivitas dalam metafisik barat yang mencapai klimaksnya dalam will to power, juga menjadi sebuah kegilaan dalam siklus eternal recurrence. Bagi Heidegger, filsafat Nietzsche bukan merupakan penaggulangan atas nihilisme, justru ia merupakan rintangan serius dalam problem nihilisme. Secara konklusif, nihilisme dalam versi Nietzsche berarti ke-nihil-an nilai-nilai, baik kemanusiaan ataupun ketuhanan, sehingga dengan gagasan yang agak provokatif, ia "meletuskan" emosinya ini dengan The Death of God. Selanjutnya, Nietzsche "menciptakan" Übermensch yang akan menyelamatkan dunia yang sedang chaos. Sampai di sini, sisi eksistensialisme yang beranjak dari nihilisme Nietzsche dapat terlihat. (Bernd Magnus and Kathleen M. Higgins, The Cambridge Companions to Nietzsche, (Cambridge University, 2006:312))
Baca juga:
Kolom Pakar: Kritik Ideologi Madzhab Frankfrut Jurgen HabermasEKSISTENSIALISMEFriedrich Wiliam Nietzsche seorang eksistensialis yang pemikirannya memberikan warna tersendiri pada filsafat Barat modern yang mengajak merefleksikan eksistensi manusia. Dalam konsep Übermensech menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah "MANUSIA HARUS EKSIS". Ubermensech mengatasi segala hegemoni dengan kekuatan manusia sendiri. Oleh karena itu, tujuan utama konsep ini adalah membuat manusia yang lebih berani kuat, cerdas, dan hebat sehingga manusia dapat lepas dari kehanyutan hegemoni sehingga manusia mempunyai jati diri yang sesuai dengan dirinya dan ditentukan oleh dirinya tanpa di kukung norma dan nilai yang berlaku. (Listiyono Santoso, Epistemologi Golongan Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia, 2007:58))
Vitalisme Nietzsche lebih bersifat aktif. Vitalisme berarti semangat hidup. Kecintaan terhadap hidup bukan berarti takut mati. Hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian, tidak ada kata menyerah. Ia selalu dalam proses menjadi. Manusia jembatan antara binatang dan manusia agung. Vitalisme adalah suatu doktrin yang menyatakan bahwa suatu kehidupan terletak di luar dunia materi dan karenanya kedua konsep ini, kehidupan dan materi, tidak bisa saling mengintervensi. Dimana doktrin ini menghadirkan tentang konsep energi, elan vital, yang menyokong kehidupan dan energi ini bisa disamakan dengan keberadaan suatu jiwa. Pada awal perkembangan filosofi di dunia medis, konsep energi ini begitu kental sehingga seseorang dinyatakan sakit karena adanya ketidakseimbangan dalam energi vitalnya. (Nihilisme, dalam www.wikipedia.com, diakses pada 23 November 2024)
Baca juga:
Kolom Pakar: Paradigma Tentang Subyek dan Obyek Hukum Dalam Metodologi Hukum IslamNIHILISMENihilisme menyangkal keabsahan alternatif positif manapun dan istilah ini telah diterapkan pada metafisika, epistemologi, etika, politik dan teologi. Nihilisme: a) Penyangkalan mutlak, dalam konteks ini nihilisme berarti titik pandang yang menolak ideal positif mana pun. b) dalam epistemologi nihilisme berarti penyangkalan terhadap setiap dasar kebenaran yang objektif dan real. c) nihilisme merupakan teori bahwa tidak ada yang dapat diketahui, dengan kata lain semua pengetahuan adalah ilusi, tidak bermanfaat, relatif dan tidak bermakna. d) keadaan psikologis dan filosofis dimana tidak ada nilai etis, religius, politis dan sosial. (Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005:712))
Nihil dalam nihilisme berarti negasi sebagai kualitas dari kehendak untuk berkuasa. Dengan demikian, nihilisme dalam arti dasar dan pokoknya menandakan nilai nol yang diambil oleh kehidupan serta fiksi tentang nilai-nilai yang lebih tinggi yang memberinya nilai tersebut dan kehendak akan ketiadaan yang diekspresikan dalam nilai-nilai yang lebih tinggi. (Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, (terj) Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Ikon Taralitera, 2002:208))
Dalam filosofi Nietzsche, nihilisme merupakan syarat untuk menjamin orisinalitas dalam berfikir dan berkreasi, sehingga benar-benar bermakna. Nihilisme sendiri adalah sebuah pandangan filosofis yang sering dihubungkan dengan Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain. Dalam salah satu cerita Nietzsche yang terkenal "madman/orang gila", dinyatakan: "Tuhan sudah mati.. Tuhan terus mati.. Kita telah membunuhnya" (Gott ist tot.. Gott bleibt tot.. Und wir haben ihn getotet..). (The Gay Science/Die fröhliche Wissenschaft, sesi 125). Dalam sesi ini, si orang gila muncul di pasar dan berteriak "Tuhan sudah mati" dengan kebingungan kepada orang-orang atheist terpelajar yang berkumpul di sana. Kemudian mereka serentak tertawa. Si orang gila memberitahu mereka, "kita telah membunuhnya – kamu dan aku, kita semua yang di sini adalah pembunuh tuhan". Ia mencoba menjelaskan sebaik mungkin kepada orang-orang itu yang hanya terdiam seribu bahasa. Akhirnya si orang gila membantingkan lentera yang di bawanya, dan berkata "rupanya aku datang terlalu cepat, belum tiba saatnya bagiku. Hal ini masih terlalu jauh dari mereka melebihi bintang yang terjauh sekalipun." (Bernd Magnus and Kathleen M. Higgins, The Cambridge Companions to Nietzsche, (Cambridge University, 2006:36))
Baca juga:
Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Cita HukumSelain menolak Tuhan, Nietzsche juga menyerang Tuhan dengan mematikannya. Dengan demikian maka manusia baru bisa berbuat dan betindak. Sebab selama ini manusia dikungkung oleh nilai-nilai agama seperti pahala dan dosa. (Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama:Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009:148))
Keyakinan yang mendasari Nietzsche adalah bahwa Tuhan telah mati dan segala dewata sudah mati, hanya manusia ataslah yang masih hidup. Neitzsche memandang agama khususnya Kristen sebagai lambang pemutarbalikan nilai-nilai. Sebab yang dipandang sebagai jiwa Kristiani ialah menolak segala yag alamiah sebagai hal yang tak layak, yang memusuhi segala yan nafsani. Menurutnya, pengertian Tuhan agama Kristen adalah pengertian yang paling rusak dari segala pengertian tentang Tuhan, sebab Tuhan dipandang sebagai Tuhan anak-anak, piatu dan janda-janda, Tuhan orang sakit. Tuhan dipandang sebagai roh, yang bertentangan dengan hidup ini. (Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980:129)
Untuk membuktikan eksistensi Tuhan, Nietzsche menggunakan pendekatan yag menjelaskan pemahamannya tentang asal-usul dan sifat perbedaan antara baik dan buruk serta baik dan jahat dan menyingkap klaimnya bahwa kebutuhan kita adalah untuk bergerak melampaui kebaikan dan kejahatan. (John K. Roth, Persoalan-Persoalan Filsafat Agama: Kajian Pemikiran 9 Tokoh dalam Sejarah Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003:300)
Menurut Nietzsche, manusia selalu membutuhkan "sesuatu untuk dipercaya". Perwujudan dari kebutuhan akan "sesuatu untuk dipercaya" itu tampak dari pegangan hidup manusia, baik itu agama (konsep tuhan), metafisika (konsep esensi), ideologi politik (demokrasi, komunis), dan juga tentunya sains (objektivitas bukti sebagai kebenaran-akhir). Manusia tidak ingin selalu terombang-ambing oleh ketidakjelasan, maka sesuatu yang dapat diyakini dan dianggap sebagai benar adalah sesuatu yang patut diraih. Pencarian akan yang-akhir (idea fix) itulah yang menjadi pusat perhatian manusia pada setiap zaman. (Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Galang Press, 2004:181)
Baca juga:
Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Teori MaslahatBanyak orang menganggap sesuatu benar karena ingin menganggapnya benar (jika tidak, ditinggalkan). Bahkan, seseorang harus yakin bahwa tindakannya itu benar sekalipun jika keyakinannya itu sebuah kebohongan. Dengan begitu, "kebenaran" itu dirasa dapat memberi kelegaan, keamanan, dan ketenteraman bagi hidupnya. Bagi Nietzsche, kebenaran bukanlah sebuah properti atau harta milik. (Alessandra Tanesini, "Nietzsche Theory of Truth" dalam Australasian Journal of Philosophy, Vol. 73, No.4, December 1995:552)
Kebenaran tidak dapat di-fix-kan, apalagi jika hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Jika kebenaran adalah wanita, maka para saintis dogmatis adalah pria-pria bodoh yang tidak tahu cara mengambil hati wanita. Bagi Nietzsche, para saintis ini terlalu percaya diri, dogmatis, dan serius. (Sri Rahayu Wilujeng dan P. Hardono Hadi, Humanika 19 (3), Juli 2006, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006:378)
Mereka seperti anak-anak muda Mesir yang karena rasa ingin tahunya, masuk ke kuil dan menyingkap selubung patung-patung. Mereka ingin mengetahui kebenaran sebenar-benarnya. Bagi Nietzsche, "Itu semua merupakan kejijikan yang sudah kita campakkan; Kita tidak lagi percaya bahwa sebuah kebenaran akan tetap sebuah kebenaran manakala selubungnya disingkap." Kebenaran itu adalah wanita dengan selubungnya – dua-duanya. Di hadapannya kita perlu menjunjung sopan santun dan hormat. Wanita adalah dunia, hidup, dan realitas apa adanya. Namun, bukan berarti hanya diterima apa adanya atau ditolak begitu saja. Melainkan, kita perlu menanggapinya dengan "ya-tidak" sekaligus. Di sanalah, Sang Bayi mulai bermain, tak ada ketakutan dan kecemasan, dan juga tak ada ambisi untuk meraih kebenaran (sains) secara absolut. Melainkan, menghormati kebenaran (sains) dengan "kepolosan" seorang anak yang mengafirmasi realitas apa adanya. Inilah solusi bagi masyarakat modern di tengah-tengah modernitas (sains). Inilah manusia asenden, di mana ia berani berhadapan dengan kehidupan yang plural dan khaos. Ia tidak lari dan mencari sebuah pendasaran metafisik (idea fix), melainkan mengafirmasi realitas, ya dan tidak sekaligus. (A. Setyo Wibowo, 2004:140)
Baca juga:
Kolom Ekonomi Syariah: Trust di Dunia IslamKESIMPULANTuhan telah dimatikan, karena telah mengungkung kebebasan manusia. Tuhan hanya akan menghalangi kemerdekaan manusia. Demikian pula dengan moralitas yang terbelah. Moral dikendalikan oleh manusia karena moral didefinisikan berbeda oleh sang tuan dan budak-budak yang dikuasai tuannya. Tujuan utama kehidupan manusia adalah eksistensi diri yang akan menjadikan manusia benar-benar merasakan kehidupan.(*)
(lam)