Aji Saptaji, SHI,M.E.Sy.
Dosen FSH UIN Sunan Gunung Djati Bandung
LANGIT7.ID- Wakaf merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem ekonomi Islam yang telah dipraktikkan sejak masa Rasulullah SAW. Konsep ini telah memberikan dampak signifikan bagi perkembangan kesejahteraan umat Muslim sepanjang sejarah, mulai dari pembangunan masjid pertama di Madinah hingga pengembangan lembaga pendidikan Islam terkemuka.
Dalam perkembangannya, wakaf tidak hanya dipahami sebagai bentuk ibadah semata, tetapi juga sebagai mekanisme distribusi kekayaan yang efektif untuk menciptakan keadilan sosial. Para ulama klasik dan kontemporer telah memberikan perhatian khusus dalam merumuskan definisi dan konsep wakaf yang komprehensif, mengingat perannya yang vital dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Di tengah kompleksitas sistem ekonomi modern, pemahaman mendalam tentang konsep wakaf menjadi semakin penting. Para ulama terkemuka seperti Syaikh Muhammad bin Muhammad Syaukani, Syaikh Muhammad Syarbini al-Khathibi, Syaikh Ibn Qasim al-Ghazi, dan Syaikh Jaenudin al-Malebari telah memberikan kontribusi besar dalam memformulasikan definisi wakaf yang mencakup berbagai aspek penting dari institusi wakaf ini.
Baca juga:
Kolom Pakar: Deep Leaning, Konstruksi Metode dan Tujuan Pendidikan IslamA.Konsep WakafMenurut Syaikh Muhammad bin Muhammad Syaukani, wakaf berarti menahan milik di jalan Allah, untuk orang-orang fakir dan Ibnu Sabil supaya dapat dimanfaatkan. (Muhammad bin Muhammad Syaukani, 1979, Juz VI: 127). Menurut Syaikh Muhammad Syarbini al-Khathibi, wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan (Muhammad Syarbini al-Khathibi, 1933, Juz II: 376) Adapun Syaikh Ibn Qasim al-Ghazi berkata, wakaf adalah menahan harta yang ditentukan dan dapat dipindahkan serta dapat diambil manfaatnya dalam keadaan tetap barangnya, dan harta yang dapat dikelola pada pengaturan harta dari segi kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah (Ibn Qasim al-Ghazi, t.t. juz II: 42). Demikian pula dengan pendapat Syaikh Jaenudin al-Malebari, wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan untuk diserahkan kepada orang yang menerimanya (Ali As'ad, 1979, juz II: 344) dengan mengelolanya demi kepentingan umat Islam dan untuk mendekatkan diri kepada Allah (Taqiyyudin Abi Bakrin Bin Muhammad Husaini, t.t. juz I: 319).
Dasar hukum perwakafan adalah al-Qur'an Surat ali Imran, 3: 92; Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Baca juga:
Kolom Pakar: Filsafat Nietzsche 'KEMATIAN TUHAN'Pakar hukum Islam dari berbagai madzhab mengambil ayat ini sebagai landasan hukum waqaf. Hal ini karena secara historis, setelah turun ayat ini banyak sahabat Nabi SAW. yang terdorong untuk melakukan amal waqaf. Para ahli hadits seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Ahmad, Ibnu Majah Turmudzi dan Nasa'i (al-Immah Sittah) meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu thalhah adalah seorang Sahabat Nabi yang kaya di Madinah dan memiliki banyak kebun kurma. Di antara kebun kurma yang banyak tersebut ada kebun kurma yang paling disenanginya. Yaitu kebun kurma "Bairuha" yang beralokasi di depan masjid Nabawi. Nabi sendiri sering keluar masuk kebun tersebut sekedar untuk meminum air. Setelah turun ayat ini Abu Thalhah langsung tergerak hatinya dan segera menghadap Nabi untuk menyerahkan kebun kurma tersebut sebagai amal waqaf (Ash-Shan'ani, t.t., Juz: 87) juga Umar bin Khathab mengikuti untuk menyerahkan sebidang tanah di Khaibar yang diakui sebagai satu-satunya milik yang paling disenangi kepada nabi sebagai amal waqaf. Juga, Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Umar menyerahkan hartanya yang paling disenangi untuk amal yang sama.
Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa bersabda: إذا مات الانسان انقطع عمله إلا من ثلاثة أشياء : صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له (روه الجماعة إلا البخارى وابن ماجه). Apabila anak Adam telah meninggal maka terputuslah seluruh amalnya, kecuai tiga perkara, yaitu: Shadaqah jariyyah, ilmu yang dimanfa'atkan dan anak sholeh yang mendo'akan, (H.R. Jama'ah kecuali Bukhari dan Ibn Majah).
Para ulama mengartikan "shadaqah jariyyah" dalam hadits tersebut adalah waqaf. Shadaqah jariyyah secara artinya amal sedekah yang mengalir pahalanya sedangkan waqaf artinya menahan harta. Maka amal wakaf tersebut dalam hadits sebagai amal yang tidak akan putus pahalanya.
Baca juga:
Kolom Pakar: Kritik Ideologi Madzhab Frankfrut Jurgen HabermasAbu Hurairoh meriwayatkan hadits tentang adanya amal wakaf yang meliputi macam-macam obyek, yaitu sabda Nabi sebagai berikut: إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته : علما نشره, وولدا صالحا تركه, و مصحفا ورثه, او مسجدا بناه, أو بيتا لابن السبيل بناه, أو نهرا أجراه, أوصدقة أخرجها من ماله فى صحته و حياته, تلحقه من بعد موته ( رواه إبن ماجه). Diantara amal dan kebaikan seorang mukmin yang diterima sesudah matinya ialah: Ilmu yang dikembangkan, anak shaleh yang ditinggalkan, mushhaf Al-Qur'an yang diwaritskan, atau masjid yang dibangunkan, atau rumah singgah bagi musaffir yang didirikan, atau sungai yang di alirkan, atau sedekah yang dikeluarkan daaari hartanyapada waktu sehatnya dan waktu hidupnya, maka akan diterima pahalanya sesudah matinya" (H.R. Ibnu Majah).
B. Macam WakafWakaf pada umumnya dibagi dua, yakni: 1. Wakaf Ahli adalah wakaf yang diberikan kepada perorangan. Misalnya diberikan kepada ahli waritsnya atau orang yang tertentu mengikuti kehendak wakif. Misalnya seorang santri mewakafkan tanah kepada seorang kiai (gurunya). Namun dikemudian, tak satupun putra-putra gurunya menjadi kiai, harta wakaf kemudian mejadi harta turun temurun (Abdurrahman, 1994: 60). 2. Wakaf Khairi yaitu wakaf yang sejak diikrarkannya diperuntukkan bagi kepentingan umum. Misalnya wakaf tanah untuk membangun mesjid juga mewakafkan sebidang perkebunan dan hasilnya untuk pembiyayaan pendidikan Islam.
C. Rukun dan Syarat PerwakafanRukun-rukun wakaf adalah sebagai berikut: 1. Adanya wakif atau orang yang berwakaf; 2. Adanya harta yang diwakafkan (mauquf); 3. Adanya tujuan yang diniyatkan (maukuf 'alaih); 4. Adanya akad wakaf (shighat). (Ahmad Azhar Basyir, 1987:9).
Syarat-syarat perwakafan berkaitan dengan hal-hal di bawah ini:
Wakif dengan syarat-syarat sebagai berikut: a. Ahliyah al-Tabaru' (mempunyai wewenang untuk memberi), yang dimaksud dengan ahli tabaru' adalah seseorang yang memenuhi syarat sebagai berikut: (Muhammad Mushthafa Syalaby, 1957:48-50) b. Merdeka (bukan budak), karena bagi budak, segala sesuatu yang ada pada dirinya merupakan milik tuannya. c. Sempurna akalnya. Oleh sebab itu wakaf yang dilakukan oleh orang gila, kesurupan, atau mabuk tidak sah. Demikia pula dengan wakafnya orang idiot (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII:176). d. Baligh yang apabila dibatasi umur adalah mencapai 15 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sedangkan Qanun Mesir, batasnya adalah umur 21 tahun dan menurut Qanun Suriah adalah batasnya adalah umur 18 tahun. Dengan demikian wakaf yang dilakukan oleh anak-anak, baik sudah tamyiz maupun belum tidak sah. Karena baligh adalah merupakan indikasi dari sempurna akal (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII:176-177). e. Bijaksana dalam bertindak. Denga wakaf yang dilakukan oleh orang yang dibawah pengampuan, seperti karena pailit, boros dan yang pelupa tidak shah, meskipun diwakili oleh walinya. Tetapi menurut ulama Hanafiyah, wakafnya orang pailit dan banyak hutang adalah sah, namun eksekusi wakafnya tidak bisa dilaksanakan kecuali setelah ada izin dari orang yang mempunyai piutang terhadapnya, hal tersebut karena tidak ada dibawah pengampuan bukan merupakan syarat sahnya wakaf, melainkan hanya syarat berlakunya eksekusi terhadap wakaf tersebut (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII:177).
Baca juga:
Kolom Pakar: Paradigma Tentang Subyek dan Obyek Hukum Dalam Metodologi Hukum IslamWakaf dari orang yang mempuyai utang, terdapat penjelasan sebagai berikut: a. Apabila jumlah utangnya kurang dari jumlah keseluruhan hartanya miliknya, maka wakaf tersebut sah dan dapat dilaksanakan, baik wakafnya dilaksanakan pada waktu sehat maupun dilakukan pada waktu sakit parah. b. Apabila jumlah utangnya lebih besar daripada jumlah harta miliknya sehingga mengakibatkan dirinya dicekal, maka wakafnya sah namun pelaksanaannya menunggu izin dari pemilik piutang. Wakaf bisa menjadi gagal apabila pemilik piutang tidak mengizinkan serta menuntut pembatalan wakaf tersebut. c. Apabila jumlah utangnya lebih besar daripada jumlah harta miliknya, kemudian mewakafkan hartanya ketika dalam keadaan sakit parah, sebelum terjadinya proses pencekalan, maka pelaksanaan wakafnya menunggu izin dari pemilik piutang. Namun apabila wakfnya dilaksanakan pada waktu sehat, maka pelaksan wakafnya tidak perlu menunggu izin dari pemilik piutang. Demikian menurut pendapat mayorits ulama, kecuali madzhab Malikiyah. Menurut mereka wakaf tersebut adalah batal, karena melunasi hutang harus didahulukan dari pada wakaf (Muhammad Mushthafa Syalaby, 1957:51-52).
Bukan orang murtad. Syarat tersebut ditetapkan oleh ulama Hanafiyah. Tetapi apabila dikemudian hari orang tersebut masuk Islam kembali, maka sah wakafnya. Lain halnya apabila orang Islam mewakafkan barangnya kemudian murtad, maka wakaf tersebut batal, meskipun dikemudian hari masuk Islam kembali, kecuali apabila wakafnya diulangi kembali (tajdid) (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII: 178).
Malik (pemilik barang yang akan diwakafkan) secara shah dan sempurna. Dengan demikian maka wakaf atas barang/harta yang bukan milik waqif adalah tidak shah. Seperti orang yang ghashab (ghashib) meewakafkan barang hasil ghashab, atau pembeli yang mewakafkan barang hasil dari transaksi jual-beli yang fasid (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII:176).
Apabila seorang pemimpin mewakafkan tanah dari bait al-Maal, yang biasa disebut dengan istilah irsyad (menyisihkan) maka menurut al-subki (al-Syafi'iyyah) wakaf tersebut adalah tidak shah. Tetapi Ibn 'Ishrun memperbolehkannya ketika Khalifah Nur al-Dien (beliau adalah Khalifah pertama yang mewakafkan tanah Bait al-Maal) meminta fatwa kepadanya mengenai wakaf tanah dari Bait al-Maal untuk sekolah. Demikian pula menurut Imam Al-Nawawi. Meskipun wakafnya kepada anak-anaknya (keturunannya).
Keinginan sendiri. Dengan demikian menurut Syafi'iyyah, Malikiyyah serta Hanabilah, orang dibawah paksaan/tekanan tidak shah wakafnya (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII:178).
Baca juga:
Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Cita HukumApabila Jihat wakafnya "kebaikan dalam definisi syari'at Islam", seperti untuk mesjid, pengadaan al-Qur'an, bantuan untuk hujaj, maka menurut Hanafiyyah dan Malikyyah pewakafnya harus Islam, sedangkan menurut Syafi'iyyaah dan hanabilah tidak disyaratkan harus Islam.
3. Mauquf Bih (barang yang diwakafkan)
Syarat-Syarat yang harus dipenuhi oleh maquf bih adalah sebagai berikut: a. Harta yang mempunyai nilai manfa'at yang. Dengan demikian tidak sah mewakafkan setiap barang yang tidak bernilai, tidak memiliki manfa'at, bahkan mengandung kemadharatan, karena yang diharapkan dari adanya proses wakaf adalah munculnya manfa'at dari barang yang wakafan serta timbulnya pahala bagi yang mewakafkan (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII: 184).
b. Barang/harta tersebut harus diketahui secara pasti ketika terjadinya proses wakaf, sehingga tidak dimungkinkan timbulnya perselisihan mengenai barang/harta wakaf dikemudian hari. Seperti perkataan waqif: "Saya wakafkan sebagian tanah wakaf saya bagi fakir miskin". Wakaf tersebut dianggap tidak sah, karena jumlah/ukuran tanah wakafnya tidak diketahui secara pasti.
c. Barang/harta tersebut adalah milik sempurna si Wakif. Dengan demikian menurut mayoritas Ulama raahin (yang menggadaikan barang) tidak shah mewakafkan barang gadaian (Ibn Qudamah al-Muqaddasah, 1408, II 449). Kecuali menurut Hanafiyyah, mereka memperbolehkannya karena tidak disyaratkan barang yang hendak diwakafkan harus lepas dari keterikatan orang lain. Adapun bagi penyewa (mustajir) dan peminjam (musta'ir), Hanafiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah tidak memperbolehkannya mewakafkan barang sewaan atau pinjaman (barang yang dimilikinya hanya manfaatnya saja, sedangkan dzatiyahnya barang milik orang lain), kecuali menurut Malikiyah, karena mereka mensyaratkan tahan lama (ta'bid) terhadap barang wakaf.
d. Barang ghashab tidak shah untuk diwakafkan, lain halnya apabila seseorang mewakafkan tanaman yang ditanam di atas tanh hasil ghashab, maka wakaf tersebut shah, kecuali menurut al-Subky dan Ibn Rif'ah. Demikian pula mewakafkan tanaman yang ditanam di atas tanah hasil ghashab.
Baca juga:
Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Teori Maslahate. Barang/harta tersebut adalah milik pribadi yang tidak bercampur dengan milik orang lain, baik memungkinkan untuk dibagi, dan kepada si waqif diharuskan memaksa untuk membaginya. Adapun yang menjadi alasan adalah ketika barang tersebut masih bercampur kepemilikannya, maka tidak memungkinkan untuk adanya proses penyerahan dan penerimaan yang merupakan syarat sahnya perwakafan. Serta dengan adanya unsur milik orang lain di dalam harta wakaf, hal tersebut akan menjadi motif timbulnya perselisihan dikemudian hari. Kecuali menurut Syafi'iyah, Hanabilah dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah dan Zhahiriyah. Mereka menganggap shah terhadap wakaf barang musya', berdasarkan riwayat dari al Syafi'i dari Sufyan dari Abdullah bin 'Umar bin Hafsin dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar yang menyatakan bahwa 'Umar bin Khathab ra. mewakafkan seratus sahamnya di Khaibar (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII: 185-186).
f. Barang tersebut harus dapat diambil manfaatnya secara lama tanpa merusak dzatiyah barang. Dengan demikian tidak shah mewakafkan makanan, minuman, atau minyak wangi. Kecuali menurut Malikiyah.
g. Barang tersebut harus berupa barang tak bergerak, seperti tanah. Dengan demikian tidak shah mewakafkan kendaraan, alat-alat pekerjaan, buku, dll. Hanafiyahlah yang menetapkan syarat tersebut, dengan alasan bahwa barang wakaf haruslah abadi. Kecuali apabila diikutkan terhadap barang tidak bergerak, seperti mewakafkan ladang beserta sapi berikut alat-alat bajaknya. sedangkan mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah), termausuk Zhahiriyah memperbolehkan mewakafkan barang bergerak, seprti kendaraan, pedang atau baju besi (anti peluru).
Barang yang hendak diwakafkan bukan merupakan barang yang dilarang memilikinya, seperti barang hasil curian atau barang haram misalnya babi, bangkai dan berhala tuhannya orang-orang musyrik (Wahbah Zuhaili, 1409:VIII:188).
4. Maukuf 'Alaih (orang atau badan yang menerima wakaf)
Mauquf 'alaih terdiri dari dua bagian, yaitu jihat wakaf yang ditentukan dan jihat waqaf yang tidak ditentukan (ghair mu'ayyan) seperti ulama, mujahid, fakir-miskin, mesjid mesjid. Pada dasarnya syarat pokok dari wakaf adalah hanya untuk sarana dan prasarana kebaikan. Namun secara spesifik, masing-masing madzhab, menetapkan syarat-syarat tersendiri. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati oleh seluruh ulama madzhab bagi mauquf 'alaih atau jihat waqaf yang ditentukan (mua'yyan) adalah mauquf'alaih harus merupakan badan/orang yang diakui kepemilikannya.
Seluruh ulama madzhab menyepakati bahwa shighat yang menjadi rukun waqaf hanyalah Ijab saja, adapun Qabul bukanlah bagian dari rukun (Muhammad Mushthafa Syalabi, 1957: 67), Kecuali dalam waqaf kepada orang/badan yang ditentukan, maka Malikiyyah, Syafi'iyyah dan sebagian Hanabilah mensyaratkan harus adanya Qabul dari pihak mauquf'alaih (Abu Hamid al-Ghazaly, 1417, Juz IV: 245). Namun menurut penuturan an-Nawawi dalam ar-Raudhah serta Syarh al-Wasith, tidak disyaratkan Qobul meskipun mauquf 'alaihnya tertentu (Al-Sayyid al-Bakr, 1414, Juz III: 196).
Baca juga:
Kolom Ekonomi Syariah: Trust di Dunia IslamYang dimaksud dengan ijab ialah ucapan waqif yang menunjukan kehendak atau keinginannya atas mewaqafkan sesuatu. Adapun syarat sahnya shigat waqaf adalah:
a. harus tanjiez (dapat dilaksanakan seketika, dengan kata lain tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang belum ada/terjadi pada waktu proses waqaf (Muhammad Mushthafa Syalabi, 1957:67)
b. Tidak boleh disertai dengan syarat yang bathil. Seperti waqafan tersebut dikemudian hari akan dijual atau ditarik kembali (Muhammad Mushthafa Syalabi, 1957:69)
c. Tidak boleh dibatasi dengan waktu (ta'qiet). Kecuali menurut Malikiyyah, karena menurut mereka, waqaf tidak disyaratkan harus abadi (Muhammad Mushthafa Syalabi, 1957: 70). Waqaf yang dibatasi dengan waktu, menurut al-Ghazali, aabila dalam waqafnya terdapat unsur "tahrir", seperti tanah yang dijadikan mesjid, maka syarat (batasan waktu) tersebut batal. Sementara waqafnya adalah shah. Lain halnya apabila tidak terdapat unsur "tahrier" seperti waqaf tanah untuk seseorang, maka syarat berikut waqafnya adalah batal (Abu Hamid al-Ghazali, 1417, Juz IV:247).
d. Menyebutkan arah penyaluran (Mashrof) atau mauquf 'alai-nya secara jelas. Adapun yang menetapkan syarat tersebut adalah hanya Syafi'iyah (Abu Hamid al-Ghazali, 1417, Juz IV: 250).
C. KesimpulanWakap merupakan amal jariyah yang pahalanya mengalir hingga akhir zaman, orang yang meninggal dunia yang semasa hidupnya berwakap dengan harta bergerak, dengan harta tidak bergerak, dengan ujang, dan harta jenis lainnya, maka amal jariyah ini pahalanya akan abadi apabila dilakukan oleh orang yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir. Wakap merupakan bentuk kebaikan seseorang atau kelompok maupun organisasi dengan cara memindahkan kepemilikannya dari segi dzat dan sifat harta tersebut untuk dikelola dan dipelihara demi kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan tujuan syariat Islam. Oleh karena itu, demi keabsahannya harta yang diwakafkan harus disaksikan pada saat akad ijab kabulnya oleh pihak yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku (nadhir) dengan dibuktikan keabsahannya melalui sertifikat harta wakaf.(*)
(lam)