Dr. Beni Ahmad Saebani,M.Si
Dosen Sosiologi dan Antropologi Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
LANGIT7.ID-Kajian tentang kearifan lokal tidak terpisahkan dari konsep budaya lokal, local culture atau local wisdom, yang secara hierarki diawali dari konsep superculture, kebudayaan berlaku untuk seluruh masyarakat, sedangkan culture, budaya berdasarkan golongan etnik, profesi, wilayah atau daerah. Ada juga konsep Subculture, yaitu kebudayaan khusus dalam sebuah culture, dan counter-culture yang tingkatannya sama dengan sub-culture, yaitu turunan dari culture, tetapi counter-culture ini bertentangan dengan kebudayaan induknya, misalnya budaya liberalistik, individualistik, dan materialistik.
Secara hierarki stuktural dan stratifikasinya, local culture merupakan budaya pada tingat culture. Dalam konteks multi kulturalistik dan kemajemukan sosial di Indonesia Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia, Jacobus Ranjabar, mengatakan terdapat tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya tersendiri, yaitu: (1) Kebudayaan suku bangsa (kebudayaan daerah) ; (2) Kebudayaan umum lokal; dan (3) Kebudayaan nasional. (Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Ghalia, Bogor, 2006:150)
Baca juga:
Kolom Pakar: Deep Learning, Konstruksi Metode dan Tujuan Pendidikan IslamYudistira K. Garna mengatakan bahwa budaya lokal adalah budaya suku bangsa, yakni golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas 'kesatuan kebudayaan' dengan bahasa sebagai khas sosial budayanya. Yudistira berpandangan bahwa kebudayaan lokal melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional menjadi bagian yang hakiki dalam terbentuknya kebudayaan nasional. Dengan demikian, kebudayaan nasional memberikan peluang terhadap budaya lokal untuk mengisinya. (Judistira K. Garna, Budaya Sunda : Melintasi Waktu Menantang Masa Depan. (Bandung : Unpad, 2008:141)
Terminologi antara budaya nasional dan budaya lokal atau budaya daerah, bermaksud untuk memilah budaya nasional dan budaya lokal baik dalam konteks ruang, waktu maupun masyarakat penganutnya. Jadi, kebudayaan daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan pernyataan rasa keindahan melalui kesenian. Tetapi termasuk segala bentuk, dan cara-cara berperilaku, bertindak, serta pola pikiran masyarakatnya. (Yudistira : 2008:113)
KONSEPSI ADAT DAN KEARIFAN LOKALBaca juga:
Kolom Pakar: Filsafat Nietzsche 'KEMATIAN TUHAN'Konsep kearifan lokal sering disinggung oleh para peneliti dan penulis disertasi, akan tetapi pemaknaannya dikaburkan oleh konsep yang berlaku dalam metodologi hukum Islam, yakni al-'urf dan al-'adat, meskipun keduanya memiliki terminologi dan ruang lingkup yang berbeda. Adat adalah kebiasaan masyarakat yang belum tentu rasional untuk dipertahankan dan dipelihara, dikarenakan tidak semua adat merupakan norma sosial terlebih lagi dapat menjadi hukum yang dipositivikasikan. Sedangkan al-'urf berarti sesuatu yang sudah dikenal, dalam pengertian sebagai perilaku sosial yang sudah dimaklum dikarenakan semua anggota masyarakat pada suku tertentu telah mengetahuinya dan merasakan kemaslahatannya untuk kehidupan bermasyarakat.
Kearifan lokal yang utama adalah kearifan terhadap lingkungan, yakni perlakuan manusia terhadap alam sebagai sumber kehidupan. Kearifan lokal menggambarkan cara bersikap dan bertindak masyarakat untuk merespon perubahan yang khas dalam lingkungan dan budayanya. Fungsi kearifan lokal adalah untuk membangkitkan nilai-nilai daerah demi kepentingan pembangunan yang berpijak pada realitas empiris. (Nurma Ali Ridwan, Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, P3M, Jurnal Ibda' Volume 5 Nomor 5, STAIN Purwokerto, 2007 : 27)
Kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Dengan demikian, arti wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Maka, wisdom diartikan sebagai kearifan atau kebijaksanaan.
Baca juga:
Kolom Pakar: Kritik Ideologi Madzhab Frankfrut Jurgen HabermasAdapun Local secara spesifik merupakan ruang interaksi yang terbatas dengan sistem nilai tertentu yang sudah didesain dengan melibatkan pola hubungan antarmanusia dan manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi dalam lokal wisdom sudah di-settting sebagai ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk yang akan memproduksi nilai-nilai yang menjadi kaidah sosial dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit dengan proses periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. (E. Tiezzi, N. Marchettini, M. Rossini, Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp)
Dengan pemahaman tersebut, maka bukan kearifan lokal apabila secara tiba-tiba ada, tanpa evolusi dan proses yang panjang. Khas dari kearifan lokal adalah proses evolusifnya sebagai sumber energi yang potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Dengan demikian, kearifan lokal itu dinamika sosial dan budaya yang membentuk peradaban masyarakat sehingga nilai-nilainya diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman bertingkah-laku sehari-hari. Kearifan lokal merupakan entitas yang amat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Teezzi, Marchettini dan Rosini mengatakan bahwa ujung atau pengendapan dari kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat di Nusantara, kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Proses pengendapan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan, kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif.
Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut. Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran berdasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Kearifan lokal adalah gambaran sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli. (K. Setiono, Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia", Jurnal Ilmiah Psikologi: Kognisi UMS, Vol. 6, Nomor 2 Nopember 2002:87)
Baca juga:
Kolom Pakar: Paradigma Tentang Subyek dan Obyek Hukum Dalam Metodologi Hukum IslamANALISIS TEORI KEARIFAN LOKALUntuk memahami teori kearifan lokal diperlukan pemahaman dasar mengenai proses kejiwaan yang membangun dan memertahankannya. Proses itu meliputi pemilihan perhatian (selective attention), penilaian (appraisal), pembentukan dan kategorisasi konsep (concept formation and categorization), atribusi-atribusi (attributions), emotion, dan memory.
Selective Attention terkait dengan proses pembentukan kearifan lokal, maka proses pemilihan perhatian menyediakan mekanisme kejiwaan untuk membatasi informasi yang diterima dan diproses. Timbulnya kearifan lokal dapat dilihat secara literasi dan interaksi sosial secara vertikal dan herizontal. Pola pembentukkan perilaku masyarakat ada yang struktural dan bagian dari proses seleksi perilaku dengan memertimbangkan manfaatnya.
Baca juga:
Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Cita HukumAppraisal, merupakan penilaian tentang respon sosial yang dimulai dari individunya dengan pertimbangan emosional. Dalam proses appraisal ini terdapat respon kejiwaan sehingga hanya kepatuhan dan kebersamaan yang akan timbul. Adapun Concept Formation and Categorization, setiap orang menghadapi stimulus yang banyak dan tidak mungkin diikuti semuanya. Semua orang, benda-benda, tempat-tempat, kejadian-kejadian, dan aktivitas yang dialami tidak mungkin dapat diterima dan disajikan oleh pikiran kita dalam sebuah unit informasi yang bebas. Oleh karena itu, melalui mekanisme kejiwaan dibuat gambaran mental yang digunakan untuk menjelaskan benda-benda, tempat-tempat, kejidian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami yang kemudian disebut konsep. Melalui konsep-konsep seseorang dapat mengevaluasi ragam informasi, membuat keputusan, dan bertindak berdasarkan konsep tersebut. (K. Setiona, 2002:87)
Adapun Attributions adalah satu karakteristik umum dari manusia, yakni perasaan butuh untuk menerangkan sebab-sebab peristiwa dan perilaku yang terjadi. Attributions yang menjadi satu karakter diri yang menggambarkan proses mental untuk menghubungkan (membuat pertalaian) antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau satu perilaku dengan perilaku atau peristiwa lainnya. Attribution ini membantu menyesuaikan informasi baru mengenai dunianya dan membantu mengatasi ketidaksesuaian antara cara baru dengan cara lama dalam memahami sesuatu. (K. Setiona, 2002:88)
Baca juga:
Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Teori MaslahatDalam konsepsi hukum Islam, kearifan lokal baru disebut ada apabila perilaku sosial tersebut rasional dan tidak menimbulkan kemadaratan. Oleh karena itu terdapat kaidah fiqhiyah yang menyatakan al-'adah Muhakkamah, artinya adat dapat dijadikan hukum (ketentuan yang dijadikan dalil untuk bertindak). Akan tetapi, secara filosofis dalam teori receptio a contrario, hukum adat berlaku apabila tidak bertentangan dengan syariat, dengan nash al-Quran dan al-Hadits, atau dengan dalil yang qath'i (pasti, jelas), atau disebut adat shahihah. Dan, apabila suatu kearifan lokal yang terdapat di masyarakat tidak ditemukan nash atau dalil yang memerintah atau melarangnya, akan tetapi perilaku kearifan lokal atau adat ini menimbulkan kemaslahatan maka boleh dilaksanakan dengan alasan metodologis al-mashlahah al-mursalah.(*)
(lam)