Dr. Beni Ahmad Saebani M.Si
Dosen Sosiologi Huk Islam, FSH UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung
LANGIT7.ID-Pranata perkawinan dapat dijumpai dalam masyarakat dengan sifat dan karakteristik yang beragam. Pada masyarakat industri modern, perkawinan membentuk sistem keluarga yang berperan sekunder dibandingkan dengan sistem ekonomi dan kebijakan dalam mengorganisasikan dan mengintergrasikan masyarakat. Banyak hubungan sosial pada masyarakat industri yang terletak di luar kerangka kehidupan keluarga. Berbeda dengan pada masyarakat praindustri, secara khusus dalam masyarakat perdesaan yang masih tradisional, keluarga mempunyai arti menonjol sebagai cara mengorganisasikan lingkungan kegiatan sosial yang signifikan. Dalam masyarakat tradisional, kegiatan yang bersifat ekonomi, politik, agama, dan kebudayaan dilakukan dalam konteks kelompok kekerabatan.
Perkawinan yang dilakukan oleh seseorang seharusnya berpatokan dengan landasan hukum yang benar, baik hukum agama maupun hukum negara. Perkawinan dengan hukum agama harus dilengkapi legalitasnya oleh hukum negara, oleh karena itulah keabsahan perkawinan menurut hukum agama memerlukan alat bukti tertulis berupa surat pencatatan nikah atau akta nikah. Akan tetapi, banyak di kalangan calon pasangan suami dan isteri yang hanya melaksanakan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing, yang juga disebut sebagai nikah di bawah tangan, nikah sirri, dan nikah tanpa catatan perkawinan.
Perkawinan di bawah tangan secara yuridis normatif dan administrasi hukumnya akan merugikan salah satu pihak, terutama pihak isteri, dikarenakan dengan tidak memiliki akta nikah maka negara tidak menganggapnya sebagai telah terjadi perkawinan, kesulitan memperoleh harta bersama apabila terjadi perceraian, dan sulit mendapat harta peninggalan suami ketika pihak suami meninggal dunia apabila tidak dapat dilakukan secara kekeluargaan, bahkan apabila terjadi perkara sengketa di Pengadilan.
Baca juga:
Kolom Pakar: Konsep Negara Hukum Dalam Perspektif Politik IslamAsas PerkawinanPerkawinan di Indonesia berprinsip pada asas monogami, yaitu perkawinan satu pria dengan satu wanita. Monogami merupakan bentuk perkawinan yang umum ditemukan pada masyarakat industri. Namun, terdapat perbedaan prinsipil dalam asas monogami, bahwa di Indonesia khususnya, hukum perdata dilahirkan di dunia Barat yang sebagian besar penduduknya menganut agama Kristen. Dalam hal perkawinan, agama Kristen berpegang pada prinsip bahwa seorang laki-laki hanya dapat kawin dengan seorang perempuan dan seorang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki. Asas monogami mendapat penegasan tentang terlarangnya poligami atau poliandri, sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 BW yang berbunyi: "Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami". Sebagai penegasan pasal tersebut, pelanggaran terhadap prinsip itu tidak hanya menimbulkan batalnya perkawinan, juga diancam hukuman menurut pasal 279 KUHP.
Dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 Bab I Pasal 3-5 yang menguatkan asas monogami dalam perkawinan, justru memberikan nuansa perbedaan dengan asas monogami bagi warga negara yang mengacu kepada KUHP (BW) yang dipegang oleh penganut Kristiani sebagaimana dalam pasal 27 tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 Pasal 3 ayat (1) dikatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami; (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memberi peluang kepada suami untuk poligini, yang dapat dipahami sebagai bentuk ketidaktegasan membuat asas itu sendiri, sehingga tidak dapat secara mutlak dikatakan sebagai asas, melainkan hanya visi dalam perkawinan yang dapat berubah karena berubahnya situasi dan kondisi, sebagaimana "dibolehkannya suami poligini" karena alasan-alasan sebagaimana dalam pasal 4 undang-undang yang dimaksudkan.
Pergeseran pandangan tentang perempuan yang lemah, yang wajib tinggal di rumah, yang hanya mengurusi urusan rumah tangga, dan yang "sering" dianggap irasional, justru sebaliknya. Kepahlawanan kaum perempuan menggeser pandangan tradisional. Di tengan kehidupan industrialis yang mengglobal, perempuan mampu menciptakan pandangan baru tentang jati dirinya, sehingga gerakan yang meningkatkan status perempuan di mata masyarakat dapat mengubah dan menciptakan budaya baru. Dampak dari itu, eksistensinya didukung sepenuhnya oleh hukum sosial dan hukum yang legal dan formal.
Baca juga:
Kolom Pakar: Hindari Kekaburan Filosofi Kearifan LokalPerkawinan berkaitan langsung dengan hukum keluarga. Ketentuan-ketentuan dalam hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai hubungan keturunan yang sama. Sedangkan kekeluargaan antara seseorang dengan keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari isteri (suaminya). Hubungan keluarga ini sangat penting karena ada sangkut pautnya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian, dan pengampuan.
Demikian pula, perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan Kekerabatan. Perkawinan menghasilkan dan membentuk kekerabatan. Timbulnya hubungan anak-orangtua dan sanak-saudara merupakan akibat sebuah perkawinan. Perkawinan menciptakan hubungan sosial yang baru dan mewujudkan lingkungan masyarakat yang homogen, karena pertalian kekerabatan.
Kekerabatan begitu dominan dalam masyarakat tradisional. Sistem keluarga dan kekerabatan sebagian besar ditentukan oleh kondisi-kondisi kebendaan dalam kehidupan sosial. Berbagai perubahan dalam kondisi-kondisi kebendaaan yang melandasinya merupakan faktor perubahan yang sebanding dalam cara-cara perkawinan, kekerabatan, dan kehidupan keluarga.
Satu bagian yang amat penting di dalam hukum kekeluargaan adalah hukum perkawinan, yang kemudian dibagi dua, yaitu (1) hukum Perkawinan; dan (2) hukum kekayaan dalam perkawinan.
Baca juga:
Kolom Pakar: Deep Learning, Konstruksi Metode dan Tujuan Pendidikan IslamHukum Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perkawinan, sedangkan hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan isteri dalam perkawinan. Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri.
Perkawinan menciptakan hak dan kewajiban suami isteri. Untuk masyarakat yang beragama Islam, hak dan kewajiban tersebut diatur oleh hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Bab VI Pasal 30-34. Dalam Pasal 30 berbunyi: "Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendiri dasar dari susunan masyarakat.
Implikasi Hukum dari Ikatan PerkawinanImplikasi hukum ikatan perkawinan adalah timbulnya hak dan kewajiban suami-isteri menurut Undang-undang Nomor 1/1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hak isteri adalah kewajiban suami, sebaliknya hak suami merupakan kewajiban isteri.
Dalam Hukum Islam, kewajiban suami adalah memimpin keluarga, dengan demikian, isteri harus mengabdi kepada suami yang membimbingnya ke jalan kebajikan dan takwa. Menurut Sayyid Sabiq, jika akad nikah telah sah, maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku suami isteri. Hak dan kewajiban ini ada tiga macam, yaitu; (1) Hak isteri atas suami; (2) Hak suami atas isteri; dan (3) Hak bersama. Masing-masing suami isteri jika menjalankan kewajibannya dan memperhatikan tanggung jawabnya akan mewujudkan ketentraman dan ketenangan hati sehingga suami isteri mendapatkan kebahagiaan yang sempurna.
Hak isteri terhadap suaminya meliputi:
1. Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah;
2. Hak ruhaniah, seperti melakukannya dengan adil jika suaminya poligami dan tidak boleh membahayakan isteri.
Suami berkewajiban melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1. Memberi keperluan hidup keluarganya untuk kebutuhan ruhaniah dan jasmaniah;
2. Suami melindungi isteri dan anak-anaknya dari segala sesuatu yang dapat mengancam jiwa dan keselamatan, sebagaimana suami berkewajiban memberi tempat kediaman;
3. Suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan;
4. Suami berkewajiban menggauli isterinya dengan baik dan benar.
Isteri berkewajiban melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Melayani kebutuhan suaminya secara lahir maupun batinnya;
2. Menjaga nama baik dan kehormatan suami serta harta bendanya;
3. Mengabdi dengan taat kepada ajaran agama dan kepemimpinan suami sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban membiayai semua kebutuhan rumah tangganya memiliki hak untuk mengatur dengan baik terhadap masalah-masalah yang dialami oleh keluarganya dengan cara bermusyawarah.
Akibat lain yang timbul dari perkawinan adalah perwalian. Salah satunya adalah wali pernikahan. Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan menurut susunannya adalah:
1. Bapaknya
2. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya
9. Hakim
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Perwalian merupakan salah satu ciri kebudayaan yang dibentuk oleh manusia atas dasar keturunan dan nilai-nilai yang diyakini. Misalnya nilai-nilai yang berasal dari ajaran Islam. Dalam hukum Islam, yang berhak menjadi wali harus memiliki sifat-sifat berikut:
1. Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi
2. Balig (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
Ayah dan kakek diberi hak menikahkan anaknya yang perawan dengan tidak meminta izin dari anak terlebih dahulu, yaitu dengan orang yang dipandangnya baik. Kecuali anak yang bukan perawan lagi, tidak boleh dinikahkan kecuali atas seizinnya terlebih dahulu. Walı-wali yang lain tidak berhak menikahkan mempelai kecuali sesudah mendapat izin dari mempelai itu sendiri.
Para ulama yang membolehkan wali (ayah dan kakek) menikahkannya tanpa seizin berdasarkan kepada syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak
2. Hendaklah dinikahkan dengan orang yang setara
3. Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding)
4. Tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar
Implikasi yang lainnya adalah mengenai kewarisan harta peninggalan. Hukum kewarisan adalah aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam hukum Islam, waris disebut dengan istilah fara'idl, artinya bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya. Istilah lainnya adalah tirkah, yaitu sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta benda dan hak-hak kebendaan atau bukan hak kebendaan. Dengan demikian, setiap sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang mati, adalah tirkah, termasuk meninggalkan hutang.
Menurut Prodjodikoro ada tida unsur yang berkaitan dengan warisan, yaitu:
1. Seorang peninggal warisan (erflater), yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan;
2. Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam), yang berhak menerima kekayaan yang ditinggal itu;
3. Harta kekayaan atau harta warisan (nalatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli warisnya.
Unsur pertama mempersoalkan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan mayat yang meninggalkan harta warisan. Unsur kedua mempersoalkan, bagaimana dan sampai dimana harus ada ikatan kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris, agar kekayaan di peninggal warisan dapat beralih kepada ahli waris. Unsur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, pada saat si peninggal warisan dan si ahli waris berada bersama-sama.
Masalah kewarisan berhubungan dengan masalah sistem kekeluargaan yang dianut. Dalam konteks hukum waris di Indonesia atau hukum waris nasional, ada empat perbedaan mengenai praktik kewarisan, yaitu:
1. Bagi orang-orang Indonesia asli pada pokoknya berlaku Hukum Adat, yang setiap daerah berbeda-beda. Ada yang merujuk kepada sistem patrilineal, matrilineal atau parental;
2. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam di pelbagai daerah ada pengaruh yang nyata dari Peraturan Warisan dan Hukum agama Islam;
3. Bagi orang-orang Arab sekitarnya pada umumnya seluruh hukum warisan dari agama islam;
4. Bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum waris dari Burgerlijk Wetboek (Buku II title 12/18, pasal 830-1130).
Dengan demikian, di Indonesia berlaku tiga macam hukum waris, yaitu hukum adat, hukum waris Islam, dan hukum waris dari Burgerlijk Wetboek (BW).
Di Indonesia, sistem kekeluargaan yang akan ditetapkan dalam kewarisan adalah sistem parental atau ouderrechtelijk. Sistem ini akan menyatukan hukum waris dari hukum adat dan hukum Islam yang mengangkat prinsip persamaan hak antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan.
Baca juga:
Kolom Pakar: Filsafat Nietzsche 'KEMATIAN TUHAN'Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan waris dalam sistem kewarisan Islam adalah segala hal yang membahas mekanisme pembagian harta peninggalan mayat kepada ahli warisnya sesuai dengan petunjuk al-Qur'an dan al-Sunnah. Sedangkan tirkah atau harta peninggalan adalah segala bentuk harta benda, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang ditinggalkan oleh mayit, dan segala hal yang berkaitan dengan tanggung jawab mayyit yang dibebankan kepada ahli warisnya, seperti utang piutang dan wasiat.
Sistem kewarisan merupakan bagian dari sistem sosial normatif yang telah lama menjadi tradisi masyarakat. Hal-hal yang diwariskan bukan hanya harta kekayaan, termasuk tahta kerajaan, kepemimpinan, dan pengaruhnya kepada masyarakat. Hukum kewarisan yang berkaitan dengan kebendaan bagian dari kebudayaan manusia yang hingga saat ini dilaksanakan secara turun temurun. Terutama berkaitan dengan hak waris pihak perempuan.
Masalah kewarisan berkaitan dengan sistem perkawinan dan sistem kekeluargaan yang dianut oleh suatu bangsa. Ada tiga sistem kekeluargaan yang pada umumnya digunakan oleh masyarakat dalam kaitannya dengan faktor genetikanya masing-masing. Sistem kekeluargaan tersebut adalah:
1. Sistem Patrilineal, yaitu suatu sistem kekeluargaan yang ditarik dari garis bapak. Ini berlaku bagi keluarga yang mengikatkan keturunan kepada bapaknya, dan tidak berlaku jika dikaitkan kepada ibu. Misalnya penetapan wali nikah, maka yang berhak menjadi wali nikah adalah ayah kandung, ayah tiri, kakak atau adik dari ayah kandung, kakak kandung calon mempelai wanita. Perempuan tidak berhak menjadi wali nikah. Dalam penyebutan nama, mutlak harus diikat oleh nama ayah kandungnya, misalnya Dudung bin Muhammad atau Bunga binti Muhammad;
2. Sistem Matrilineal, adalah sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan langsung dari ibu. Keadaannya berbeda dengan sistem patrilineal;
3. Sistem Parental (bilateral), yang menarik ikatan keturunan dari dua garis, yakni dari bapak dan ibu.
Sistem patrilineal selalu menarik garis keturunan ke atas melalui jalur bapak, sedangkan sistem matrilineal menarik garis keturunannya ke atas melalui jalur ibu. Dan sistem bilateral menarik keturunannya ke atas melalui bapak dan ibu. Sistem patrilineal dan sistem matrilineal secara antropologis akan melahirkan suku-suku dan berbagai clan dalam suatu masyarakat, sebagaimana terjadi di masyarakar jazirah Arab yang manarik keturunannya dari bapak. Sedangkan sistem bilateral tidak melahirkan clan, jika pun ada yang disebut dengan suku, tetapi bukan merupakan clan, seperti suku Jawa dan suku Sunda.
Baca juga:
Kolom Pakar: Kritik Ideologi Madzhab Frankfrut Jurgen HabermasKarena masyarakat Arab menganut sistem patrilineal, maka sistem warisnya akan menguntungkan kaum laki-laki, sedangkan kaum wanita tidak mempunyai hak waris. Setelah Islam datang, dan menyatakan bahwa laki-laki dan wanita memiliki hak yang sama maka sistem kewarisan didasarkan kepada prinsip bilateral. Azas kewarisan Islam adalah "azas bilateral" yang bertitik tolak dari prinsip keadilan dan persamaan (al-'adalah wa al-musawwah).
Dalam hukum waris nasional Indonesia, terdapat beberapa pilihan yang dapat dijadikan landasan pembagian harta waris oleh masyarakat di Indonesia, yaitu:
1. Menggunakan hukum adat yang pada umumnya bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berpikir yang kongkrit yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu.
2. Menggunakan hukum waris Islam, yang cara pembagiannya secara murni mengacu kepada doktrin ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah serta Ijma ulama;
3. Menggunakan Burgerlijk Wetboek (BW). Dalam BW terdapat empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta warisan, yakni golongan kesatu sebagai golongan terkuat, yang akan menutup hak golongan kedua hingga keempat. Jika golongan kesatu tidak ada, maka hak waris berpindah kepada golongan kedua, demikian seterusnya.
Perkembangan dan pelaksanaan hukum kewarisan Islam dengan hukum waris nasional merupakan bagian dari proses asimilasi dan adapatasi kebudayaan masyarakat Islam dengan tatanan kehidupan bernegara. Oleh karena itu, terdapat beberapa hubungan di antara keduanya, yaitu:
1. Hubungan Kausalitas
Yang dimaksud dengan hubungan kausalitas adalah hubungan sebab akibat adanya saling waris mewarisi. Yang pertama adalah karena adanya hubungan perkawinan. Karena perkawinan merupakan penyebab utama adanya hak saling mewarisi. Tanpa perkawinan tidak akan ada suami atau isteri dan anak-anak, sedangkan ahli waris yang paling berhak menerima harta peninggalan mayit adalah isteri dan anak-anak. Oleh karena itu masalah kewarisan secara mutlak berkaitan dengan perkawinan. Di samping itu akan dipertanyakan tentang genetika anak dan isteri. Apakah anak sekandung, anak seibu tidak sebapak, ayah sebapak tetapi bukan seibu, dan seterusnya. Bahkan termasuk kedudukan ibu tiri.
2. Kewarisan Disebabkan Adanya Hubungan Genetik
Hubungan genetik sebagaimana disinggung di atas, keberadaannya disebabkan oleh adanya perkawinan, sehingga kesatuan dan pertalian darah menentukan keberadaan waris mewarisi. Jika mayit tidak meninggalkan ahli waris, maka harta peninggalannya diberikan kepada baitul mal.
3. Hubungan Yuridis
Hukum Islam dan hukum waris nasional telah menjadi undang-undang yang berlaku positif, artinya bagi umat Islam yang hendak melakukan pembagian waris hendaknya menggunakan hukum waris Islam sebagaimana telah diatur oleh Kompilasi Hukum Islam. Semua hukum waris yang dapat digunakan sebagai acuan hukum memiliki hubungan yang erat secara yuridis karena ketiga sumber hukum tersebut, yakni hukum adat, hukum Islam dan BW ditetapkan sebagai hukum yang legal dan formal. Hanya dalam hukum adat aturannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat yang menggunakannya, karena hukum adat erat kaitannya dengan budaya lokal yang keadaannya berbeda-beda. Sedangkan, hukum waris Islam dan BW secara formal pembagiannya dijelaskan oleh undang-undang yang berlaku.
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
Pertama: Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Kedua: Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
Ketiga: Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Baca juga:
Kolom Pakar: Paradigma Tentang Subyek dan Obyek Hukum Dalam Metodologi Hukum IslamOrang muslim hanya memberi waris kepada muslim, jika yang meninggal dunia orang muslim, sedangkan ahli warisnya bukan muslim, dia tidak berhak mendapatkan harta waris. Pandangan yang paling kuat adalah yang menyatakan tidak adanya hak saling mewarisi antara muslim dengan kafir dan sebaliknya antara kafir dengan muslim, sedangkan antara Yahudi dengan Nasrani dapat saling mewarisi, karena keduanya kafir.
Nilai-nilai ajaran membedakan hak dan kewajiban yang ketat dalam masalah kewarisan, dengan demikian, dalam perspektif antropologis, hukum kewarisan merupakan simbol ketaatan masyarakat kepada perintah Tuhan, simbol ketundukan kepada ajaran Tuhan, dan simbol keberharapan kepada kehidupan yang kekal, setelah kehidupan di dunia.
Akan tetapi, persoalan kewarisan ini mengalami perubahan yang mendasar dengan pertimbangan perlindungan hak-hak keperdataan serta kamanusiaannya. Misalnya dengan adanya wasiat wajibah yang dapat diterapkan untuk orang yang bukan ahli waris, seperti anak hasil adopsi atau anak angkat.
KesimpulanPerkawinan menimbulkan implikasi hukum yang luas untuk kedua belah pihak, yakni suami, isteri, anak, dan kerabat. Secara sosiologis ikatan perkawinan merupakan pertalian yang amat kuat sehingga menimbulkan hak dan kewajiban suami-isteri, hubungan kausalitas kedua belah pihak, dan mengesamping setiap orang yang tidak memiliki ikatan darah atau hubungan biologis, sehingga hubungan yang cukup dekat hanyalah kerabat.
Suami dan isteri yang telah menjalin hubungan keluarga memikul peran dan tanggung jawab yang seimbang, terutama dalam peranannya membangun rumah tangga harmoni dan bergaul dengan masyarakat, oleh karena itu, suami adalah pemimpin dalam keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, yang berarti keduanya memikul tugas dan beban yang proporsional yang otomatis implikasi hukum dari keduanya seperti harta bersama, harta waris, dan tanggung jawabnya masing-masing tidak terlempar jauh dari kedua belah pihak, kecuali adanya keadaan lain yang menjadi alasan hukum beralihnya hak dan kewajiban kepada kerabat.(*)
(lam)