LANGIT7.ID-, Jakarta- - Warga Gaza berjalan bermil-mil untuk mendapatkan tepung dan roti di tengah kelangkaan akibat perang. Setiap pagi, kerumunan warga memadati beberapa toko roti yang masih beroperasi di wilayah Palestina, berusaha keras mendapatkan sebungkus roti di titik-titik distribusi.
Sejak pecahnya perang di Gaza tahun lalu, berbagai lembaga amal dan organisasi bantuan internasional telah berulang kali memperingatkan tingkat kelaparan yang kritis bagi hampir dua juta orang. Penilaian yang didukung PBB bulan lalu memperingatkan ancaman kelaparan di Gaza Utara di tengah hampir terhentinya bantuan pangan setelah Israel melancarkan serangan di wilayah tersebut. Barang-barang penting seperti air, produk segar, dan obat-obatan juga langka.
Warga Gaza di seluruh wilayah telah menceritakan bagaimana mereka bangun saat fajar hanya untuk memastikan mereka bisa mendapatkan tepung atau roti, dengan ketersediaan saat ini mencapai titik terendah sepanjang masa. Di kota Khan Younis bagian selatan, puluhan orang terlihat berdesakan di titik distribusi. Di atas kepala satu sama lain, semua orang berusaha meraih roti bundar itu sejauh mungkin. Seorang anak kecil, wajahnya berlinang air mata, menggenggam koin sambil menembus kerumunan orang dewasa.
"Saya berjalan sekitar delapan kilometer untuk mendapatkan roti," kata Hatem Kullab, seorang pengungsi Palestina yang tinggal di lingkungan tenda darurat. Di tengah kerumunan seperti ini, dua wanita dan seorang anak tewas terinjak-injak dalam insiden di sebuah toko roti di kota Deir el-Balah, Gaza tengah, Jumat lalu.
"Untuk mendapatkan sepotong roti, Anda butuh seharian penuh, delapan sampai 10 jam," kata Jameel Fayyad, saudara laki-laki salah satu wanita yang tewas, menggambarkan perjuangan saudarinya yang berusaha mendapatkan roti untuk memberi makan 10 anggota keluarga.
Warga Palestina dari seluruh Jalur Gaza mengatakan sangat sulit menemukan karung tepung 50 kilogram yang biasanya bisa bertahan beberapa minggu sebelum perang. "Tidak ada tepung, tidak ada makanan, tidak ada sayuran di pasar," kata Nasser al-Shawa (56), yang seperti kebanyakan penduduk, terpaksa meninggalkan rumahnya karena pengeboman dan tinggal bersama anak-anak serta cucunya di Gaza tengah.
Al-Shawa, yang kini tinggal di rumah temannya di Deir el-Balah, mengatakan satu karung 50 kilogram berharga antara 500 hingga 700 shekel (sekitar Rp 2,1 juta hingga Rp 2,9 juta). Sebelum perang, harganya sekitar 100 shekel. Di Gaza, di mana lebih dari setengah bangunan telah hancur, produksi hampir sepenuhnya terhenti. Pabrik tepung, gudang penyimpanan tepung, dan toko roti industri tidak dapat beroperasi karena mengalami kerusakan berat akibat serangan.
Bantuan kemanusiaan masuk dengan lambat, dan kelompok bantuan berulang kali mengecam berbagai kendala yang diberlakukan Israel, yang dibantah oleh negara tersebut. Dalam pukulan terbaru, badan PBB yang mendukung pengungsi Palestina (UNRWA) mengumumkan Minggu lalu menghentikan pengiriman bantuan ke Gaza melalui titik perlintasan utama dengan Israel. UNRWA mengatakan pengiriman menjadi tidak mungkin, sebagian karena penjarahan oleh geng.
Bagi Layla Hamad, yang tinggal di tenda bersama suami dan tujuh anaknya di Al-Mawasi, Gaza selatan, keputusan UNRWA tersebut "seperti peluru ke kepala." Dia mengatakan keluarganya secara rutin menerima "sejumlah kecil" tepung dari UNRWA. "Setiap hari, saya pikir kami tidak akan bertahan hidup, entah karena kami akan tewas oleh pengeboman Israel atau kelaparan," katanya. "Tidak ada pilihan ketiga."
Mayoritas perusahaan swasta yang sebelumnya diizinkan Israel untuk membawa makanan ke Gaza mengatakan mereka tidak lagi dapat melakukannya. Perang di Gaza pecah setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 di Israel selatan, yang mengakibatkan 1.208 orang tewas, sebagian besar warga sipil. Kampanye militer Israel di Gaza telah menewaskan setidaknya 44.502 orang, juga sebagian besar warga sipil, menurut data dari kementerian kesehatan Gaza yang dianggap dapat dipercaya oleh PBB.
(lam)