LANGIT7-Jakarta,- - Korea Selatan diprediksi menjadi negara pertama yang bakal lenyap dari muka bumi, lantaran mengalami krisis kelahiran. Meskipun pemerintah telah mengupayakan banyak hal untuk membalikkan keadaan, namun faktanya wanita di Korea Selatan enggan.
Pemerintah Korea Selatan telah menerapkan kebijakan untuk mendorong angka kelahiran yang lebih tinggi. Seperti, merekrut pekerja rumah tangga asing untuk penitipan anak, menawarkan tunjangan pajak, dan bahkan mengusulkan untuk mengecualikan laki-laki dari wajib militer jika mereka memiliki tiga anak atau lebih pada usia 30 tahun.
Sayangnya sejauh ini langkah-langkah tersebut hanya berdampak kecil. Akar permasalahannya terletak pada kondisi sosial dan budaya negara tersebut.
Banyak perempuan, terutama di daerah perkotaan, memprioritaskan karier dibandingkan memulai berkeluarga, dengan lebih dari separuh responden dalam survei pemerintah tahun 2023 menyebutkan, “beban mengasuh anak” sebagai hambatan terbesar bagi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan.
Baca juga:
Sempat Tersinggung, Sunhaji Pedagang Es Teh Telah Memaafkan Gus MiftahMeningkatnya rumah tangga dengan pendapatan ganda dan akses yang lebih besar terhadap pendidikan, telah memberdayakan perempuan untuk menunda atau bahkan tidak menikah dan melahirkan anak. Hal tersebut dilansir dari economictime.com.
Terlebih lagi, pernikahan sendiri tidak lagi dipandang penting untuk memiliki anak. Tren ini bisa dilihat selama dekade terakhir, di mana persentase masyarakat yang menerima kelahiran anak di luar nikah telah meningkat dari 22% menjadi 35%, meskipun hanya 2,5% anak yang lahir di luar nikah di Korea Selatan.
Bagi mereka yang menikah, perempuan menuntut lebih banyak kesetaraan dalam tanggung jawab rumah tangga. Kesenjangan gender yang mencolok masih terjadi, dengan 92% perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga pada hari kerja dibandingkan dengan hanya 61% laki-laki.
Baca juga:
Korea Selatan Diprediksi Jadi Negara Pertama yang Hilang dari Bumi, Ini FaktanyaKesenjangan ini telah menyebabkan kekecewaan luas terhadap peran pernikahan tradisional. Faktanya, survei pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa sepertiga perempuan di Korea Selatan tidak ingin menikah, dan 93% menyebutkan beban pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak sebagai alasan utamanya.
Kesenjangan gender di Korea Selatan mungkin merupakan salah satu faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap krisis kesuburan. Meskipun perempuan semakin mencari kemitraan yang setara, iklim politik di negara ini telah menunjukkan peningkatan sentimen anti-feminis, terutama di kalangan laki-laki muda.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol, yang memenangkan pemilu tahun 2022 telah menyerukan penghapusan kuota gender, dan bahkan menyatakan bahwa feminisme adalah akar penyebab memburuknya hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini telah memicu pertarungan politik dan budaya yang sengit, dengan pendirian presiden mengenai kesetaraan gender yang menuai kritik dari aktivis hak-hak perempuan dan semakin mempolarisasi masyarakat.
Sementara itu Korea Selatan berada di peringkat terendah di OECD dalam hal kesetaraan gender, dan berada di peringkat ke-94 secara global. Negara ini tertinggal dalam bidang-bidang utama seperti partisipasi ekonomi (peringkat ke-112), pendidikan (peringkat ke-100), pemberdayaan politik (peringkat ke-72), dan kesehatan (peringkat ke-47).
Ketidakseimbangan gender ini telah memicu frustrasi di kedua belah pihak, dimana perempuan menuntut kesempatan yang lebih setara dan laki-laki mengungkapkan kebencian terhadap kebijakan yang mereka anggap berpihak pada perempuan.
Seperti diberitakan sebelumnya, tingkat kelahiran di Korea Selatan merupakan yang terendah di dunia, dan kini semakin menurun. Kekhawatiran terhadap “kepunahan nasional” telah dimulai bersamaan dengan perdebatan tentang bagaimana mengatasi masalah ini dan peran budaya kerja dan dinamika gender dalam penurunan tersebut.
Saat ini populasi Korea Selatan menyusut hingga sepertiga dari jumlah penduduk sekarang, pada akhir abad ini.
Melansir firstpost.com, data dari Statistik Korea, yang dirilis pada hari Rabu, mengungkapkan penurunan tingkat kesuburan negara tersebut sebesar 8% pada tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.
Para ahli memperingatkan bahwa populasi Korea Selatan yang berjumlah 51 juta jiwa dapat berkurang setengahnya pada tahun 2100 jika tren ini terus berlanjut, menurut Al Jazeera
(ori)