Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Senin, 20 Januari 2025
home edukasi & pesantren detail berita

Kolom Pakar: Pengentasan Kemiskinan Kelompok Pengemis dan Gelandangan Dalam Perspektif Islam

tim langit 7 Selasa, 07 Januari 2025 - 09:48 WIB
Kolom Pakar: Pengentasan Kemiskinan Kelompok Pengemis dan Gelandangan Dalam Perspektif Islam
Pepen Ependi, SH (Alumni Prodi Hukum Tata Negara FSH
UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

LANGIT7.ID-Urbanisasi yang tidak terkendali di kota-kota besar Indonesia telah memunculkan fenomena gelandangan dan pengemis yang kian memprihatinkan. Mereka kerap terlihat di persimpangan lampu merah, pertokoan, hingga kompleks perumahan. Menurut ahli sosiologi Sarito Wirawan Sarwono, kelompok ini merupakan manifestasi kemiskinan perkotaan yang tidak memiliki tempat tinggal legal. Meski keduanya sering disebut dalam satu nafas, gelandangan dan pengemis memiliki karakteristik berbeda - di mana gelandangan hidup berpindah-pindah secara nomaden, sementara pengemis umumnya masih memiliki tempat bernaung meski sederhana. Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, mengingat mereka turut memanfaatkan fasilitas perkotaan namun tidak berkontribusi dalam pembayaran pajak.

Pengertian Pengemis dan Gelandangan

Salah satu fenomena yang terjadi di wilayah perkotaan adalah hadirnya gelandangan dan pengemis. Gelandangan dan pengemis umumnya hadir di traffic light, warung atau pertokoan, bahkan ada yang masuk ke komplek perumahan. Tentu, terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab lahirnya gelandangan dan kemiskinan. Gelandangan dan pengemis lahir akibat adanya urbanisasi, dimana perpindahan masayarakat dari desa ke kota dengan tujuan memperoleh pekerjaan yang layak. Namun, dalam prosesnya, mendapatkan pekerjaan di kota besar tidak semudah yang diperkirakan sebelumnya. Akibatnya, masyakarat pun memilih untuk menjadi gelandangan dan pengamen sebagai profesi. Penyebab lain yang menjadi akar permasalahan adalah faktor kemiskinan, dimana masyarakat yang menjadi gelandangan dan pengemis, tidak mempunyai pilihan lain karena faktor ekonomi.

Baca juga: Kolom Pakar: Penerapan Restorative Justice Dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Menurut Sarito Wirawan Sarwono (2005:28) gelandangan dan pengemis merupakan orang miskin yang hidup di kota-kota besar, dimana gelandangan dan pengemis tidak memiliki tempat tinggal yang sah menurut hukum. Keberadaan gelandangan dan pengemis dapat dikategorikan menjadi beban pemerintah karena secara umum, orang-orang yang termasuk ke dalam kategori gelandangan dan pengemis juga turut menggunakan fasilitas yang ada di perkotaan tersebut, tetapi tidak membayar pajak atas fasilitas yang dinikmati tersebut.

Adapun perbedaan antara gelandangan dan pengemis terletak pada tempat tinggal tetap, bahwa seorang gelandangan bisa dipastikan tidak memiliki tempat tinggal tetap karena hidupnya mengembara secara nomaden sedangkan pengemis bisa jadi memiliki tempat tinggal (bisa berupa gubuk atau tempat tinggal sewa), dan pengemis melakukan pemenuhan kebutuhan hidup melalui kegiatan meminta-meminta dan memohon belas kasihan orang lain.

Fenomena gelandangan dan pengemis tidak dapat dibiarkan menjamur di Indonesia, mengingat dampak yang bisa muncul dapat menjadi fenomena yang lebih besar pula. Tak dapat dipungkiri bahwa akan muncul masalah lain akibat keberadaan gelandangan dan pengemis, apabila tidak diselesaikan dengan baik. Beberapa diantaranya adalah masalah kependudukan, karena pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak menghiraukan identitas diri terekam oleh negara. Masalah selanjutnya adalah berkaitan dengan ketentraman dan ketertiban umum, karena keberadaan gelandangan dan pengemis dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat yang berada di wilayah gelandangan dan pengemis melakukan aksinya.

Faktor Penyebab Adanya Gelandangan dan Pengemis

Menurut Surahman (2016) secara garis besar faktor internal dan faktor eksternal dapat menyebabkan terjadinya gelandangan dan pengemis. Adapun faktor tersebut antara lain disebutkan yaitu:

1) Merantau dengan modal nekat;
2) Malas berusaha;
3) Cacat fisik;
4) Tidak adanya lapangan pekerjaan;
5) Tradisi yang turun-menurun;
6) Mengemis daripada menganggur;
7) Harga kebutuhan pokok yang mahal;
8) Kemiskinan;
9) Ikut-ikutan;
10) Disuruh orang tua;
11) Menjadi korban penipuan.

Apabila dikelompokkan faktor penyebab gelandangan dan pengemis berasal dari 3 (tiga) faktor, yaitu: faktor pendidikan, faktor ekonomi dan faktor psikologis. Menurut penulis, ketiga faktor tersebut memberikan sumbangsih yang cukup besar sebagai penyebab keberadaan gelandangan dan pengemis di Indonesia.

Baca juga: Kolom Pakar:Konsep dan Aplikasi Pasar Uang Syariah

Sebagaimana penjelasan sebelumya bahwa penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dilakukan oleh pemerintah daerah, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menekan faktor-faktor tersebut, diantaranya:

1) Pemerintah daerah perlu menyusun peraturan mengenai penertiban gelandangan dan pengemis;
2) Pemerintah daerah perlu memiliki data yang konkrit dan real tentang jumlah dan kondisi gelandangan dan pengemis;
3) Pemerintah daerah perlu membangun komunitas dengan masyarakat dalam mendukung penertiban dan pembinaan gelandangan dan pengemis;
4) Pemerintah daerah perlu menyusun program pembinaan dan pendampingan secara bertahap dan berkelanjutan kepada gelandangan dan pengemis;
5) Pemerintah daerah perlu mengevaluasi terkait program pembinaan dan pendampingan bagi gelandangan dan pengemis. (Sri Kuntari dan Eny Hikmawati, 2017:11-16)

Dengan demikian pendekatan yang efektif dalam mengontrol pengemis dan gelandangan memerlukan kombinasi dari berbagai tindakan, termasuk bantuan sosial, dukungan, kesehatan mental, dan langkah-langkah hukum. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan solusi jangka panjang yang membantu individu keluar dari situasi pengemis dan gelandangan.

Pengemis dan Gelandangan dalam Pandangan Islam

Dalam tinjauan Islam perbuatan mengemis adalah perbuatan yang tidak disyari‘atkan dalam agama Islam. Bahkan jika melakukannya dengan cara menipu atau berdusta kepada orang atau lembaga tertentu yang dimintai sumbangan dengan menampakkan dirinya seakan-akan dia adalah orang yang sedang kesulitan ekonomi, atau sangat membutuhkan biaya pendidikan anak sekolah, atau perawatan dan pengobatan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai kegiatan tertentu, maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar sebagaimana hadits Rasulullah saw., menyatakan:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِر

Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan dating pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.

Baca juga: Kolom Pakar: Sosiologika Pengalaman Kebatinan Dalam Keberagamaan

Rasulullah SAW, melarang seseorang muslim meminta-minta sedekah atau sumbangan dari orang lain, tanpa ada kebutuhan yang mendesak, karena perbuatan memintaminta merupakan perbutan menghinakan diri kepada makhluk dan menunjukkan adanya kecendrungan dan keinginan untuk memperbanyak harta. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan meminta-minta yang hina ini, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong dagingpun yang melekat di wajahnya. Ini sebagai balasan yang setimpal baginya karena kurangnya rasa malu dia untuk meminta-minta kepada sesama makhluk. Di sisi lain, Nabi Muhammad SAW, juga menganjurkan untuk tidak menolak harta yang mendatangi diri seseorang. Beliau memperbolehkan menerima harta tersebut dan itu lebih baik bagi dirinya selama tidak meminta-minta.

Secara normatif, persoalan gelandangan dan pengemis telah diatur dalam berbagai regulasi, baik di tingkat nasional maupun daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai konstitusi tertinggi, menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara." Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi dari ketentuan ini masih menemui berbagai kendala, seperti keterbatasan anggaran, lemahnya koordinasi antar-lembaga, dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Dari perspektif siyasah dusturiyah, yang merupakan kajian dalam Islam terkait tata kelola pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip syariah, permasalahan ini dapat dilihat sebagai tanggung jawab negara dalam mewujudkan kemaslahatan umum (ḥifṭ al-ʻummah). Pemerintah, sebagai pemegang amanah rakyat, berkewajiban untuk memastikan terpenuhinya hak-hak dasar setiap individu, termasuk mereka yang berada dalam kondisi marginal seperti gelandangan dan pengemis.

Hal ini sejalan, pandangan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin menyebutkan bahwa negara harus menjaga kepentingan umum dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Salah satu tanggung jawab negara adalah memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, termasuk pengemis dan gelandangan, melalui sistem zakat, sedekah, atau program kesejahteraan sosial. Dalam konteks siyasah dusturiyah, negara wajib menyediakan fasilitas agar setiap individu dapat hidup layak dan memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk kesejahteraan. Dalam ajaran Islam, zakat dan sedekah sangat dianjurkan untuk diberikan kepada orang-orang miskin dan membutuhkan, termasuk gelandangan dan pengemis. Hal ini juga sepandangan dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menganggap bahwa gelandangan yang benar-benar membutuhkan bisa menerima zakat dan sedekah, selama mereka memenuhi kriteria orang miskin. Namun, Beberapa ulama berpendapat bahwa pengemis yang mampu bekerja tetapi memilih untuk meminta-minta harus diberi hukuman atau sanksi agar tidak menciptakan budaya malas dan ketergantungan. Imam Ibn Qudamah dalam kitab Al-Mughni menyebutkan bahwa pengemis yang sehat dan mampu bekerja seharusnya tidak diberi sumbangan, melainkan diberi hukuman atau pekerjaan. Hal ini bertujuan untuk menegakkan moralitas sosial dan membangkitkan rasa tanggung jawab pribadi.

Upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis telah dilakukan melalui berbagai program sosial, seperti pemberian bantuan langsung, pelatihan keterampilan, dan penertiban di area publik. Namun, efektivitas dari program-program tersebut masih menjadi tanda tanya. Banyak pihak menilai bahwa pendekatan yang digunakan cenderung bersifat reaktif dan kurang memerhatikan akar permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan yang lebih komprehensif dan holistik, termasuk melalui pendekatan siyasah dusturiyah, untuk merumuskan kebijakan yang tidak hanya menangani gejala tetapi juga menyelesaikan akar persoalan.

Baca juga: Kolom Pakar: Canda Membawa Duka dan Bahagia

Dalam konteks ini, regulasi dan kebijakan yang ada harus mampu mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial, penghormatan terhadap martabat manusia, dan pemenuhan hak asasi yang mendasar. Prinsip keadilan sosial menuntut adanya distribusi sumber daya yang merata, sehingga kelompok rentan seperti gelandangan dan pengemis mendapatkan perlindungan dan kesempatan yang setara untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Penghormatan terhadap martabat manusia mengharuskan kebijakan untuk memperlakukan gelandangan dan pengemis bukan sebagai beban atau masalah, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang memerlukan perhatian dan dukungan.

Adapun pengaturan mengenai gelandangan dan pengemis di Indonesia tersebar dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang dirancang untuk memberikan landasan hukum dalam menangani masalah sosial ini. Salah satu regulasi utama yang relevan adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang secara eksplisit menempatkan gelandangan dan pengemis sebagai bagian dari kelompok rentan, khususnya kelompok miskin, yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Kelompok ini sering kali terpinggirkan akibat berbagai faktor, seperti ketimpangan sosial, kurangnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, serta lemahnya jaringan perlindungan sosial.

Menurut Yusrizal, Undang-undang tersebut menegaskan bahwa gelandangan dan pengemis bukan sekadar masalah ketertiban umum, melainkan isu kesejahteraan sosial yang memerlukan pendekatan multidimensi. Dalam kerangka hukum ini, pemerintah diwajibkan untuk memberikan perlindungan yang mencakup bantuan sosial, pelayanan rehabilitasi, serta program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup mereka. Undang-Undang ini menekankan pentingnya peran negara dalam memastikan kesejahteraan sosial secara menyeluruh, termasuk mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tersisih dari sistem ekonomi formal.

Hal ini juga menunjukkan adanya kebutuhan untuk merancang kebijakan yang lebih terintegrasi antara berbagai sektor, seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, guna menciptakan solusi jangka panjang bagi masalah gelandangan dan pengemis. Pemerintah pusat dan daerah didorong untuk bekerja sama, baik dalam menyediakan fasilitas rehabilitasi maupun dalam menciptakan peluang ekonomi yang inklusif.

Gelandangan dan pengemis merupakan salah satu permasalahan sosial yang membutuhkan perhatian serius. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, kelompok masyarakat ini harus dapat ditanggulangi secara menyeluruh karena mereka pada dasarnya tidak memiliki sumber mata pencaharian yang memadai dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Kondisi ini sering kali disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kemiskinan struktural, kurangnya akses terhadap pendidikan, minimnya keterampilan kerja, dan ketiadaan jaringan sosial yang dapat mendukung keberlangsungan hidup mereka. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis tidak hanya bersifat represif, tetapi juga harus menyentuh aspek preventif dan kuratif.

Baca juga: Kolom Pakar: SosiologI Seksualitas Perempuan, Belajar dari Kisah Qobil-Habil

Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial memberikan arahan yang jelas mengenai bentuk-bentuk intervensi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan ini. Beberapa langkah yang disebutkan antara lain meliputi penyuluhan dan bimbingan sosial untuk memberikan pemahaman dan motivasi kepada mereka agar dapat keluar dari situasi sulit yang dihadapi. Selain itu, pelayanan sosial juga disediakan untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan dasar. Tidak hanya itu, pemerintah juga diamanatkan untuk menyediakan akses kesempatan kerja dan berusaha sebagai upaya pemberdayaan ekonomi, yang dapat membantu mereka membangun kemandirian dan stabilitas finansial. Penyediaan akses terhadap pelayanan kesehatan dasar, pendidikan dasar, serta perumahan dan permukiman yang layak juga menjadi prioritas agar mereka dapat hidup dengan lebih bermartabat.

Selain itu, penyediaan pelatihan keterampilan kerja, modal usaha, dan pemasaran hasil usaha menjadi langkah strategis yang dapat mendorong gelandangan dan pengemis untuk bertransformasi menjadi individu yang produktif dan mandiri secara ekonomi. Langkah-langkah ini memerlukan sinergi antara pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat luas untuk memastikan keberhasilan program yang dijalankan. Dalam konteks ini, Pasal 22 UU Kesejahteraan Sosial menjelaskan bahwa pelaksanaan upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis merupakan tanggung jawab menteri yang membidangi urusan sosial. Menteri tersebut harus mampu mengkoordinasikan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dan dunia usaha, untuk menciptakan program yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Undang-Undang ini mendefenisikan fakir miskin yaitu orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Berdasarkan pengertian ini dapat diartikan bahwa gelandangan dan pengemis termasuk kedalam kedalam fakir miskin.

Menurut Hasan Sah Putra (2022:236) Undang-Undang tersebut memberikan perhatian yang lebih spesifik terhadap upaya penanganan kelompok fakir miskin, termasuk gelandangan dan pengemis, melalui program-program yang terarah dan bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan. Regulasi ini secara rinci mengatur mekanisme identifikasi terhadap individu atau kelompok yang termasuk dalam kategori fakir miskin, pemberian bantuan yang bersifat materiil maupun non-materiil, serta pelaksanaan upaya rehabilitasi sosial yang bertujuan mengembalikan mereka ke dalam sistem sosial dan ekonomi yang lebih produktif. Pelibatan sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan ini, dengan masing-masing pihak memegang peran strategis.

Hak fundamental yang dijamin bagi fakir miskin, yang mencakup berbagai aspek kehidupan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Hak-hak ini meliputi kecukupan pangan, sandang, dan perumahan yang menjadi kebutuhan esensial bagi kelangsungan hidup. Selain itu, fakir miskin dijamin haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup dan mencegah berbagai risiko kesehatan yang dapat mengancam mereka. Dalam bidang pendidikan, pasal ini menegaskan pentingnya akses pendidikan yang layak sebagai sarana untuk meningkatkan martabat individu, memungkinkan mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan melalui pemberdayaan intelektual. Hak fakir miskin untuk mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri serta keluarganya sesuai dengan karakter budaya yang mereka miliki. Hal ini menekankan pentingnya pendekatan yang kontekstual dan menghormati nilai-nilai lokal dalam pelaksanaan perlindungan sosial. Hak-hak tersebut diperkuat dengan jaminan sosial yang mencakup pemberdayaan sosial dan rehabilitasi sosial, yang bertujuan untuk memberikan dukungan komprehensif kepada mereka yang membutuhkan.

Mencakup hak untuk memperoleh derajat kehidupan yang layak serta lingkungan hidup yang sehat, menandakan bahwa aspek kesejahteraan tidak hanya berfokus pada kebutuhan fisik, tetapi juga mencakup kualitas lingkungan yang mendukung kehidupan manusia. juga menekankan pentingnya keberlanjutan kesejahteraan melalui upaya peningkatan kondisi hidup yang terus-menerus diperbaiki. Hak atas pekerjaan dan kesempatan berusaha sebagai langkah untuk menciptakan kemandirian ekonomi, sehingga fakir miskin dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada bantuan.

Baca juga: Kolom Pakar: Agama Rasional Etnik Sunda Melawan Kuntilanak, Jurig, Dedemit, Kolongwewe

Dalam konteks penanganan gelandangan dan pengemis, regulasi ini menekankan bahwa mereka bukan hanya kelompok yang memerlukan bantuan langsung seperti sandang, pangan, dan papan, tetapi juga memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Hal ini mencakup pemberian bimbingan psikologis untuk memperbaiki mentalitas mereka, pendidikan keterampilan untuk meningkatkan kompetensi, serta akses terhadap peluang ekonomi yang lebih baik, seperti program wirausaha atau pelatihan kerja. Tujuannya adalah agar mereka tidak hanya bergantung pada bantuan, tetapi juga mampu mandiri dan berkontribusi positif dalam masyarakat.

Adapun strategi dalam menanggulangi kemiskinan adalah dengan cara sebagai berikut:
1) mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin;
2) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin;
3) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha mikro;
4) mengembangkan kerja sama dengan daerah lain yang potensial guna memberdayakan potensi warga miskin; dan
5) mensinergikan kebijakan dan program Penanggulangan Kemiskinan.

(lam)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Senin 20 Januari 2025
Imsak
04:20
Shubuh
04:30
Dhuhur
12:07
Ashar
15:30
Maghrib
18:20
Isya
19:33
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan