Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Senin, 20 Januari 2025
home edukasi & pesantren detail berita

Kolom Pakar: Etika Penerintah Yang Bersih Dan Berwibawa

tim langit 7 Rabu, 08 Januari 2025 - 13:38 WIB
Kolom Pakar: Etika Penerintah Yang Bersih Dan Berwibawa
Haykal Mumtazul Hakim SH (Alumni Program Studi Hukum Tata Negara FSH UIN Sunan Gunung Djati Bandung

LANGIT7.ID-Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga sistem ketertiban yang memungkinkan masyarakat dapat menjalani kehidupannya secara wajar. Oleh karena itu, pemerintah pada hakikatnya diperlukan adalah untuk memberikan pelayanan kapada masyarakat. Pemerintah tidak dibentuk untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya, demi mencapai tujuan bersama. Suatu gejala yang nampak dewasa ini adalah kecenderungan dan pertumbuhan ke arah mensukseskan pembangunan di segala bidang. Untuk mensukseskan pembangunan.

Soemarsaid Moertono (1980 : 72) mengemukakan bahwa etika berasal dari bahasa Greek yaitu ethos, artinya “character” adalah suatu studi yang sistematis mengenai sifat dari konsep-konsep nilai mengenai baik, buruk, harus, benar, salah dan sebagainya. Menurut Bertens (2004 : 14) terdapat tiga pendekatan ilmiah tentang etika, yaitu: (1) Etika Deskriptif, melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk; tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan; (2) Etika Normatif, bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan dalam praktek; (3) Metaetika (disebut juga etika analitis), seolah-olah bergerak pada taraf yang lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf bahasa etis atau bahasa yang diperrgunakan di bidang moral. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika.

Ragam Mazhab Etika

Menurut Inu Kencana (2002 : 342) dalam ilmu pemerintahan ada beberapa mazhab etika atau aliran antara lain:

Hedonisme
Hedonisme, adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme juga merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia dalam suatu negara, aliran ini banyak diterapkan di negara indonesia, ini dapat kita temukan pada para pejabat ataupun masyarakatnya yang cenderung konsumtif.

Baca juga: Kolom Pakar: Pengentasan Kemiskinan Kelompok Pengemis dan Gelandangan Dalam Perspektif Islam

Eksistensialisme
Adalah pandangan hidup seseorang yang menganggap bahwa orang akan bahagia dengan keberadaan mereka atau kedudukan yang mereka miliki karena kerja keras dan upaya mereka sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Pandangan atau aliran ini tidak percaya akan keberadaannya sang pencipta, mereka percaya bahwa dengan melakukan kerja keras mereka akan membahagiakan mereka. Dalam penerapan di dalam suatu negara komunis, negara maju dan atau negara yang cenderung menganut atheisme. Ini terjadi pada negara china dan korea utara.

Utilitarianisme
Bentham adalah pendiri pandangan utilitarian, dia memiliki hubungan erat dengan John Stuart Mill. Bentham membagi prinsip manusia kepada tiga hal yakni ascesticism, sympathy, dan anthipathy. Menurut Bentham tugas negara adalah mengarahkan warganya kepada kesenangan, untuk menjamin kesenangan adalah tugas dari negara untuk menggunakan metode hadiah dan hukuman pada warganya. Faham ini juga diterapkan pada hampir semua negara, ketika ada suatu tugas yang dilakukan dengan baik/sesuai dengan harapan maka akan mendapatkan apresiasi dan begitupun sebaliknya ketika ada kesalahan maka akan ada hukuman/ konsekuensi yang harus dilakukan.

Stoisme
Merupakan pandangan hidup manusia yang menganggap bahwa kebahagiaan mereka adalah dengan cara memiskinkan diri. Mereka menganggap bahwa kekayaan adalah sebuah kehinaan. Harta yang mereka miliki hanya sekedar yang mereka butuhkan saja dan mereka lebih banyak memberikan hartanya kepada orang lain. Faham ini juga dapat kita temukan pada negara berkembang seperti negara indonesia, sebagai contoh
Stoisisme dirintis oleh zeno (336-264) SM, berasal dari kata Stoa (gang-gang). Inti dari ajaran Stoa adalah etika, menurut ajaran ini, manusia itu adalah bagian dari alam, sehingga ia wajib untuk hidup selaras dengan alam. Bagaimanapun alam ini sudah berjalan sebagaimana adanya menurut rasio(logos)-nya sendiri, sehingga kejadian yang sudah ditentukan oleh alam itu tidak mungkin dapat dielakkan oleh manusia. Sebelum dapat mencapai keselarasan dengan alam itu, manusia harus terlebih dahulu menyelaraskan dirinya sediri, yakni dengan selalu menyesuaikan perilaku dengan akalnya. Kebajikan tidak lain adalah akal yang benar (recta ratio). dengan demikian akal atau rasio yang dimaksud disini tidak lagi sekadar akal pribadi manusia itu, melainkan juga akal alam yang juga dapat diartikan sebagai hukum alam yang bersifat Ilahi.

Fatalisme
Merupakan pandangan atau faham manusia yang mempercayai dengan adanya Tuhan. Mereka begitu pasrah dengan kehidupan yang telah diberikan sang pencipta tanpa mereka berusaha. Faham ini biasa kita jumpai pada aliran-aliran yang sangat teguh dengan adanya Tuhan dan masyarakat primitif dan atau masyarakat tradisional. Faham ini ter-terapkan pada sekelompok masyarakat tertentu.

Pragmatisme
Yakni Pandangan hidup manusia bahwa apa yang mereka kerjakan hanyalah untuk hari ini. Faham ini tidak berencana untuk memikirkan masa depan. Ini terjadi pada masyarakat indonesia, mereka berfikiran bahwa hidup adalah untuk hari ini apa yang mereka lakukan dan untuk masa depan merupakan urusan selanjutnya.

Baca juga: Kolom Pakar: Penerapan Restorative Justice Dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Naturalisme
Merupakan pandangan hidup manusia tentang apa yang tampak mengartikan sesuatu yang tidak tampak artinya apa yang telah dikerjakan/fisik itu memiliki arti dan menggambarkan sesuatu yang dari dalam yang tak tampak oleh mata. Ini terjadi pada negara yunani, karena mereka memandang sesuatu secara dalam. Pada zaman yunani kuno lah banyak tokoh-tokoh filsuf bermunculan.

Progresivisme
Merupakan pandangan hidup manusia bahwa berupaya adalah sesuatu yang wajib untuk mencapai kemajuan hidupnya. Dalam kehidupan bernegara, negara wajib untuk berupaya dalam mencapai suatu kemajuan. Ini terjadi pada negara-negara berkembang yaitu yang memiliki capaian-capaian untuk kemajuan negara nya seperti di negara indonesia dan malaysia.

Positifisme
Merupakan faham yang mempercayai dengan keilmuan yang mereka miliki, mereka juga tidak percaya dengan Tuhan. Faham ini cenderung terjadi pada negara yang masyarakatnya menganut atheisme. Negara korea utara, perkembangan ilmu telah merubah cara pandang masyarakatnya. Dinegara ini mereka hanya mempercayai dengan adanya Dewa-dewa. Dan dengan kemajuan ilmu dan teknologi mereka pun yang dapat merubah kehidupan masyarakatnya.

Esensi Etika Pemerintah
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan etika berhubungan dengan moral, yang merupakan kristalisasi dari ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan-peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tulisan. Etika dan moral mengandung pengertian yang mirip dalam percakapan sehari-hari di dalam masyarakat. Kedua istilah tersebut dimaknai sebagai kesusilaan. Realisasi pengamalan etika dan moral sesorang tampak dari tingkah laku dan kadar kualitas pengematannya sesuai dengan kematangan rohani, jasmani dan pribadinya.

Dalam etika pemerintahan ada asumsi bahwa:
Melalui penghayatan etis yang baik seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan moralitas pemerintahan.

Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi akan senantiasa menghindarkan dirinya dari perbuatan tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga kewibawaan Negara.

Baca juga: Kolom Pakar:Konsep dan Aplikasi Pasar Uang Syariah

Citra aparatur pemerintahan sangat ditentukan oleh sejauhmana penghayatan etis mereka tercermin di dalam tingkah laku sehari-hari. Konsep etika gtelah lama diterima oleh masyarakat beradab di dunia sebagai sesuatu yang melekat pada peranan sesuatu profesi.

Etika menekankan perlunya seperangkat nilai-nilai dilekatkan pada, dan mendapat acuan bagi, setiap orang yang menjadi warga dari suatu profesi. Biasanya nilai-nilai itu kemudian menjadi ukuran tentang baik-buruk, wajar tidak wajar, dan bahkan benar-salah. Dengan demikian, etika pada dasarnya berkenaan dengan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam sebuah kehidupan kolektif yang profesional. Ini yang disebut etika praktis, selain itu ada juga filsafat etika atau etika yang diperbincangkan hanya pada tataran filosofis. Etika pemerintahan termasuk dalam etika praktis.

Dalam kehidupan masyarakat modern sudah menjadi rumus bahwa setiap profesi memiliki dasar-dasar etikanya sendiri. Nilai-nilai itu kemudian diterjemahkan menjadi semacam code of conduct bagi anggota dari profesi itu. Namun demikian etika profesi bukanlah sesuatu yang sacral dan tak dapat direvisi. Nilai-nilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat profesi bukanlah sekadar menjadi keyakinan pribadi bagi para anggotanya, tetapi juga menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, sesuatu nilai etika harus menjadi acuan atau pedoman bertindak yang pelanggaran atasnya akan membawa akibat-akibat moral. Misalnya seseorang yang melanggar etika dapat saja dikucilkan oleh lingkungan profesinya.

Pendapat umum yang negatif, yang terbentuk sebagai akibat dari tindak pelanggaran etik seseorang, biasanya merupakan sanksi yang sangat berat untuk ditanggung oleh si pelanggar. Pada tingkat pelanggaran tertentu, biasanya sesuatu nilai etika kemudian ditransformasikan lebih lanjut ke dalam bentuk norma dan bahkan menjadi bagian dari sesuatu aturan hukum yang sanksi bagi pelanggarnya bisa sangat berat. Di sini etika dapat dianggap menjadi sumber dari sesuatu hukum positif. Namun demikian tetap harus dibedakan antara etika dan hukum.

Dalam ruang lingkup etika, sanksi untuk suatu pelanggaran atas nilainya bersifat moral (penurunan harga diri atau semacamnya), sebagaimana ketaatan atasnya juga memperoleh imbalan moral (berupa penghormatan atau semacamnya).

Setiap profesi biasanya memiliki standar-standar moral tertentu di dalam memberi reward dan punishment kepada anggotanya, sehubungan dengan penegakan nilai etika profesi yang bersangkutan. Tentu saja nilai-nilai etika yang ingin ditegakkan di dalam suatu lingkungan profesi tidak seluruhnya terformalisasi secara jelas. Biasanya serangkaian nilai akan terbangun menjadi landasan etika yang mengikat sebagai akibat dari sesuatu kejadian yang melibatkan kehormatan atau eksistensi dari sesuatu profesi. Dari sana kemudian disadari akan perlunya nilai-nilai itu diadopsi dan dilembagakan (walaupun tidak selalu tertulis) ke dalam acuan bertindak para anggota. Hal ini berbeda dengan nilai etika yang telah berubah menjadi hukum, yang semuanya sudah tertulis dengan jelas dank arena itu akan lebih efektif penerapannya. Namun betapapun akrabnya hubungan antara etika dan hukum, tidak semua nilai etika akan otomatis menjadi hukum. Tergantung sejauhmana sesuatu nilai mengalami proses akamodasi di dalam sistem sosialnya.

Di dalam lingkungan pemerintahan hal yang demikian juga berlaku. Ada nilai-nilai tertentu yang harus ditegakkan demi menjaga citra pemerintah dan menjadikan pemerintah mampu menjalankan misinya. Dari nilai-nilai itu ada yang tetap menjadi bagian dari etika dan ada pula yang telah ditransformasikan kedalam hukum positif. Misalnya perbuatan membuat perjanjian secara tersembunyi untuk memenangkan tender pengadaan barang dan jasa pemerintah anatara pejabat pemerintah dengan pengusaha lebih tepat dipandang sebagai pelanggaran etik.

Ryaas Rasyid (1999 : 48), berpendapat keberhasilan pejabat pemerintahan di dalam memimpin pemerintahan harus diukur dari kemampuannya mengembangkan fungsi pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan. Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Inilah yang sekaligus menjadi misi pemerintahan di tengah-tengah masyarakat.

Baca juga: Kolom Pakar: Sosiologika Pengalaman Kebatinan Dalam Keberagamaan

Etika pemerintahan sebaiknya dikembangkan dalam upaya pencapaian misi itu. Artinya setiap tndakan yang tidak sesuai, tidak mendukung, apalagi yang menghambat pencapaian misi itu, semestinya dipandang sebagai pelanggaran etik. Pegawai pemerintah yang malas masuk kantor, tidak secara sunggu-sungguh menjalankan tugas yang dipercayakan padanya, minimal dapat dianggap melanggar etika profesinya. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan (power abuse) untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau polongan dengan merugikan kepentingan umum, pada tingkat pertama sudah melanggar etika pemerintahan. Mungkin mereka bisa diusut untuk dibuktikan sebagai pelanggar hukum, tetapi itu akan terjadi pada tingkat lanjutan.

Dalam hubungan ini seseorang bisa saja melanggar etika dan hukum pada waktu yang bersamaan. Aparatur pemerintahan seyogianya menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi, untuk itu pemerintah tidak dapat begitu saja mengambil hak milik seseorang tanpa kewenangan yang jelas (hukum) dan pemberian imbalan ganti rugi yang wajar (etika). Singkatnya setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari pemerintah berdasarkan nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku. Etika pemerintahan dengan demikian tidaklah berdiri sendiri. Penegakkannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip Negara hukum. Itulah sebabnya maka sebuah pemerintahan yang bersih yang segala tingkah laku dan kebijakannya berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya bisa diharapkan dalam Negara hukum. Di dalam Negara kekuasaan pemerintahan yang bersih itu sulit terwujud.

Fungsi Etika pemerintahan
Secara umum fungsi etika pemerintahan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan ada dua:
Sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun, dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan;

Sebagai acuan untuk menilai apakah keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan itu baik atau buruk, terpuji atau tercela.

Widodo (2001 : 245) menjelaskan bahwa oleh karena etika mempersoalkan baik dan buruk dan bukan benar dan salah tentang sikap, tindakan, dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya baik dalam masyarakat maupun organisasi public atau bisnis, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi Negara. Etika diperlukan dalam administrasi Negara. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus dapat digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku administrasi Negara dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk. Karena administrasi Negara bukan saja berkait dengan masalah pelaksanaan kebijakan politik saja, tetapi juga berkait dengan masalah manusia dan kemanusiaan.

Pada implementasinya etika pemerintahan itu meliputi etika yang menyangkut individu sebagai anggota arganisasi pemerintahan, juga meliputi etika organisasi pemerintahan serta etika profesi organisasi pemerintahan, yang ketiganya dalam implementasinya bermuara pada nilai-nilai etis yang terkandung baik pada peraturan perundangan, nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial budaya, nilai-nilai dalam asas penyelenggaraan pemerintahan dan nilai lainnya yang ada kaitannya dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Nilai Agama dan Sosial
Nilai-nilai agama dan sosial budaya merupakan salah satu nilai yang mengikat kehidupan sehari-hari yang terbentuk sebagai akibat adanya hubungan veryikal dan horizontal. hubungan vertikal yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang membentuk nilai-nilai agama tertentu.

Nilai ini biasanya bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar (harus dilaksanakan). Sedangkan hubungan horizontal atau hubungan antar sesama manusia membentuk apa yang dinamakan nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai ini berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat. Dibanding dengan nilai-nilai agama, nilai sosial budaya mungkin jauh lebih adaptif. Nilai sosial budaya yang berlaku dari masyarakat kadangkala mewarnai pola perilaku dari masyarakat yang bersangkutan, terdapat hubungan interaksi antara nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dengan nilai-nilai etika pemerintahan.

Nilai-nilai etika terungkap dalam aturan-aturan maupun hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana seseorang harus bersikap dan berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain dan lingkungan masyarakatnya, termasuk juga dengan pemerintah. Dalam konteks organisasi, maka etika organisasi dapat berarti pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan akan membentuk budaya organisasi (organizational culture) yang sejalan dengan tujuan maupun filosofi organisasi yang bersangkutan.

Baca juga: Kolom Pakar: Canda Membawa Duka dan Bahagia

Dalam organisasi administrasi publik atau pemerintah, pola sikap dan perilaku serta hubungan antar manusia dalam organisasi tersebut, dan hubungannya dengan pihak luar organisasi pada umumnya diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku dalam sistem hukum negara yang bersangkutan. Bagi aparatur pemerintah, budaya dan etika kerja merupakan hal yang penting untuk dikembangkan baik pada tingkat pemerintahan Pusat maupun Daerah, pada tingkat Departemen/Kementerian atau organisasi maupun unit-unit kerja dibawahnya.

Adanya etika ini diharapkan mampu membangkitkan kepekaan birokrasi (pemerintah) dalam melayani kepentingan masyarakat, Menurut Nicholas (1988 : 231), tujuan yang hakiki dari setiap pemerintah di negara manapun adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat warga negara yang bersangkutan. Namun demikian pola atau cara-cara yang ditempuh dan perilaku pemerintah dalam hal itu berbeda dari satu negara ke negara lainnya, tergantung kondisi dan situasi yang berlaku di negara masing-masing.

Dalam negara yang demokratis, mendahulukan kepentingan rakyat menjadi tujuan dan sekaligus etika bagi setiap penyelenggara negara dan pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis berlaku norma: "dari, oleh dan untuk rakyat. Sehingga etika kerja aparatur dalam sistem pemerintahan ini adalah selalu mengikutsertakan rakyat dan berorientasi kepada aspirasi dan kepentingan rakyat dalam setiap langkah kebijakan dan tindakan pemerintah. Transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas menjadi nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan diwujudkan dalam etika pergaulan antara pemerintah dengan rakyatnya.

Sebaliknya, dalam negara yang pemerintahannya bersifat otoriter, maka kepentingan kekuasaannyalah yang menjadi prioritas. Sehingga etika kerja aparatur sangat diarahkan pada terwujudnya keamanan dan kelangsungan kekuasaan pemerintahan. Dalam hal ini, kerahasiaan dan represi menjadi pola kebijakan dan perilaku aparatur pemerintah. Sedangkan nilai-nilai filosofis yang melandasinya adalah ideologi negara yang kita kenal sebagai Pancasila, yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nilai Good Governance
Nilai-nilai kepemerintahan yang baik atau Good Governance yang dewasa ini telah menjadi trend atau kecenderungan global sebagai etika dalam pemerintahan secara umum menekankan bahwa penyelenggaraan kepemerintahan negara harus merupakan keseimbangan interaksi dan keterlibatan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (civil society).

Nilai-nilai atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (Good Governance) menurut Badan PBB untuk Pembangunan atau UNDP (1997) sebagaimana (Suhady dan Fernanda dalam modul Diklatpim Tingkat IV: "Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik, 2005 : 75) , adalah mencakup:

Partisipasi
Setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif;

Aturan Hukum (Rule of Law)
Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh tanpa memihak kepada siapapun (impartially), terutama aturan hukum tentang hak-hak asasi manusia;

Transparansi
Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dan informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi;

Daya Tanggap (Responsiveness)
Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders).

Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)
emerintahan yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah;

Baca juga: Kolom Pakar: SosiologI Seksualitas Perempuan, Belajar dari Kisah Qobil-Habil

Berkeadilan (Equity)
Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya;

Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency):
Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia;

Akuntabilitas (Accountability):
Para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sektor publik (pemerintah), swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada public (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda, bergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal;

Bervisi Strategis (Strategic Vision):
Para pimpinan dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspekaspek historis, kultural, dan kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka;

Baca juga: Kolom Pakar: Agama Rasional Etnik Sunda Melawan Kuntilanak, Jurig, Dedemit, Kolongwewe

Saling Keterkaitan (Interrelated)
Bahwa keseluruhan ciri good governance tersebut di atas adalah saling memperkuat dan saling terkait (mutually reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri. Misalnya, informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif.

Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan, dan untuk memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektivitas pelak sanaannya, dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi dalam pelaksanaannya. Dan kelembagaan yang responsif haruslah transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku agar keberfungsiannya itu dapat dinilai berkeadilan.(*)

(lam)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Senin 20 Januari 2025
Imsak
04:20
Shubuh
04:30
Dhuhur
12:07
Ashar
15:30
Maghrib
18:20
Isya
19:33
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan