LANGIT7.ID, Jakarta - Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Prof Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), mengajak mendorong transformasi digital di tubuh NU dan pondok pesantren. Sebab dunia digital menjadi tren kehidupan umat manusia saat ini.
Jepang, kata dia, sudah mengkampanyekan sosial society 5.0 dalam beraktivitas sehari-hari. Sementara di Indonesia, terkhusus kalangan NU dan pesantren masih banyak yang belum melek dengan teknologi. Bahkan, masih banyak masyarakat yang tak memiliki
smartphone sama sekali.
“Kita harus mendorong transformasi digital NU. Jepang sudah mengampanyekan Society 5.0. Sementara di sejumlah pondok pesantren, santri itu masih dilarang bawa HP, karena tentu ada dampak-dampak jelek dari internet yang berlebihan di masa-masa santri,” kata Gus Nadir dalam webinar Menyongsong Abad ke-2 NU, Sabtu (11/12/2021).
Baca Juga: Nadirsyah Hosen, Santri Kampung yang Jadi Profesor di Australia
Hal itu menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan secepat mungkin. Anak-anak yang tidak mondok sudah memiliki akses informasi yang sangat cepat melalui smartphone mereka. Informasi ada dalam satu klik.
“Saat ini, ketika ada anak bertanya kepada orang tuanya, dia akan membandingkan jawaban orang tua dengan pemaparan yang ada di internet. Ini yang terjadi. Problem-nya adalah bukan santri tidak boleh bawa HP, tapi umumnya tidak semua masyarakat Indonesia punya HP smartphone,” ucap Gus Nadir.
Dia mencontohkan saat pemerintah menjadikan aplikasi PeduliLindungi sebagai syarat perjalanan hingga masuk ke gedung-gedung tertentu. Banyak masyarakat keberatan dengan aturan tersebut. Ini karena tidak semua masyarakat Indonesia siap memasuki era digital.
“Problemnya, di Indonesia kelima-limanya masih ada, mulai dari sosial society 1.0, society 2.0, society 3.0, society 4.0. Terjadi ketimpangan yang luar biasa. Indonesia yang begitu luas, tingkat kesenjangan sangat luar biasa,” ucapnya.
Dia mencontohkan, masih ada di beberapa daerah tradisional yang menjadikan perburuan sebagai cara bertahan hidup. Bercocok tanam sebagai ciri society 2.0 tak perlu ditanya lagi.
“Bahkan kita baru mau mulai masih ke era 4.0, sementara Jepang sudah masuk ke 5.0. Maka itu, ketika kita ingin mendorong transformasi digital, tidak heran kalau terjadi berbagai resistensi atau penolakan, atau minimal keberatan,” ucap Gus Nadir.
(jqf)