LANGIT7.ID, Jakarta - Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah memprediksi umatnya akan terpecah-pecah menjadi puluhan sekte, aliran, mazhab, golongan pada suatu saat nanti sebagaimana terpecahnya kaum Yahudi dan Nasrani. Dalam hadits ini, Rasulullah bahkan menyebut jumlah golongan yang akan muncul sebanyak 73.
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan atau 72 golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. (HR. Abu Dawud).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan At Tirmidzi dari Abdullah bin Umar, Rasulullah menyatakan seluruh golongan dalam tubuh umat Islam akan masuk neraka kecuali mereka yang berpegang teguh pada ajarannya dan para sahabatnya.
Prof Simuh dalam bukunya "Pergolakan Pemikian dalam Islam" terbitan IRCiSoD tahun 2019, menjelaskan ada dua pandangan yang mahsyur di kalangan ulama dalam memaknai hadits tentang perpecahan golongan ini.
Sebagian ada yang betul-betul tekstualis dan sebagian lagi memaknainya sebagai peringatan keras agar ummat Islam jangan sampai berpecah belah. Adapun bila perpecahan sudah terjadi, maka sikap yang paling utama agar selamat adalah kembali kepada dua sumber utama ajaran Islam, yakni Alquran dan Hadits. Mereka yang berpegang teguh pada keduanya disebut sebagai Ahlus Sunnah.
“Jadi Ahlus Sunnah yang menjadi arus induknya ditinjau dari segi teologis, bukan sosiologis. Bukan jumlah pengikut yang menjadi ukuran, tetapi kebenaran ajarannya ditinjau dari segi Islam” (Halaman 12).
Prof Simuh mengategorikan Alquran dan As Sunnah sebagai sumber rujukan statis dan apa adanya. Para ulama Ahlus Sunnah kemudian menggunakan metode ijtihad dalam memahami, menafsirkan, dan mengembangkan ajaran Islam sesuai tuntutan perubahan zaman. Hasil ijtihad para ulama yang kelak berbentuk madzhab, aliran-aliran, dan semacamnya ini bersifat relatif, sementara, dan tidak mutlak.
Dari Politik ke TeologiSemua peregesekan teologis dan politik internal umat Islam hampir tidak pernah terjadi selama Rasulullah hidup. Sebab, Rasulullah adalah otoritas tertinggi, penafsir tunggal atas wahyu sekaligus pemimpin dalam urusan sosial-politik. Bahkan sampai pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab dapat dikatakan tak ada dinamika yang begitu berarti.
Gejolak mulai timbul pada masa transisi kekuasaan dari Khalifah Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib dan semakin meruncing setelah Khalifah Ali wafat. Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan selalu menjadi titik tolak ketika membicarakan sejarah munculnya aliran-aliran dalam Islam.
Khawarij merupakan aliran pemikiran pertama yang lahir dari rentetan konflik politik ini. Mereka tidak puas dengan keputusan Tahkim dalam Perang Shiffin 661 M dan keluar sebagai pendukung Khalifah Ali. Kelompok Khawarij menganggap mereka yang menyetujui Tahkim harus dituntut, bahkan dibunuh karena mereka sudah termasuk orang kafir.
Baca Juga: Pondok Modern Gontor Mulai Bangun Unit Bisnis OtomotifKhawarij lalu berkembang menjadi paham yang beranggapan bahwa orang yang berbuat dosa besar sekalipun dia pernah beriman termasuk kafir. Sikap sektarian Khawarij dalam bidang aqidah menimbulkan masalah hubungan antara iman dan amal manusia. Sikap sektarian inilah yang kelak mencetuskan persoalan yang merangsang pertumbuhan pemikiran dalam bidang aqidah.
Prof Simuh lalu menguraikan tiga ciri utama corak pemikiran sektarian. Pertama berpikiran sempit yang menyebabkan ajaran Islam dipahamai secara parsial. Memotong-motong dalil untuk memperkuat argumen.
Kedua, memutlakan pendapat golongannya, dan bersikap ekslusif atau tertutup sebagai ciri terakhir. Kelompok Khawarij memandang hanya merekalah yang benar dan tidak mau menerima pandangan di luar kelompoknya.
Syiah sebagai gerakan politik pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib juga berkembang menjadi paham keagamaan. Kelompok ini menjadikan Ali bin Abi Tahlib sebagai sentra kebenaran dalam Islam. Syiah beranggapan Ali dan keturunannya (ahlul bait) adalah orang-orang yang sah sebagai khalifah di mana jabatan ini memiliki kuasa tunggal atas urusan keagamaan dan sosial-politik.
“Proses pengeramatan ahlul bait ini merupakan perkembangan yang wajar dari sejarah kegagalan perjuangan mereka yang beruntun sesudah terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib… Pengaruh tradisi Persia ini dalam perkembangannya memang amat mewarnai dalam pembentukan teologi Imamah” (Halaman 34-35).
Pengultusan ahlul bait lewat konsep Imamah yang menjadi pengikat ketaatan para pengikut Syiah bukan berarti berjalan mulus. Pada perkembangannya, Syiah merasa kesulitan menentukan siapa yang berhak menduduki posisi Imam sehingga perpecahan Syiah menjadi beberapa subkelompok tak bisa dihindari. Untuk mengatasi kesulitan ini akhirnya dikembangkan konsep Imam Mahdi yang sedang ghaib yang mereka nanti-nantikan kedatangannya (Hlm 48).
Pada perkembangan berikutnya, kelompok Murjiah tampil dan mengklaim sebagai pihak yang netral atas permasalahan politik antara Khawarij dengan Syiah. Nama Murjiah berakar kata dari arja’ yang berarti menunda. Beda dari Khawarij yang langsung memvonis kafir, Murjiah memandang bahwa masalah dosa besar itu ditunda penyelesaiannya sampai hari perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukumnya sebagai orang kafir.
Murjiah menilai para sahabat yang saling bertentangan karena peristiwa tahkim tetapa terpercaya keimanannya, masih mukmin, dan belum keluar dari Islam. Murjiah memiliki sikap muslim yang berbuat dosa besar selama memegang teguh Syahadatain masih mempunyai harapan untuk diampuni Allah.
Dengan demikian, dapat dikatakan basis teologi Murjiah adalah iman di atas amal. Paham ini bertolak belakang dengan Khawarij dan Mu’tazilah yang memandang amal merupakan bagian dari keimanan. Ahmad Amin dalam Dluh Islam menggambarkan paham Murjiah yang sangat ekstrem berkaitan dengan keimanan.
“Kebanyakan golongan Murjiah memandang bahwa iman adalah mempercayai dalam hati saja. Atau dengan kata lain mengetahui Allah dalam hati… Bila hatinya telah mempercayainya maka dia telah mukmin dan muslim, walaupun menampakkan lahirnya sebagai Yahudi atau Nasrani, walaupun lisannya tidak mengikrarkan dua kalimat syahadat” (Hlm. 52).
Mu’tazilah dan Kemunculan Ilmu KalamMu’tazilah berjasa besar bagi perkembangan penyusunan ilmu kalam di masa-masa berikutnya. Yang dipelopori Wasil bin Atha. Mu’tazilah mempelopori pembahasan aqidah secara sistemik dan menyusun pokok-pokoknya dengan pendekatan logika yang mengedepankan analisis akal.
Mu’tazilah memandang persoalan kegamaan tidak dapat dipecahkan hanya dengan teks-teks keagamaan an sich, yang seringkali deduktif-spekulatif. Akan tetapi perlu dilenkgapi dengan perintisan penelitian dan penulisan ilmu-ilmu keislaman baru yang hisotis dengan kritik kesejarahan.
Baca Juga: Kemenag: Kebesaran Indonesia Hasil Padu Banyak PerbedaanPengaruh aliran Mu'tazilah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Al-Ma’mun, terutama setelah Al-Ma’mun menjadikan aliran Mu'tazilah sebagai aliran teologi resmi negara. Dengan memanfaatkan kekuasaan pemerintah, kaum Mu'tazilah memak- sakan kehendaknya untuk mempengaruhi rakyat agar menerima ajaran-ajarannya.
Namun banyak orang yang menentang ajarannya, akibatnya harus menjalani hukuman penjara. Setelah Al-Mutawakkil berkuasa, pemakaian aliran Mu'tazilah sebagai aliran resmi dihapuskan. Bagi kaum Mu'tazilah, karena terlalu berpegang pada akal pikiran, sehingga mereka kurang berpegang kepada sunnah atau hadits.
Dalam hal ini bukan karena mereka tidak percaya kepada sunnah Nabi, tetapi karena mereka ragu akan keaslian sunnah atau hadits Nabi. Term Ahlus Sunnah Wal Jamaah kemudian menjadi antitesa pemikiran kaum Mu’tazilah yang dipelopori Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ari.
Al-Asy’ari keluar dari Mu'tazilah, karena merasa tidak sepakat dengan kerangka berpikir yang dipakai Mu’tazilah. Selain itu, ia melihat adanya perpecahan di kalangan umat Islam yang dapat melemahkan mereka jika tidak segera diakhiri. Al-Asy’ari mengkhawatirkan akan sikap umat Islam yang menganggap rendah Alqur’an dan Hadits sebagai korban dari sikap Mu'tazilah yang terlalu memuja kekuatan akal pikiran.
Di samping itu Al-Asy’ari juga mengkhawatirkan umat Islam akan menjadi golongan tekstualis (Al-Hasywiah) yang hanya memegangi bunyi lahir nas-nas agama tanpa melihat makna yang terkandung di dalamnya (jiwanya). Melihat keadaan demikian, maka Al-Asy’ari mengambil jalan tengah tersebut yang dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.
Selain Asy’ariah, aliran Maturidiah juga muncul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Aliran Maturidiah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi. Meskipun aliran Maturidah dan Asy’ariah timbul sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah, namun teologi yang ditimbulkan oleh Al-Maturidi ada perbedaannya dengan teologi Asy’ariah.
Baca Juga: PBNU-Qatar Akan Bangun 100 Masjid di IndonesiaMengenai sifat-sifat Tuhan, terdapat persamaan antara ajaran Maturidiah dan ajaran Asy’ariah. Bagi mereka, Tuhan memiliki sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat, melainkan dengan sifat-Nya (Pengetahuan-Nya), begitu juga Tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan kekuasaan-Nya.
Mengenai perbuatan Manusia, aliran Maturidiah sependapat dengan aliran Mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, maka paham Maturidiah dalam hal ini sejalan dengan paham Qadariah atau Mu’tazilah bukan paham Jabariah atau Kasb Asy’ariah.
(zhd)