LANGIT7.ID - Suatu hari pada September 1926, seorang jurnalis muda yahudi, Leopold Weiss, naik kereta ke Berlin. Sepanjang perjalanan, dia menyaksikan wajah-wajah yang tidak bahagia dan hampa. Kebudayaan tinggi Eropa, kemajuan ilmu pengetahuan, dan materi tak cukup untuk memberikan kebahagiaan kepada mereka.
Weiss lalu berkesimpulan, keselamatan dan kebahagiaan berada di tempat lain. Keyakinan itulah yang membawa Weiss menjadi seorang mualaf. Ia resmi masuk Islam beberapa hari setelah perjalanan ke Berlin.
Pria yang lahir lahir pada 1900 dari orang tua yahudi merupakan keturunan rabi. Nenek moyangnya merupakan pemuka agama Yahudi. Saat meninggal, hampir satu abad kemudian, dia menjadi seorang intelektual terkenal di seluruh dunia muslim sebagai Muhammad Asad.
Dia menulis memoar yang sangat terkenal,
The Road to Mecca. Memoar itu memperkenalkan Islam kepada banyak orang. Selain itu, terjemahan Al-Qur’an milik Asad dalam Bahasa Inggris disandingkan dengan terjemahan bahasa Inggris lain karya Marmaduke Pickthall dan Abdullah Yusuf Ali.
“Mungkin tidak ada buku lain kecuali Al-Qur’an itu sendiri yang menyebabkan lebih banyak orang masuk Islam,” tulis seorang diplomat Jerman yang juga mualaf, Murad Hofmann, dikutip TRT World, Senin (20/12/2021).
Cerita perjalanan spiritual Asad dimulai saat Perang Dunia I di Eropa. Dia dibesarkan di Lwow, sebuah kota yang pada awal abad ke-20 merupakan bagian dari Austria.
Ayahnya merupakan seorang pengacara kaya raya. Meski sang ayah bukan kalangan religius, namun Asad memiliki guru privat yang mengajarinya membaca kitab suci Yahudi. Hingga pada akhirnya dia percaya diri mendiskusikan Alkitab, kumpulan komentar religius yang kompleks. Setelah masuk Islam, pengalaman itu membantunya memahami Al-Qur’an.
“Jadi, pada usia 13 tahun, saya tidak hanya bisa membaca Bahasa Ibrani, tetapi juga berbicara dengan sangat lancar. Sebagai tambahan, saya cukup mengenal bahasa Aramaic,” tulis Asad di bukunya.
Agama menjadi hal terakhir di benak Asad saat masuk ke Universitas Wina pada 120 untuk belajar seni. Ia menghabiskan hari-harinya mempelajari filosofi, sementara malam berada di klub ekstrakurikuler. Dia cepat berbaur dengan berbagai lingkaran sastra, yang berkumpul di kafe-kafe Wina guna membahas penemuan Sigmund Freud di bidang psikoanalisis.
Seperti anak muda lainnya, Asad berusaha mencari jawaban setelah Perang Dunia I yang melanda Eropa antara tahun 1914 dan 1918.
“Eropa berada dalam krisis moral. Peradaban barat hampir menghancurkan dirinya sendiri selama perang. Seluruh generasi muda dimusnahkan. Tetapi itu juga merupakan periode yang dinamis. Orang tidak dibatasi oleh dogma lama dan mereka mencari sumber spiritual baru,” kata sejarawan Israel yang menulis tentang Asad, Martin Kramer.
Hal ini merupakan salah satu cara untuk memahami Asad. Dia tidak muncul dari tatanan politik dan budaya yang mudah berpuas diri. Dia muncul dari sebuah ordo, yang baru saja mengalami keruntuhan total. Gelisah dan tidak bisa fokus, Asad keluar dari universitas untuk mengejar karir sebagai jurnalis. Sang ayah menentang keputusan itu dan memotong uang bulanan sebagai hukuman.
Sendiri, Asad melakukan perjalanan ke Berlin, di mana dia bermain-main dengan dunia seni untuk sementara waktu. Ia menulis naskah film dan menghabiskan apa pun yang dia punya untuk pesta sepanjang malam. Namun, di sebagian besar waktunya, dia tetap kekurangan uang.
Dia sempat bekerja untuk sebuah kantor berita dan mencetak berita hangat ketika dia mewawancarai Madame Gorky, istri dari penulis terkenal Rusia, Maxim Gorky.
Tapi, Asad tidak pernah benar-benar menetap. Eropa seolah tidak lagi menjadi rumahnya. Sesuatu yang lain menaggilnya, yaitu panggilan ke Islam, di mana jalan itu akan melewati Al-Quds.
“Asad jatuh cinta pada orang Arab, sebelum dia jatuh cinta pada Islam,” kata seorang profesor agama di Duke University, Shalom Goldman. Ia sedang menulis sebuah buku tentang toloh berpengaruh Yahudi yang masuk Islam.
Berkunjung Palestina dan Menentang Zionis IsraelDia pertama kali menjumpai dunia Islam pada 1922, ketika melakukan perjalanan ke Palestina atas undangan pamannya, Dorian, seorang psikiater dan salah satu murid Freud. Waktu itu adalah masa pergolakan politik dan perselisihan di Palestina.
Zionis sedang berupaya melobi untuk sebuah bangsa bernama Yahudi dan kerap menggunakan kekerasan. Puluhan ribu orang Yahudi berimigrasi ke Palestina dari Rusia dan tempat lain, berupaya mengubah demografi Palestina dari negeri Muslim ke Yahudi.
Bagi Asad, tampak jelas jika orang Badui Arab Muslim setempat lekat dengan kejujuran, kesederhanaan, dan unta. Mereka lebih mirip dengan karakter Ibrani yang dia pelajari sebagai anak laki-laki dalam Perjanjian Lama, daripada seorang Yahudi Eropa modern.
Dalam beberapa kesempatan, Asad berkonfrontasi dengan para pemimpin zionis seperti Dr Chaim Weizmann. Ia mendorong mereka untuk menjelaskan bagaimana orang Yahudi dapat mengklaim memiliki lebih banyak hak daripada orang Arab Palestina, yang tinggal di wilayah tersebut selama dua ribu tahun.
“Anti Zionisme Asad mengakar kuat. Itu bukanlah sesuatu yang dia adopsi semata agar lebih diterima oleh muslim,” kata Kramer.
Bertahun-tahun kemudian, ketika Israel mencoba mengklaim seluruh Al-Quds, Asad terus membela hak-hak orang Palestina. Dalam artikel
The Vision of Jerussalem yang terbit pada 1982, Asad menulis Zionis ingin menjadikan Al-Quds sebagai ibu kota Israel untuk bisa meraih 'keabadian'. Namun, ia menekankan keabadian adalah atribut yang hanya dimiliki Tuhan bukan manusia.
Dia lantas berbicara dan menulis tentang bagaimana Islam memandang Al-Quds sebagai ‘kota suci’ untuk semua agama. Daerah itu bukan real-estate yang diberikan sebagai warisan kepada orang-orang yahudi saja.
“Asad mungkin adalah orang pertama yagn mengartikulasikan ide kolonialisme zionis sebelum para pemikir Marxis menjadikannya populer di tahun 1960-an dan 70-an,” kata Goldman.
Dunia Islam Mengenang AsadPada 2011, Riyadh mengatur konferensi internasional untuk menghormati Asad. Masa tinggal Asad di Makkah dan Madinah memiliki pengaruh yang dalam pada pemahamannya tentang Islam.
Saat itu, ia mulai menganggap mazhab ahli-hadits membutuhkan interpretasi baru dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah. Masa itu adalah periode dan ruang di mana transformasi dari Weiss ke Asad terjadi secara luas, serta hubungannya semakin bergeser ke jaringan Eropa ke Islam.
Buku keduanya,
Islam at the Cross Roads, diterbitkan dua tahun kemudian. Seorang sejarawan di Universitas Punjab di Lahore, Muhammad Arshad, menyebut munculnya buku ini membuat riak gelombang di masyarakat.
“Sungguh luar biasa melihat seorang warga Eropa mengkritik masyarakat barat, membela Islam dan Sunnah dan mengatakan bahwa hanya Islam yang dapat membimbing dunia keluar dari kegelapan,” kata dia.
Hingga buku itu terbit, hampir tidak ada orang yang mencoba mengkontekstualisasikan ketidaksukaan abadi Eropa terhadap Islam. Ini adalah tulisan orang Eropa kulit putih dalam Bahasa Inggris, yang menyebut muslim tidak boleh terpesona oleh kemajuan materi barat.
Hadirnya buku itu bersamaan dengan masa ketika sebagian besar muslim dunia masih hidup di bawah semacam pemerintahan kolonial. Asad menyebut tidak perlu berkecil hati dengan kemelaratan, karena perlu seribu tahun bagi khilafah untuk runtuh, sedangkan kekaisaran Romawi lenyap dalam seratus tahun.
“Jika kita mengikuti prinsip Islam yang mewajibkan untuk belajar dan pengetahuan pada setiap pria dan wanita muslim, kita tidak harus melihat ke Barat hari ini untuk memperoleh ilmu pengetahuan modern,” tulis Asad.
Asad bahkan dikagumi oleh intelektual Muslim terkemuka di antaranya tokoh-tokoh seperti penyair dan filsuf Iqbal, ulama Abul Ala Maududi dan Sayyid Qutb. Qutb dalam bukunya yang terkenal,
The Social Justice in Islam, ia menyebut satu bab sebagai
At the Crossroads.
Pada pertengahan 1930-an, Asad secara aktif mengambil bagian dalam berbagai proyek yang bertujuan meningkatkan sistem pendidikan Islam. Ia juga berupaya menemukan cara untuk memperkenalkan mata pelajaran sains bersamaan dengan topik klasik di lembaga-lembaga Islam.
Di masa itu, ia mengambil tugas monumental menerjemahkan Sahih Bukhari, kumpulan hadits Nabi Muhammad SAW. Ini adalah pekerjaan yang sulit, yang melibatkan kegiatan membaca dengan cermat dan memilah-milah ribuan catatan sejarah.
“Pada saat itu, belum ada yang mencoba menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris. Itu adalah usaha yang sangat besar,” kata Arshad.
Namun malang, dia tidak dapat menyelesaikan terjemahan itu. Banyak manuskrip yang hilang selama pemisahan India Pakistan pada 1947.
Sumber: TRT World(jqf)