LANGIT7.ID, Jakarta - Pegiat pendidikan Najeela Shihab menilai sistem pendidikan Indonesia merenggut kemerdekaan siswa untuk belajar. Memang terdengar kontradiktif, tapi itu yang sebenarnya terjadi.
Belajar berarti rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu ini ditandai dengan pertanyaan. Itulah yang disebut proses belajar. Namun konsep ini tidak terjadi di dalam ruangan kelas. Seolah proses belajar tidak terjadi di sekolah.
"Masuk sekolah, tapi justru rasa ingin tahunya bukannya tumbuh terus, tetapi malah mati. Kita bisa menyaksikan banyak anak-anak pintar di sekolah, tapi justru mereka tidak sukses. Berbanding berbalik dengan anak-anak yang dianggap bodoh, mereka justru sukses. Ini karena, sebenarnya banyak proses belajar yang justru terjadi di luar kelas," kata Najeela dalam webinar BukaTalks, dikutip Kamis (6/1/2022).
Masalah ini yang membuat Najeela menciptakan Kurikulum Cikal. Tujuan utama dari kurikulum ini adalah menciptakan komunitas yang terus belajar sepanjang hayat. Bukan hanya murid, tapi guru dan orang tua pun demikian.
Membangun hubungan pendidik dalam memenuhi kebutuhan proses belajar anak sangat penting dilakukan. Najeela harus berjuang keras mengubah stereotype tentang proses belajar mengajar yang dikenal selama ini.
Baca Juga: Najeela Shihab: Hubungan Erat Keluarga Pengaruhi Kompetensi Akademis dan Sosial Anak
Faktanya, ada 83 juta anak Indonesia yang masih belajar di ruang kelas. Proses belajar mengajarnya masih sama dari zaman ke zaman. Hanya mengikuti kurikulum, tanpa tau dan memikirkan relevansi terhadap tujuan hidup.
"Yang namanya pendidikan, makin lama makin tidak relevan. Kalau masuk ke kelas, ruang kuliah, training itu yang terjadi itu adalah super kebosananan, tidak terlibat dalam proses dan tidak sabar ingin selesai, dan itu masalah," kata Najeela.
Hal ini berbanding terbalik dengan perubahan dunia yang sangat cepat. Perubahan yang terjadi setiap detik membutuhkan keterampilan belajar sepanjang hayat, bukan hanya berpatokan pada kurikulum semata.
Anak 2 tahun dikenal suka bertanya karena keingintahuan mereka tinggi. Namun tiba-tiba, mereka menjadi sayu saat memasuki usia 5 tahun. Itu karena mereka tidak berani bertanya di ruang kelas.
Ini karena di ruang kelas siswa hanya terbiasa mendengarkan dan tidak punya suara. Itu yang membuat siswa tidak berani, apalagi ditambah dengan karakter guru yang otoriter, hanya membacakan materi dan mengesampingkan penanaman pemahaman.
"Dunia pendidikan stagnan, padahal dunia berubah total, sehingga pendidikan kita tidak menjadi jembatan perubahan. Jadi, cuma jadi jembatan kertas, karena sukses di sekolah bukan berarti sukses di kehidupan," kata Najeela.
(jqf)