Dari Leiden hingga Batavia, pengetahuan tumbuh di bawah bayang-bayang kuasa. Di tangan kolonial, ilmu bukan lagi jalan memahami, melainkan alat menundukkan dunia yang tak pernah mereka pahami sepenuhnya.
Dari arsip Leiden hingga benteng Batavia, pengetahuan Eropa tentang Islam tumbuh tanpa empati. Naskah dikaji, bahasa dipelajari, tapi ruh Nusantara tetap asing di mata penjajahnya.
Dari Leiden ke Mekah, Christiaan Snouck Hurgronje menjelma dari ilmuwan muda menjadi arsitek pengetahuan kolonial. Ia membela Islamtapi demi memahami, mengatur, dan menjaga kekuasaan Belanda di Hindia.
Pada 1812, Inggris menjarah Keraton Yogyakarta. Bukan cuma emas yang dibawa, tapi juga makna. Di tangan kolonial, manuskrip Islam Nusantara berubah jadi artefak, bukan warisan ilmu.
Dari jalan raya Daendels hingga rak-rak Leiden, naskah Islam Nusantara berpindah tangan di bawah bayang kolonialisme. Pengetahuan lahir, tapi juga menyimpan jejak penjarahan dan kuasa.
Sejak wahyu pertama, Al-Quran menolak semboyan ilmu demi ilmu. Tujuannya jelas: ilmu harus bermakna ibadah, demi Allah, dan untuk kesejahteraan seluruh makhluk.
Quraish Shihab menyebut ilmu laksana kepompong: bisa melindungi, bisa juga membinasakan. Semua bergantung pada bingkai nilai yang manusia pilih untuk menuntunnya.
Ilmu dalam Al-Quran hadir sebagai cahaya yang diturunkan dan usaha yang dicari. Tapi manusia tetap fana: pengetahuan selalu terbatas di hadapan Yang Maha Mengetahui.
Teknologi kian otonom, dari AI hingga rekayasa genetika. Al-Quran mengingatkan: ilmu harus berpadu iman. Tanpa nilai Rabbani, mesin bisa jadi kawan, sekaligus lawan.
Teknologi dan AI memberi jawaban cepat, tapi tak mampu menenangkan jiwa. Di tengah krisis makna dan kesepian digital, agama tetap menjadi pelampung yang tak tergantikan sepanjang zaman.
Pendaratan manusia di bulan digadang-gadang bukti sains dalam Al-Quran. Al-Utsaimin menegaskan: memaksakan tafsir ilmiah justru berisiko menodai kesucian wahyu.
Dalam kajian orientalisme, nama besar seperti Miguel Asn Palacios atau Louis Massignon telah sejak awal abad ke-20 menunjukkan jejak Sufi dalam filsafat dan teologi Eropa.
Bucaille menyebut ada banyak ruang pertemuan antara Quran dan Bibel: kisah nabi-nabi besar (Nuh, Ibrahim, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Isa), juga kisah Maryam, kelahiran Isa, banjir besar, hingga eksodus Bani Israil.